“Mentari, ikut aku” aku segera menariknya. Tanpa pikir panjang ia meraih uluran tanganku dan aku memaksanya untuk ke luar dari kerumunan yang isinya para manusia yang sedang mencibir dengan segala pemasukan persepsi gila di pikiran mereka. Aku sangat menyayangkan mengenai nilai sosial dan pertemanan di usia yang masih belia itu. Memangnya tidak bisa sedikit saja ‘peduli’ ?
Mentari. Wajahnya masih murung, sedih, dan matanya kini sembab. Ia seperti terkurung
di dalam sangkar yang sedang meronta ingin ke luar menyapa alam yang bebas. Namun, aku tidak tahu pasti sesuatu hal yang kini terjadi padanya. Tangan mungilnya gemetaran, menyiksa sarafnya yang mungkin sedang sekuat tenaga untuk menenangkan Mentari.Kunciran Ponytailnya membuat Mentari manis dan imut, namun pancaran kebahagiannya seperti matahari sekarang yang redup dan tidak tahu keberadaannya dimana karena terhalang oleh awan kelabu yang mengisyaratkan akan ada cerita sendu nanti siang.
“Mentari” panggilku pelan, menatap hamparan ladang, duduk di belakang sekolah.
Dia tidak menjawab.
“Mentari” aku mengulangi, agak naik nadanya, tapi dia masih terdiam dan menunduk
menatap bebatuan kecil di sekitaran bangku. Aku menoleh ke arahnya dengan penuh
pengharapan agar ia setidaknya mau berbicara kepadaku. Tapi rasanya, nihil sekali.“Mentari!” bersamaan dengan suara gemuruh, hati mentari tersentak, menciut, berlindung dibalik hoodie yang ia kenakan. Tapi sesaat kemudian, aku mulai mendengar suara isakannya. Dan aku merasa berdosa telah menyentaknya barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen : Cinta, Teror, Derita, dan Bahagia.
Cerita Pendek"Aku tidak pandai mengartikan kata Cinta, namun setidaknya aku paham bagaimana seharusnya menerima Cinta" - Untitled, 201? "Suara tawa anak kecil yang terus mengganggu tengah malam. Ini karena mama yang menganggap bahwa ia memiliki anak perempuan. P...