Sebuah Senyum Yang Kurindu

28 1 0
                                    

Hari beranjak gelap. Matahari mulai memudar warnanya. Senja terlukis di langit. Menguar oranye sejauh mata memandang. Sial! Aku terlalu keasyikan membaca. Sampai lupa waktu. Segera kukembalikan buku setebal 200 halaman itu ke tempatnya. Di pikiranku hanya ada satu tujuan. Pulang cepat-cepat ke kosan.

Semua itu bukan tanpa alasan. Aku tidak punya banyak teman di sini. Bukan tidak mau mencari, hanya saja mungkin aku belum bisa beradaptasi dengan baik. Baru tiga bulan terhitung sejak aku merantau ke tanah yang kata orang menjanjikan ini. Tanah Jawa. Ya, sebagaimana kebiasaan di kampungku. Atau bahkan di pulau tempatku menghabiskan seluruh masa kecilku. Kebanyakan anak SMA yang ingin melanjutkan kuliah pasti memilih Jawa sebagai tujuan utama. Jawa pusatnya pendidikan, Jawa tempatnya ilmu pengetahuan berkembang dengan baik.

Adzan maghrib berkumandang begitu aku keluar dari perpustakaan kampus. Aku berjalan cepat-cepat. Jarak kampus dengan kosan hanya 500 meter. Maka aku memilih jalan kaki. Membiarkan motorku nangkring cantik di kosan. Toh sekalian menghemat pengeluaran juga.

Orang-orang berbondong-bondong datang ke masjid. Laki-laki dan perempuan. Tua maupun muda. Melihat mereka hatiku tergerak juga. Aku membelokkan langkah menuju rumah Allah yang selalu ramai itu. Baru memasuki gerbang masjid. Mataku sekilas menatap seseorang. Perempuan dengan mukena bermotif bunga berwarna biru lembut. Tertambat sebentar. Desir aneh tiba-tiba muncul. Ah, perasaan apa ini? Kenapa aneh sekali. Padahal aku hanya menatapnya sekilas. Tapi seperti ada yang ‘memaksa’ ku untuk menatapnya terus-menerus. Apakah hatiku yang berkehendak demikian? Sial! Kenapa aku bisa menjadi selemah ini.

Sebelumnya, aku tidak peduli dengan yang namanya perempuan. Lingkungan tempatku bersekolah dulu memang tidak terlalu bagus. Banyak teman-temanku yang pacaran, berdua-duaan, dan sebagainya. Tapi aku cuek dengan semua itu. Aku tidak tertarik. Membaca novel atau menonton film jauh lebih menarik menurutku.  Setidaknya sampai sebelum aku bertemu dengan gadis bermotif bunga itu.

Dan, masalah ini ternyata tidak selesai sampai sini. Hari-hari berikutnya, wajah gadis itu terus terbayang. Seakan meneror dan mengambil perhatianku sempurna. Aku selalu memikirkannya sepanjang hari. Puncaknya, satu minggu terakhir. Aku membiarkan lebih lama motorku nangkring di kosan. Alias pulang pergi ke kampus dengan jalan kaki.

"Eh, ngapain sih kamu jalan terus. Orang punya motor juga. Sini buat aku aja kalau udah bosen sama motormu." Dodit, teman sekamarku, protes.

"Hehe, nggak papa kali, Dit. Aku pengen aja. Lagian jalan kan juga sehat. Inget perutmu tuh udah naik berapa kilo." Jawabku santai. Dia tidak tahu aja apa yang menjadi alasanku sebenarnya. Bisa gawat kalau dia sampe tahu. 

Satu minggu terakhir pula. Aku selalu mengikuti gerak-geriknya. Tentu tidak seperti orang yang ingin berniat jahat. Aku melakukan hal itu dengan cara yang elegan. Seperti pura-pura membaca buku, padahal menunggunya pulang dari masjid. Di hari yang kelima, aku tahu tempat tinggalnya. Sungguh, ini aneh sekali. Baru kali ini aku aware sekali dengan seseorang. Ah, biarlah. Hal ini menunjukkan bahwa aku adalah pria normal. Separuh hatiku membela.

Tapi, yang aku sesali adalah. Selama satu minggu itu aku belum juga menyapanya. Aku terlalu takut. Setiap bertemu, aku justru cenderung menghindar dari tatapannya. Langsung buru-buru balik badan dan berjalan cepat. Pulang.

Tepat di hari kelima belas. Aku pulang kuliah seperti biasanya. Tapi kali ini naik motor. Kasihan juga jika dibiarkan terus. Mesinnya akan dingin. Lagipula lama-lama mata Dodit bisa berubah menjadi jahat jika setiap hari melihat motor nganggur di depan matanya. Jangan-jangan saat pulang nanti motorku sudah nggak ada gara-gara digadaikan. Kan bahaya.

Aku melewati jalan yang biasa aku lalui saat jalan dua minggu terakhir ini. Sengaja kupelankan motor, agar bisa melihatnya. Maklum, jam jam segini biasanya dia sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya. Dua ratus meter sebelum sampai, aku melihat sebuah motor di depanku, juga berjalan perlahan. Pengendara motor itu, seorang pria, tiba-tiba mengklakson di depan rumahnya. Degh! Jantungku berdegub kencang. Gadis itu, tersenyum manis sekali sambil menatap pria tadi sebentar. Perasaan aneh merasuki hatiku. Kutatap dengan seksama pria tadi. Helm yang ia kenakan familiar sekali, jaketnya juga sering kulihat. Ah, tidak! Dodit! Pria itu adalah Dodit. Aku menggeber kencang motorku.

"Apa yang habis kau lakukan, hah!" Kataku marah sambil mendorong Dodit ke tembok. Niatku sudah bulat. Langsung melabraknya begitu sampai di kosan.

"Lho, lho, kenapa kamu, Bim? santai dikit to.." Dodit kebingungan, terlihat tidak mengerti. 

"Gimana aku bisa santai, jika teman sekamarku sendiri suka menggoda cewek!" Jawabku terus terang.

"Menggoda cewek? Kapan? Paling mentok juga nggodain nenek-nenek penjual nasi uduk." Dodit terkekeh. Aku mencengkram kerahnya. Ingin rasanya aku memukul saat itu juga. Masalah serius seperti ini masih juga membuatnya bercanda. Tapi melihat wajah Dodit yang polos. Aku tak tega.

"Gak usah bohong, deh. Tadi kamu ngapain nggodain cewek lagi nyiram tanaman di halaman rumahnya. Udah kurang ajar kamu ya! Coba di kampungku, mungkin udah dipukulin kamu!" Kejarku tak mau kalah.

Dodit tertawa terpingkal-pingkal. Aku mengendurkan cengkramanku. Kenapa lagi orang ini? Dimarahin kok malah tertawa. Satu menit kemudian dia tetap tertawa. Aku menatapnya tidak mengerti.

"Bima, Bima. Sepertinya kamu harus belajar satu hal dari kami. Orang Jawa." Dodit mulai bercerita. Aku diam saja. Padahal ingin rasanya bertanya. 'Apa, itu?' "Salah satu budaya yang sudah mengakar di Jawa adalah, kami saling menghormati satu sama lain. Jadi, setiap bertemu dengan orang baik yang dikenal maupun tidak. Kami akan menganggukan kepala sambil berkata, 'monggo mas' atau 'monggo mbak' yang berarti permisi. Nanti dijawab oleh orang yang kita sapa itu.."

Aku melepaskan cengkraman. Di pikiranku hanya satu hal. Segera aku pergi meinggalkan Dodit.

"Loh, Bim. Kok pergi? Nggak jadi mukul toh? Ealah le le, piye to.."Di belakangku, Dodit menggeleng-geleng kepala. Tak habis pikir dengan tingkahku barusan.

Besoknya, aku les privat. Belajar bahasa jawa. Hanya untuk satu kata. "Monggo, Mbak." Walaupun satu kata. Tapi aku ingin mengucapkannya dengan fasih. Sefasih orang jawa. Maka aku putuskan untuk belajar. Dengan siapa? Tentu dengan orang jawa asli. Yang pasti bukan Dodit. Sakit hati aku ditertawakan kemarin. Lebih baik aku menjauhi dia dulu. Setidaknya untuk beberapa saat ini.

Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah kursus selama satu hari penuh. Aku memutuskan untuk melakukan hal 'hebat' itu. Sore hari menjadi saat yang pas. Hari ini libur sebenarnya. Tapi masa bodoh. Aku tetap masuk seperti biasa. Pura-pura membaca buku seharian. Demi bertemu gadis bermotif bunga itu.

Sore itu tampak cerah. Tidak mendung tidak juga cerah. Angin semilir memainkan rambutku yang kubiarkan gondrong. Beberapa mahasiswa berlalu lalang. Pergi ke tempat parkir, bersiap pulang. Aku berjalan sembari mengumpulkan keberanianku. 

Sampai di dekat rumahnya. Perasaanku tak menentu. Jantungku dag dig dug tak keruan. Tapi aku tetap tegap berjalan. Gadis itu ada di halaman rumahnya. Seperti biasa, sedang menyirami tanaman. Tampak anggun dengan balutan hijabnya yang berwarna biru lembut, plus motif bunga dongker. 

Aku semakin dekat. Tapi kerongkonganku malah jadi tercekat. Dengan sekuat tenaga, aku mengucapkan kalimat itu.

"Monggo, Mbak." 

Seperti punya daya magis. Gadis itu serta merta tersenyum. Manis sekali. Seperti ada bunga-bunga wangi di sekelilingku. Seperti ada desiran halus yang menyapa hatiku.

"Inggih, Mas. Monggo." Jawabnya lembut seperti salju yang meleleh perlahan. Sejuk. Sekaligus menggetarkan.

Hari itu. Ingin sekali rasanya aku memeluk seluruh orang jawa di dunia. Ternyata, mereka punya satu budaya yang hebat sekaligus sakti mandraguna.

Secangkir RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang