I - Ketua atau Pesuruh?

39 5 1
                                    

Sebuah gumpalan kertas terbang dari segala sudut ruangan. Anak SMA kelakuan TK. Atau mungkin semasa masuk SD orang tuanya lupa menyekolahkan mereka ke TK. Bella hanya berjalan menuju kursi tempat duduknya dengan tatapan mantap.

"Bell, ada yang nyari." Seru salah satu teman sekelasnya. Bola mata Bella  berputar. Antara bosan atau malas. Atau keduanya, ya, bosan dan malas. Akhirnya ia beranjak dari tempat duduknya, baru satu lagkah bejalan sebuah gumpalan kertas jatuh tepat di kepala. Dia berhenti sejenak, menarik napas dalam tanpa bicara.
"Idiot!" Hati kecilnya memaki.
Kemudian ia berjalan lagi meninggalkan suara riuh yang terlalu mengganggu.

Apabila temannya bilang ada yang mencari dirinya, yakinlah, dia bukan dicari oleh orang penting. Dia hanya dicari oleh guru piket yang akan memberikan tugas untuk kelasnya. Ya, Bella adalah ketua kelas. Jabatan yang dia terima hanya karena dia tidak banyak bicara. Sejak kelas sepuluh dan sebelas dia tidak pernah bermimpi jadi ketua kelas. Kalian tahu, lah, lebih baik jadi anggota daripada jadi ketua tapi tetap disuruh layaknya anggota. Di kelasnya ketua kelas bukan, lah, jabatan tinggi. Di kelasnya, menjadi ketua kelas berarti menjadi bahan dan alat untuk menutupi segala keburukan dan kebobrokan teman-temannya.

Dia berhenti tepat di depan ruang guru, anggun dia melangkahkan kaki.
"Dua belas IPS tiga! Masukin baju kamu, kamu pikir ini di mana?!"
Suara lantang yang hanya menyebutkan kelas di mana ia belajar tanpa menyebutkan nama. Sebenarnya ini mengusik hati Bella. Namun, sekali lagi, Bella lebih suka diam daripada memancarkan mimik tidak suka.
Bella hanya memutar bola mata lagi sambil sibuk menyesapkan baju ke dalam rok.
"Kamu pikir kamu siapa? Tidak punya sopan santun atau gimana?"
Bella menghela napas, tatapan datar ia hadihi untuk guru yang duduk di meja piket.
"Bapak kenapa, sih? Lupa sarapan? Sensi banget masih pagi." Katanya sambil mendekat.
"Bella, Bella..."
"Nah, gitu, dong. Dari tadi panggil saya Bella. Apaan manggil dua belas IPS tiga." Kata Bella sambil menghampiri guru piket itu.
"Nah, ini. Tugas dari Pak Abidin guru ekonomi. Dikerjakan. Kasih tahu sama teman-temanmu."
"Mereka, sih, walau pun dikasih tahu mana mau dengar, Pak."
"Justru karena ada kamu, mereka harus diajak untuk mendengar."
Bella menatap kilat guru piket itu dan langsung memandang bosan ke arah buku.
"Oh, iya. Bapak dengar-dengar akan ada murid pindahan untuk kelas kamu."
"Oh, ya?" Suara Bella datar tidak tertarik.
"Sepertinya akan datang pada jam pelajaran kedua."
"Dia anak pejabat?"
"Bukan."
"Nah, lantas kenapa datang pada saat jam pelajaran ke dua? Emang Ibu Anggun sudah pensiun buat menghukum murid terlambat?"
Guru piket di hadapannya memandang kesal ke arah Bella.
"Cukup. Masuk kelas dan suruh teman-temanmu mengerjakan tugas."
"Oke, terimakasih, Pak."
"Tunggu," kata bapak guru yang sedang piket. Bella tidak menjawab hanya memperlihatkan mimik 'kenapa' yang dia miliki.
"Ini," guru piket itu memberikan simbol hati dari sakunya.
Hidung Bella mekar sejadi-jadinya.
"Kebanyakan nonton drama, bapak ini." Bella melengos begitu saja.

