II - Si Anak Baru

17 2 0
                                    


Taman sekolah hari itu sepi, para siswa lebih suka berjubel di kantin untuk memenuhi nafsu perut mereka. Lain hal dengan Bella, dia lebih suka membawa beberapa makanan ringan dan sebotol air mineral untuk dinikmati di bawah pepohonan taman. Dan yang lebih menyenangkan lagi, hari ini taman sepi.

Bella membolak-balik halaman novel di tangannya.

"Boleh gabung?" Suara anak laki-laki terdengar samar di telinga yang ia sumpal dengan headset. Bella menoleh, kemudian menjulurkan lengannya ke arah bangku kosong di sampingnya.

"Andre." Anak laki-laki itu dengan mantap menjulurkan lengannya. Bella menoleh. Tidak menjawab, dia hanya membuka bagian sampul depan novelnya dan menunjukan nama yang tertera di sana "B-e-l-l-a."

Laki-laki itu langsung menarik kembali lengannya. Bella jalan begitu saja. Secara tidak langsung, Andre, sebagimana laki-laki tadi menyebutkan nama. Dia telah merusak suasana hati Bella.

Andre memandang punggung Bella yang semakin jauh, dalam hatinya dia meringis. Kesan pertama yang sedikit masam.

Jam pelajaran dimulai kembali, Bella lagi-lagi dengan nafsu di ujung tanduk ingin segera mengakhiri kelas-kelas membosankan ini. Kelas-kelas yang hanya membawanya ke dalam lubang-lubang kegundahan. Gundah untuk belajar dan menghadapi orang-orang menyebalkan maksudnya.

"Woy, ketua kelas! Guru sejarah enggak masuk, tuh." Sandy, suara yang tidak pernah diatur. Keras hingga menyusup gendang telinga. Mengganggu.

Bella hanya menghadiahi tatapan datar. Dasar manusia toksik. Rasanya dia dilahirkan ke dunia hanya untuk membuat bumi lebih sesak. Namun, walau pun dia tidak ada di dunia, Bella yakin akan ada orang yg mewakili sifatnya ini di dunia. Entah dosa apa yang dibuat Bella di kehidupan sebelum ini, rasanya sudah tidak kuat lagi di kelilingi orang seperti ini.

"Oke, teman-teman. Gue bakal ke kantor untuk minta tugas." Bella berjalan tanpa selera. Lorong-lorong kelas terlihat sepi waktu itu. Para murid semua sedang belajar di kelas masing-masing. Namun, seketika langkah kaki Bella terhenti saat ia mendengar suara runtuhan buku jatuh berturut-turut. Dia menoleh, seorang anak laki-laki dengan wajah panik karena buku di tangan jatuh ke lantai. Bella ingin acuh, ingin melangkah, cuek dan tak mau peduli. Namun, sayangnya hati Bella masih menyimpan teguh rasa empati dan simpati. Dia berbelok, menghampiri anak laki-laki itu dan menolongnya untuk membawa buku.

"Terima kasih, Bella."
Bella memandang wajah anak laki-laki itu. Oh, Andre. Batinnya.

"Sama-sama, lain kali hati-hati. Tangga di sana emang terlalu banyak. Tapi bukan berarti lo harus serakah buat naikin dua atau tiga tangga sekaligus. You know, sama seperti menggapai impian. Satu-satu. Biar kalau gagal enggak sakit amat jatuhnya."

Setelah bicara panjang lebar. Bella pergi begitu saja.
Andre mengerutkan keningnya, tadi di taman tidak mau bicara sama sekali. Sekarang malah bicara di luar topik. Andre hanya menggelengkan kepala sambil masuk kelas. Perempuan memang susah dipahami.

Sedangkan Bella berjalan sambil memikirkan kata-kata yang baru sama ia ucapkan. Kenapa dia sampai bicara hal-hal seperti itu.

***

16.45p.m

Bella berjalan lunglai layaknya orang yang enggan hidup. Saat kakinya menuruni anak tangga dia nyaris jatuh. Dengan cepat sebuah tangan memegangi pundaknya.

"Tangga ini memang banyak, tapi---"
Bella menaruh kedua bola mata tepat di ujung mata.
"Kalau mau kelihatan keren, cari quotes sendiri." Katanya sambil berdiri tegak.
"Lha, ini gak bilang terima kasih, nih?" Kata Andre.
"Terima kasih, Andre."
"Sama-sama, Bella." Andre tersenyum.
"Mau bareng?" Lanjutnya.
"Ke mana?" Tanya Bella.
"Pulang, lah. Ya, kali, sekolah lagi."
Bella tersenyum sedikit. Lumayan, laki-laki ini tidal begitu kaku.
"Memang kita satu arah?"
"Enggak, sih. Tapi kita satu negara." Andre tersenyum lagi sambil memamerkan giginya yang, ah, tidak begitu rapih. Namun, gingsul di sebelah kirinya lumayan membuat dia terlihat manis. Duh, apakah Bella baru saja diam-diam memuji laki-laki di dekatnya ini?

"Andre," dia menjulurkan tangannya.
Bella menatap dan meraih tangannya.
"Udah tahu, kan udah dikasih tahu." Katanya menjabat tangan kemudian menggebasnya pelan.
"Woah, panjang!" Andre memasang wajah terkejut.
"Apanya?"
"Nama kamu."
Bella menatap Andre.
"Udah tahu, kan, udah dikasih tahu." Andre mengulang perkataannya. "Baru tahu ada nama sepanjang itu."
"Ya, ampun! Kurang gurih, Ndre!"
Bella hanya meringis, merasakan kegaringan dari jokes yang dituturkan oleh Andre. Dan berakhir dengan Andre pun ikut meringis. Meringis sampai menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Ngomong-ngomong, lo kelas berapa, deh, Ndre?"
"Duh, nanyanya telat."
"Yaudah, gak usah dijawab."
"Dih, gitu."
"Abisnya, tinggal jawab doang pakai muter."
Andre tertawa lagi, diam-diam dia mulai merasakan dan menemukan pesona dari Bella.
"Harusnya gue di IPS tiga, tapi entah kenapa gue dipindah ke IPS satu."
"Kok bisa?"
"Mungkin karena gue terlalu pintar."
"Duh," bola mata Bella berputar dengan kecepatan ekstra.
"Gue anak baru Bell,"
"Iya, gue tahu."
"Tahunya?"
"Wajah lo asing."
"Wah, siap-siap."
"Kenapa?"
"Yang bilang wajah gue asing biasanya jadi kangen, sih."
Semakin ngobrol lama Bella jadi merasakan setiap kenarsisan dalam diri Andre. Apakah ini cara laki-laki mendekati seorang perempuan? Bernarsis-narsis ke hulu, jatuh cinta kemudian? Tunggu. Cinta? Ah, Bella. Rasanya dia sedang mabuk hari ini. Mabuk cinta? NO!

"Bell,"
Bella menoleh.
"Kok lo gak kaget kalau gue anak baru. Dan aturan kan gue masuk ke kelas lo."
Bella mengerutkan kening, "Kaget? Emang lo tahu gue kelas berapa."
"Buset, ini seragam ada tulisannya." Andre menunjuk seragam yang dikenakan Bella dengan mata.
"Nanti aja, ya, jawabnya. Bus gue udah datang." Bella melambaikan tangan tanda selamat tinggal.

TOXICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang