Fajar, Sang Pemimpi

130 10 4
                                    


Orang bilang, marriage is a work in progress.

Pernikahan bukan happy ending dari sebuah cerita. Coba, catat ada berapa film yang bagian akhirnya adalah suasana pesta pernikahan yang bahagia? Puluhan? Ratusan? Countless! Dan bagi sebagian dari kita, memang menganggap bahwa sudah seperti itu seharusnya. Menikah adalah salah satu sarana bahagia yang selama ini dicari oleh sebagian orang.

Lalu, apakah aku bahagia menikah dengan Fajar?

Aku mendapati banyak hal yang jauh di luar dugaan ketika menikah dengan Fajar Raja Ginting. Terkadang, jauh di atas, dan terkadang, jauh di bawah. Contohnya, dan ini cukup absurd, aku baru tahu saat kita mulai merencakan pernikahan bahwa Fajar adalah generasi ke tiga dari raja kelapa sawit di Medan. Keluarganya kaya raya di luar imajinasiku yang lahir dari keluarga pekerja. Hal ini tidak terlihat karena orangtua Fajar tinggal di Medan dan kami belum pernah bertemu. Aku baru bertemu keluarganya saat Fajar melamarku secara resmi.

Mau tahu hadiah pernikahan dari orangtuanya?

Sebuah rumah.

Dengan kolam renang.

Di Menteng.

Jujur, aku shock. Aku bukan perempuan yang memandang hal-hal seperti ini sebagai hal biasa. Butuh beberapa bulan setelah pernikahan dan setelah berbulan-bulan Fajar merayu dengan sabar, agar aku bersedia tinggal di rumah pemberian itu. Fajar bilang, rumah itu adalah hasil karyanya yang dia buat sebagai kejutan untukku. Orangtuanya membeli tanah dengan rumah yang kondisinya sudah tidak terawat. Bangunan lama digantikan dengan desain rumah Fajar, yang harus diakui, memang sangat bagus. Panggil aku kampungan, tapi aku merasa rumah itu terlalu mewah untuk dijadikan hadiah.

Aku memang mudah tertarik dengan pria yang memiliki visi. Pria yang memiliki mimpi. Bagi-ku, seorang laki-laki yang punya mimpi pasti akan bangun setiap pagi dengan rencana untuk mewujudkan mimpinya itu jadi nyata. Atas alasan itu lah, aku dulu jatuh cinta pada Fajar.

Dulu.

Tapi, ternyata aku salah.

Ternyata tiidak semua orang yang memiliki mimpi bersedia bangun untuk mewujudkan impian-impiannya. Mimpi tetap menjadi mimpi. Tidak ke mana-mana. Tidak jadi apa-apa.

Fajar adalah seorang arsitek dengan mimpi dan visi. Di saat kami bertemu, dia sedang bekerja untuk firma arsitek kedua terbesar di Indonesia. Sangat, sangat bergengsi di dalam dunia arsitektur. Aku tahu kalau Fajar begitu mencintai profesinya. Kalau kami kencan saat pacaran dulu, tidak jarang Fajar bercerita tentang projek-projek yang sedang dijalankannya. Karir Fajar semakin menanjak sesudah kami menikah. Fajar banyak mendapatkan penghargaan. Aku sebagai istri, bangga.

Di tengah karir yang menanjak, Fajar memutuskan untuk resign. Terus terang aku bingung. Selama ini, Fajar selalu bercerita bagaimana menyenangkannya bekerja di salah satu firma arsitek bergengsi di Indonesia tersebut. Fajar bilang, dia merasa tidak cocok diperintah oleh orang. Fajar mengeluhkan sikap atasannya. Fajar mengeluhkan sikap koleganya. Menurut Fajar, orang-orang dan lingkungan tempatnya bekerja sudah tidak kondusif lagi. Fajar yakin kalau dia memiliki kreativitas dan visi yang lebih baik dari atasannya.

Fajar akhirnya mendirikan firma arsitek kecil bersama dua teman kuliahnya dulu. Tapi ternyata, itu pun hanya berjalan satu tahun. Di tahun kedua pernikahan kami, dia keluar dari perusahaan yang didirikannya sendiri. Alasannya waktu itu, ternyata setelah dia coba, dia tidak cocok dengan teman-temannya.

Sebelum keluar, Fajar mempunyai mimpi dan memiliki visi untuk menjalankan bisnis furniture online. Aku bisa duduk berjam-jam mendengarkan Fajar menjelaskan mimpinya dari mulai apa yang salah dengan kondisi sekarang, konsep yang dia miliki, dan rencana yang dia ingin realisasikan. Dulu Fajar mengajakku untuk melihat desain-desain kursi, meja makan, dan furniture lainnya yang dia desain. Aku akui, sangat seru melihat mimpi-mimpinya di atas kertas. Sebagai istri, aku mendukung keinginannya.

Cinta Pernah SalahWhere stories live. Discover now