Is She?

330 90 93
                                    

"Jika kedatanganmu hanya untuk pergi, maka jangan pernah hadir dalam cerita ini ”

*****

Nadin menatap pantulan dirinya di cermin, ia melepas ikatan rambut kepangnya. Lalu menggerai rambut nya dan mencatok dengan lurus. Dirasa sudah cukup bagus, ia memoles wajah nya dengan bedak baby yang sering ia gunakan, tak lupa juga lip balm di bibir agar tidak terlihat kering, sesuai intruksi Dira tadi malam.

Nadin menghembuskan nafas berat. Ia memejamkan matanya sejenak, sedikit risih dengan penampilanya yang sekarang. Rambut yang terurai indah padahal biasanya selalu ia kepang, seragam yang asing, tak lupa dilengkapi dengan almamater marron khas sekolah baru nya. Nadin membuka mata nya kembali, bergegas turun karena Nadira yang terus memanggil namanya.

Saat Nadin turun dari anak tangga, semua penghuni di meja makan menatap Nadin dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Weuh... Adek Kakak cantik banget." celetuk Nadira memecah ketegangan, Nadin tersenyum simpul.

"Duduk sayang." perintah Vina halus, Mencoba melupakan permasalahan kemarin.

Nadin mengangguk tanpa suara.

Hanya satu kata untuk menggambarkan suasana dimeja makan keluarga Nadin, hening.

"Kamu berangkat sama papa atau Nadira sayang? Atau mau berangkat sama Mama?" tanya Vina pada Nadin. Nadin mendongak sekilas, ia sama sekali tidak ada minat untuk membalas pertanyaan mama nya. Vina yang merasa tak dihiraukan tertunduk lesu, dan Vino tau itu.

"Nadin! Kalau ditanya ya dijawab!" gertak Vino mengangetkan Nadin. Nadin tidak berani mendongakan kepala, ia hanya menunduk memegang sendok nya erat. Berharap Dira segera mengajaknya untuk berangkat ke sekolah.

Nadira yang menyadari suasana dimeja makan semakin panas, segera bangkit dan menarik tangan Nadin. Dira menggandeng adiknya untuk bersalaman pada kedua orang tuanya. Dengan tangan bergetar, Nadin menyalimi Vina dan Vino, lalu mengikuti langkah sang kakak.

Nadin menghela nafas lega saat tiba di dalam mobil.

"Lain kali jangan mancing emosi papa Dek." tegur Dira lembut. Nadin hanya bisa mengangguk pasrah. Vino memang seperti itu dari dulu, dan tidak akan pernah berubah.

Lima belas menit perjalanan, hanya digunakan Nadin untuk melamunkan nasibnya disekolah tempat pilihan Vino. Apakah benar ia tidak akan kena bully? Apakah ia bisa mendapatkan teman dalam waktu singkat? Sungguh Nadin benar benar gelisah.

"DEK! UDAH SAMPAI!" teriak Nadira tepat dihadapan muka Nadin, membuat sang empu njingkat sambil mengelus dada nya.

"Biasa ae dong! Nadin gak budek tauk." gerutu Nadin pada Nadira yang seenak jidat mengagetkan jantungnya. Beruntung, Nadin tidak mempunyai riwayat jauntung.

"Biasa, biasa. Dari tadi juga udah biasa, tapi yang di biasain gak bisa biasa." cibir Dira berbelit belit.

Nadin celingukan, mengamati keaadan diluar lewat dalam mobil. Mengabaikan Dira yang masih mencibir.

"Kak Nadin sekolah disini?" tanya Nadin membuat Dira menghentikan ocehanya. Lalu sedetik kemudian ia tersenyum.

"Iyaa. International High School, sekolah ter elite nomor satu di Jakarta. Dugaan Kakak benar kan? Papa mau yang terbaik buat kamu. Buktinya papa memilih sekolah yang tepat. Gedung nya bagus, bisa dilihat dari luar, pasti murid nya ganteng ganteng." jelas Nadira bangga, seolah dirinya lah yang akan menempati sekolah itu.

Nadin mengembangkan senyumnya. Beberapa khayalan khayalan mulai bermunculan di otak cerdik nya.

"Udah sana masuk tuan putri, nanti kakak ikutan telat ke sekolah, kalau—"

Love In SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang