Jakarta, Pertengahan Februari
Surat bergambar karikatur macan tutul itu segera berpindah tangan. Fadel yang membawakannya untukku.
"Surat dari anonim, mbak." Katanya membuatku penasaran.
Siapa juga yang memberiku surat di saat-saat seperti ini? Demi melihat logo depannya aku segera tersenyum. Surat dari Rio, sahabat eratku saat berkuliah dulu. Beberapa hari yang lalu dia memang mengabari. Akan memberikanku sesuatu yang bermakna. Kita sudah berpisah sejak lulus tiga tahun yang lalu.
Aku bekerja sebagai pegawai di sebuah bank ibu kota. Sementara Rio jauh merantau ke Kalimantan. Menjadi supervisor di perusahaan kebun kelapa sawit. Kami sudah tidak pernah bertemu lagi setelah lulus.
Aku tak menyangka, dia rela jauh-jauh mengirimkan itu dari Kalimantan. Aku tak melihatnya sebagai sebuah kertas tak berharga. Nilainya bukan dihitung dari harga, tapi dari siapa yang memberi. Dan sejauh yang kuingat, hadiah dari Rio selalu dapat menyenangkan hatiku.
Aku berjanji juga padanya, akan balas mengirimkan sesuatu yang tak kalah bermaknanya jika hadiah darinya datang. Aku sudah tak sabar melakukannya. Ini pasti akan menjadi sesuatu yang sangat luar biasa. Bisikku dengan gembira.
----------------------------------------------------
Bandung, Awal AprilPagi menjelang. Tanah menerima cahaya keemasan dari Sang Fajar yang hampir berada di cakrawala. Embun merasuk ke setiap ujung dahan yang berdiri di tepi jalan. Alam mulai terbangun, seolah membisiki orang-orang untuk memulai hari.
Di ujung perempatan itulah, rumah minimalis milik mendiang ayahku gagah berdiri. Tepat menghadap hamparan persawahan yang hijau sejauh mata memandang.
Bandung dingin pagi ini. Aku mematut diri di depan cermin.
"Usiamu 24 tahun, Kirana. Sudah ratusan episode yang telah engkau lalui sampai sejauh ini. Sudah tak terhitung berapa kali bersedih, gembira, tertawa, atau kecewa." Kataku pada diri sendiri.
Segala hal menyedihkan membuat seseorang jadi kuat, bukan? Maka inilah aku. Gadis yang sedari kecil sudah ditinggal ayahnya. Berjuang bersama ibu dan kedua adik laki-laki untuk menjalani kerasnya kehidupan.
Masih hangat di ingatan. Ibu ditelpon oleh seseorang pada malam hari sekitar jam 23.00. Tidak ada yang menelpon selarut itu jika tidak ada hal yang begitu genting. Benar saja, suara di ujung sana mengabarkan jika ayah telah gugur dalam melaksanakan tugas.
Ayah mengalami dekompresi saat melakukan misi pencarian bangkai kapal yang hilang di Teluk Jawa. Aku yang saat itu berusia 4 tahun belum memahami betul makna kehilangan. Tapi melihat ibuku menangis aku ikut menangis juga. Ibu hampir tanpa suara melelehkan bulir putih di pipinya. Dia tak mau aku terbangun. Padahal aku sama sekali belum tidur ketika itu. Aku hanya memeluk Joni, boneka panda putihku dengan erat. Malam itu adalah malam yang tak akan terlupakan sepanjang hidup. Awal mula semua penderitaan ini berasal.
Apa yang diharapkan dari satu keluarga yang ditinggal pergi kepala keluarganya? Ibu menjadi lebih tegas setelah itu. Aku dididik menjadi anak yang lebih mandiri, untuk tidak bisa dibilang keras. Ibu selalu menyuruhku berjualan di sekolah. Apa saja. Mulai jajanan, gorengan, hingga es lilin.
Jika mau sesuatu, kau harus berusaha. Tidak ada yang gratis. Aku awalnya sering menangis. Sebelum ayah meninggalkan kami aku begitu dimanjanya. Hampir semua yang kuinginkan selalu dipenuhi. Termasuk boneka panda itu. Tak perlu merengek untuk mendapatkannya. Ayah tidak suka aku cengeng, dan hanya dengan senyuman manisku ayah akan luluh. Membelikan apa yang aku suka.
Sekarang mana bisa begitu.
Daganganku harus laku banyak jika ingin membeli barang yang agak mahal. Aku tidak pernah meminta ibu. Ibu selalu pelit. Tak akan dia memberiku sepeserpun secara Cuma-Cuma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Rasa
Cerita PendekAda yang menggebu-gebu ingin dikeluarkan, ada yang ditahan-tahan ingin diperlihatkan. 4 kisah dari 4 sudut pandang yang berbeda tapi memiliki kesamaan kondisi hati. Sama-sama sedang 'bergejolak'. Selamat membaca :) Enjoyyy..😊😊