"Rose? Adikmu itu kenapa sih?" Mama untuk kesekian kalinya bertanya padaku.
Aduh, Maa! Plis deh. Ini udah yang ketiga kalinya Mama bertanya. Aku sedang mengerjakan PR dari Bu Widya yang super banyak. Terganggu banget lah jadinya. Tapi untuk menjaga imej sebagai anak yang baik. Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala tidak mengerti.
Ah, Rei. Adik kecilku ini telah beranjak remaja. Banyak yang berubah
dari dirinya. Aku seolah mengenal Rei yang baru. Dia yang awalnya murah senyum dan enak diajak ngobrol. Kini jadi pendiam dan lebih suka mengunci pintu kamarnya. Aku kadang sedih. Tapi hei! Aku bisa apa. Nasehat Mama Papa yang berulang kali mampir ke kupingnya saja tidak mempan. Apalagi dariku. Aku selalu baik padanya. Tidak bisa marah, bahkan untuk hal-hal yang membuatku geram saja aku masih bisa bersabar padanya. Ah, Rei. Aku jadi rindu Rei yang dulu.Puncak dari keanehan Rei adalah hari-hari terakhir ini. Rei seharian mengunci diri di kamar. Benar-benar tanpa keluar sekalipun. Dari pagi, saat makan siang, hingga malam hari. Mama yang paling khawatir. Berkali-kali beliau mengetuk kamar Rei. Mengingatkan makan, bahkan membawakan jatahnya yang ditaruh di depan pintu. Tapi percuma saja, Rei tidak bergeming sedikitpun. Aku awalnya tidak peduli, tapi melihat wajah mama yang pucat dan sedih. Aku kasihan juga.
"Sudahlah Ma, Mama istirahat saja dulu. Ini sudah jam 8 lhoo. Mama tenang saja, Rei tidak papa kok."
"Bagaimana mama bisa tenang, Rose? Perut Rei dari tadi belum terisi, dia pasti sangat lapar."
"Iya ma, aku tahu. Nanti aku bujuk dia agar mau makan."
"Kamu yakin bisa?"
"Dia adikku maa, aku tahu apa yang harus kulakukan."
Mama akhirnya mengalah. Aku membimbingnya masuk kamar. Baiklah, ini sudah keterlaluan. Kalau dibiarkan. Entah jadi apa dia. Jangan-jangan malah nggak keluar sampai lebaran tahun depan! Repot juga kan kalau gitu.
Aku mengintip pintu kamarnya. Hei, terbuka?? Oke, inilah kesempatanku.
Dengan langkah perlahan aku memasuki kamarnya. Di mana Rei? Kamarnya tertata rapi, tidak kelihatan kalau ini adalah kamar seorang remaja laki-laki yang sedang stress. Atau jangan-jangan? Aku segera berlari menuju balkon. Kubuka pintu dengan keras. Ahh, syukurlah.
Dia masih ada di situ. Terduduk sambil menunduk ke bawah. Aku mendekatinya pelan. Ikut duduk disampingnya. Rei tetap diam, wajahnya pucat, mungkin dia kelaparan.
"Kamu kenapa Rei??" Aku mengawali percakapan.
Lama tidak ada jawaban.
"Aku sakit kak.." jawab Rei pendek.
"Tentu saja Rei. Kamu kan nggak makan dari pagi."
"Bukan Kak, Aku nggak laper. Aku hanya sakit."
Akupun beranjak berdiri.
"Mau kemana Kak?" Rei menatapku tak mengerti.
"Aku mau bilang ke papa. Kita ke rumah sakit sekarang. Sakit kalau dibiarkan sampai besok akan bertambah parah, Rei!"
Rei malah menggeleng keras. Tangisnya pecah sekarang. Aku tambah bingung dibuatnya. Segera refleks kupeluk dirinya erat. Dia balas memelukku. Kami mendadak seperti teletubbies malam itu. Setelah tangis Rei mereda. Aku kembali mengajaknya untuk periksa.
"Rei, sudah ya, ayo kita periksa, kita selesaikan sakitmu itu.."kataku lembut sambil membelai rambutnya.
Rei lagi-lagi menggeleng "Tidak usah Kak. Rei sudah sembuh kok. Lagipula, penyakit Rei ini tidak ada obatnya.."
"Memang kamu sakit apa sih Rei?"
"Eh? Aku.. Sakit hati kak..Cintaku bertepuk sebelah tangan. Gadis yang kusukai ternyata juga disukai oleh sahabatku sendiri."Aku ingin tertawa, tapi kutahan karena tak ingin menyakiti perasaan Rei.
"Lha trus, kenapa tadi kamu bilang sudah sembuh Rei?"
"Mmm..setelah kakak peluk aku tadi. Aku sadar, buat apa susah-susah mengharapkan cinta orang lain. Jika ada orang-orang terdekat yang jelas-jelas mencintai kita sepenuh hati."
Aku terharu mendengarnya. Segera kupeluk dia sekali lagi. Ahh, Rei. Malam itu Aku tahu.
Cinta itu begitu sederhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Rasa
Short StoryAda yang menggebu-gebu ingin dikeluarkan, ada yang ditahan-tahan ingin diperlihatkan. 4 kisah dari 4 sudut pandang yang berbeda tapi memiliki kesamaan kondisi hati. Sama-sama sedang 'bergejolak'. Selamat membaca :) Enjoyyy..😊😊