Bella langsung menuju kelasnya. Sampai di kelas ia mengambil spidol dan menuliskan tugas yang harus dikerjakan di papan tulis.

"Bell, lo gak request buat memperkecil jumlah tugas yang harus kita kerjain?" Celetuk teman sekelasnya.

Bella? Jelas dia tidak menjawab. Pertanyaan tidak berfaedah yang harus segera dia lupakan. Dia hanya menulis tugas, kembali ke tempat duduk dan mengerjakan tugasnya.

Sebenarnya, bisa dibilang Bella adalah perempuan yang malas juga mengerjakan tugas. Dan sebenarnya juga, menjadi ketua kelas memberikan sedikit tekanan padanya. Tekanan akan dicap jelek, walau pada kali pertama memang ia tidak bagus-bagus amat. Dan yang kedua, dia tidak ingin dicap lebih bobrok daripada teman sekelasnya. Kalian tahu, lah, kalau sebuah anggota kelas itu buruk, pasti guru hanya menilai dari seberapa ketua kelas yang memimpin. Atau paling parah, wali kelas akan dicap lebih keji karena tidak bisa membimbing anak muridnya. Ya, seperti itu. Lingkaran yang tidak pernah putus.
Sama seperti kalian menyukai seorang pria yang ternyata teman dari temanmu dan temanmu menyukainya juga. Sesederhana itu.

" Bell, ada gosip terbaru!" Sissy langsung menyenggol tangan Bella yang sedang menulis. Bella mendengus tanpa menunjukan wajah kesal. Sissy si otak toksik dengan beribu gosip dan kenyinyiran.
"Apaan? Gosip mulu hidup lo," kata Bella cuek sejadi-jadinya.
"Bakal ada anak baru!"
"Yaelah, basi." Kata Bella.
"Lah, lo tahu?"
Bella hanya mengangguk.
"Tapi lo gak tahu, kan, kalau dia temen gue pas SMP dulu?"
Bella menatap Sissy.
"What?"
Sissy mengangguk senang.
"Lo harus ketemu dia! Dia akrab banget sama gue! Dan sekarang gue seneng sejadi-jadinya!!!"
Sissy menggebrak-gebrak meja seperti orang kerasukan.
"Pindah, gue mau ngerjain tugas." Bella kembali datar. Namun, tiba-tiba sebuah pen mental ke kepalanya. Bella diam, kemudian menoleh ke belakang. Sandy, cowok itu duduk bersandar seperti tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Bella memungut pen di dekat kakinya. Sissy sudah memasang wajah panik. Dengan satu lemparan, Bella berhasil mendaratkan pen itu tepat di kening Sandy.
"Aww! Sakit, njir!" Jerit Sandy.
"Sorry." Kata Bella sambil menutup bukunya. Dia beranjak dengan sedikit menggerutu. Setidaknya dia hanya ingin melihat Sandy mengucapkan maaf juga.
"Dasar ketua kelas songong!" Teriaknya sambil menendang meja. Jangan heran, di zaman sekarang banyak orang yang begitu. Orang yang melakukan kesalahan tapi tidak pernah minta maaf, atau orang yang diberi tapi tidak mengucapkan terimakasih. Terlalu barbar, hingga mereka pikir hal-hal kecil seperti itu sudah tidak digunakan lagi. Tapi yang kita ketahui, semua itu salah besar. Zaman boleh berubah, teknologi boleh semakin canggih. Tapi bukankah rasa empati dan simpati kita terhadap mereka juga harus semakin canggih dan berkembang?

Melihat Sandy yang marah hingga menendang meja membuat Bella muak. Ya, dia adalah toksik yang sudah dia tandai sejak pertama bertemu.

***

TOXICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang