Pagi pun telah tiba, bi Imah mengajakku untuk pergi jalan-jalan di sekitar pengungsian.Tiba-tiba paman Meko datang dan berbicara dengan bi Imah dengan berbisik-bisik, entah apa yang mereka bicarakan. Paman pun mengajakku pergi meninggalkan bi Imah.
“Kita mau kemana paman?”, tanyaku kepada paman yang sedari tadi tergesa-gesa”.
“Sudah ikut paman saja!”, jawab paman Meko dengan singkat.
Tibalah di suatu tempat dimana banyak orang terjejer tak bernyawa.
”Paman, kenapa kita kesini?”, tanyaku dengan khawatir dan bingung.
”Lihatlah ini!”, paman Meko membuka kain penutup wajah salah satu dari mereka.
”Ibuu!!...paman apakah ini benar ibuku?!”, teriakku dengan histeris tidak menyangka bahwa ibuku sudah tidak bernyawa lagi. Kupeluk ibuku untuk yang terakhir kalinya walaupun darah berlumuran di tubuhnya. Aku tak peduli dengan tubuhku yang ikut berlumuran darah.
“Sudah Ndi, yang sabar ikhlaskanlah ibumu mungkin ini sudah kehendak Allah”, nasihat paman Meko yang mencoba untuk menenangkanku.
“Apa yang terjadi pada ibuku paman?”, tanyaku pada paman.
“Ibumu terbawa oleh arus air laut dan ditemukan di bawah reruntuhan bangunan, Andi”, terang paman Meko.
Aku yang baru berumur 13 tahun tak tahu harus bagaimana, ibuku telah tiada sedangkan ayahku masih mengalami masa kritis. Tetapi untung saja masih ada paman yang selalu setia menemaniku dan peduli padaku.