Dia Mentari. Anak desa Sukamantri yang memiliki hobi menulis puisi. Perawakan agak
tinggi namun rendah hati. Tidak memiliki banyak mimpi, hanya Sastrawan untuk sebuah ketetapan janji masa depan. Mentari, tentu bersinar. Ia tidak kalah dengan ‘leluhurnya’ di atas sana, matahari.Siang hari, ia menampakan kebahagiannya pada banyak orang. Mencerahkan sedikit harapan meski di luar sedang hujan. Dan keabadiannya masih belum jelas terhitung oleh rumus Matematika ataupun Fisika.
Aku sudah kenal dekat dengan Mentari selama 9 tahun. Saat masih Sekolah Dasar, Mentari masih sangat mungil dan tidak setinggi sekarang. Seragam putih merahnya agak berbeda denganku. Dia bahkan pucat pasi saat itu, bukan seperti Mentari yang sekarang.
Entah ada apakah, saat itu aku tidak begitu peduli padanya. Dia selalu terduduk menunduk di pojokan kelas dan sesekali ia meringis kesakitan sambil meronta-ronta sesuatu. Seisi kelas berpandangan ngeri, apalagi saat itu kami semua masih Sekolah Dasar. Beberapa ada yang meninggalkan
ruangan kelas sambil mencibir dengan menduga keterlaluan tidak kiranya. Ia dikatai gila.“Mentari? Kamu enggak apa-apa?” sejurus saat itu aku menerobos kerumunan manusia apatis yang otaknya tidak diatur dengan baik mengenai sikap sosial yang semestinya. Aku agak geram dengan mereka.
Mentari menggeleng-geleng. Wajahnya murung, pucat, mengurangi pendaran
wajahnya yang putih dan bersih. Saat itu, cuaca di luar memang sedang mendung. Gemuruh bersahutan, seperti orkestra, dan burung-burung berterbangan di langit seakan memberikan sebuah pertanda. Akan turun hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen : Cinta, Teror, Derita, dan Bahagia.
Cerita Pendek"Aku tidak pandai mengartikan kata Cinta, namun setidaknya aku paham bagaimana seharusnya menerima Cinta" - Untitled, 201? "Suara tawa anak kecil yang terus mengganggu tengah malam. Ini karena mama yang menganggap bahwa ia memiliki anak perempuan. P...