Sore itu, cuaca memang sangat dingin. Hujan gerimis turun perlahan, membuat udara semakin menggigit. Naina dan Adrian berjalan berdampingan, langkah mereka bergema di sepanjang koridor sekolah untuk pulang setelah latihan.
Meskipun hujan tidak terlalu deras, udara dingin yang menggelayuti sore itu membuat tubuh mereka sedikit menggigil. Naina, yang hanya mengenakan cardigan tipis, tampak mulai menggigil, tubuhnya sedikit bergetar karena suhu yang menusuk kulit.
Adrian, yang sejak awal sudah memperhatikan keadaan Naina, menatapnya sesaat. Tanpa berkata apa-apa, dia berhenti dan segera melepas jaketnya. Naina sedikit terkejut saat dia melihat Adrian membuka jaketnya dan langsung mendekatkan diri kepadanya.
"Nai, ini. Jangan terlalu kedinginan," kata Adrian dengan suara yang tetap tenang, namun nada yang lebih lembut daripada biasanya. Dia memakaikan jaket itu dengan gerakan hati-hati, memastikan bahwa Naina merasa nyaman.
Naina terdiam, sedikit terkejut dengan perhatian yang diberikan Adrian. Sejak mereka mulai dekat, Naina sudah merasakan banyak perubahan dalam dirinya, terutama dalam cara Adrian berinteraksi dengannya. Meskipun Adrian memang orang mudah bergaul dan friendly, ada sisi lembut yang kini mulai terlihat.
"Sungguh, ini tidak perlu," kata Naina, mencoba menahan rasa malu. Namun, saat Adrian sudah mengikatkan jaket itu dengan sempurna di tubuhnya, dia tidak bisa berargumen lebih lanjut.
"Harus, kalau kau tidak mau sakit," jawab Adrian, matanya sejenak bertemu dengan mata Naina. Senyumnya terlihat jelas di depannya, meski hanya sejenak, namun cukup untuk membuat suasana menjadi lebih hangat. "Aku tidak ingin kau kedinginan atau sakit. Ini hanya jaket."
Naina merasa hangat, bukan hanya karena jaket yang dikenakannya, tetapi juga karena perhatian yang diberikan Adrian padanya. Ada rasa canggung yang mulai menghilang, digantikan oleh perasaan nyaman yang sulit dijelaskan.
Mereka melanjutkan jalan bersama, dan meskipun cuaca dingin dan hujan semakin rintik-rintik, Naina merasa lebih tenang. Sesekali, Adrian menatapnya dengan tatapan yang lembut, dan meskipun kata-kata tidak banyak terucap, perasaan yang tumbuh di antara mereka semakin jelas terasa.
"Sungguh, terima kasih, Adrian," ujar Naina pelan, meskipun dia merasa kata-katanya tidak bisa menggambarkan betapa bersyukurnya dia.
Adrian hanya mengangguk, tetap menjaga jarak meskipun perhatian yang diberikan begitu besar. "Jangan terlalu banyak berpikir, Naina. Aku akan mengantarmu pulang," jawabnya dengan nada yang lebih santai, mencoba menjaga suasana tetap ringan meski sebenarnya ada banyak hal yang masih tersirat di antara mereka.
Dalam perjalanan menuju rumah Naina, meskipun cuaca dingin dan hujan yang semakin deras, percakapan mereka tetap berjalan dengan nuansa tenang. Naina, yang merasa canggung dengan situasi ini.
"Terima kasih, untuk jaketnya. Aku.. tidak bisa membayangkan kalau harus berjalan tanpa itu," kata Naina, berusaha menjaga jarak, meskipun kehadiran Adrian sangat menenangkan baginya.
Adrian yang berjalan di sampingnya, menatap ke depan, namun terdengar sedikit terkejut dengan sebutan itu. Tanpa menoleh, dia memutuskan untuk memberi penjelasan.
Adrian tersenyum tipis, meskipun tampak sedikit serius, dia mencoba memberi penjelasan lebih lanjut. "Kau tidak perlu berterima kasih dan santai saja, tidak perlu canggung seperti itu.," katanya, suara penuh keyakinan, tetapi tetap terkesan sopan.
Mendengar penjelasan itu, Naina sedikit ragu, namun akhirnya dia mengangguk. "Baik, Adrian," jawabnya pelan, merasa agak canggung, namun juga sedikit lega karena dia akhirnya bisa memanggilnya dengan cara yang lebih santai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Reighaard
Ficção AdolescenteNaina sudah lelah jadi bulan-bulanan para pembully di sekolah. Hingga suatu hari, Reigha, siswa baru yang misterius dan dikenal suka berkelahi, muncul bak pahlawan dalam diam-menyelamatkannya dari perundungan yang hampir membuatnya menyerah. Dingin...