Hari ini adalah hari Minggu, hari yang paling ditunggu-tunngu oleh para pelajar karena hari minggu adalah hari dimana para pelajar beristirahat, begitu katanya. Tetapi Kinan malah tidak merasakan senang sedikitpun dengan hari ini. Pasalnya walaupun hari ini adalah hari minggu, tugas sekolah tidak pernah henti-hentinya menghantui pikiran. Kamarnya penuh dengan sticky note yang menempel pada setiap sudut. Yang mana disetiap lembarnya tertuliskan daftar tugas-tugas yang harus segera Kinan selesaikan. Mata Kinan sangat lelah karena sudah dua malam ia tidak tidur demi mengerjakan beberapa makalah yang harus dikumpulkan besok.
Kinan benar-benar sudah tidak kuat lagi. Mungkin mencoba memejamkan mata selama beberapa menit saja tidak ada salahnya.
Namun, baru saja Kinan menikmati indahnya dunia mimpi, Kinan sudah ditarik lagi ke dunia nyata. Ponsel yang ia simpan di atas meja berbunyi nyaring. Dengan segera Kinan mengangkatnya.
"Halo," sapa orang di seberang sana ketika panggilannya diangkat oleh Kinan.
"Iya halo. Passwordnya mas? Dengan siapa dimana?" jawab Kinan sekenanya.
"Kinan? Lo dimana? Gue udah di depan, cepetan kesini jangan bikin gue nunggu," cerocos orang di seberang sana. "Oke, gue tunggu sampe hitungan ke lima ya. Gece, Kin."
Orang itu mengakhiri panggilannya tanpa menunggu jawaban dari Kinan. Ia bergegas keluar.
Seorang pemuda berpostur tinggi, berkulit sawo matang berdiri di depan pagar.
"Bagus, tepat hitungan kelima," ujar Wira sambil menunjukkan kelima jarinya ketika Kinan keluar dari rumah.
"Ngapain sih?" tanya Kinan dengan nada tak suka.
"Gue mau nagih janji lo," jawab Wira sambil tersenyum.
"Janji apa?" Kinan mengerutkan keningnya. Seingatnya, ia tak pernah menjanjikan apapun kepada lelaki di depannya.
"Janji beliin gue es krim."
"Lah? Kapan gue janji beliin lo es krim?" Kinan makin bingung dibuatnya.
"Satu hari sebelum gue pergi ke Palembang." Wira tersenyum kuda menunjukkan deretan giginya yang rapi.
Kinan membelalakan matanya. "Itu kan empat tahun lalu?"
"Yap," Wira mengangguk setuju. "Dan gue masih mengingat itu."
Kinan menghela napas kasar. Mencoba memutar kembali ingatan tiga tahun lalu.
...
Saat itu setelah pulang sekolah, Wira membonceng Kinan menggunakan sepeda dan mengajaknya ke suatu tempat. Jalanan yang mereka lewati menanjak dan berkelok-kelok.
"Wira ..., kita mau kemana?" tanya Kinan penasaran. Tangannya memegang erat bahu Wira. Khawatir sepeda yang dikendarai Wira oleng dan dia akan terjatuh.
"Ke suatu tempat," jawab Wira sambil terus mengayuh sepedanya.
"Iya, suatu tempat itu dimana?" Kinan semakin penasaran.
"Ada deh, Wira yakin Kinkin bakal suka." Wira tersenyum simpul, sedangkan Kinan dibuat semakin penasaran. Hingga mereka berhenti di sebuah pekarangan rumah.
"Turun," titah Wira. Kinan menurut saja.
"Ini rumah siapa?" Tanya Kinan setelah turun dari sepedanya Wira. Matanya menjelajah melihat sekeliling. Sebuah tempat yang asing bagi Kinan.
"Ini rumah kedua Wira," jawab Wira sumringah. "Ayo masuk, di dalam sudah ada Mama, Papa, Omah, Om Rey, dan Tante Kei." Wira menarik tangan Kinan.
"Mama ..., Wira bawa Kinkin nih!" teriak Wira saat mereka melangkahkan kaki, masuk ke dalam rumah tersebut. Terdengar suara beberapa orang yang sedang berbincang-bincang. Kinan mengikuti kemana Wira melangkah, persis seperti anak itik yang membuntuti induknya.
Tibalah mereka di halaman belakang rumah Wira. Benar apa yang tadi dikatakan oleh Wira, disana sudah ada keluarga kecil Kinan dan keluarga kecil Wira.
"Eh, sudah pulang sayang? Kinan mau minum apa?" tanya Sinta ramah.
"Kinkin nggak usah dikasih minum, Ma," sahut Wira.
"Loh? Kenapa memang?" Kening Sinta berkerut bingung.
Wira berjinjit dan membisikkan sesuatu di telinga Mama Sinta. Kemudian Sinta terkekeh geli mendengar perkataan putranya dan mengacungkan jempolnya sambil berkata, "Oke". Kinan mengerutkan keningnya, bingung sekaligus penasaran dengan apa yang dikatakan Wira kepada Sinta.
Wira melihat ke arah Kinan yang bergeming di tempatnya. Ia menyunggingkan senyumnya, "Ayo Kinkin, kita ke atas."
Kinan menurut saja sedari tadi. Dipijaknya satu persatu anak tangga menuju lantai dua. Kemudian duduk di sebuah ayunan yang ada di balkon.
"Gimana? Kinkin suka kan?"
Mata Kinan tidak berkedip barang sedetikpun. Pemandangan yang terlihat dari balkon rumah Wira sangat indah. Perlahan senyumnya merekah. "Iya Wira, Kinan suka."
"Kin, besok Wira sama Mama dan Papa mau berangkat ke Palembang."
Kinan menengok ke arah Wira yang duduk di sebelahnya. "Besok?"
Wira mengangguk sebagai jawaban.
"Tapi Wira bakal balik lagi kan ke Jakarta?" Ekspresi wajah Kinan berubah cemas. Ia takut kalau Wira tidak akan kembali dan melupakannya. "Wira kan suka es krim, Kinan janji deh kalo Wira balik lagi ke Jakarta, Kinan bakal beliin Wira es krim sebanyak-banyaknya," lanjut Kinan.
Wira tampak berpikir. Kemudian ia mengangguk kemudian mengangkat jari kelingkingnya, "Janji kan?"
Kinan menautkan jari kelingkingnya, "Iya, janji."
...
"Aish, sial." Kinan mendengus sebal. Yang benar saja? Masa dia memegang janji bocah ingusan?
"Gimana? Udah ingat?" Wira menaik turunkan alis tebalnya menggoda Kinan.
"Iya, gue ingat," jawab Kinan ketus.
"Ya udah tunggu apa lagi? Ayo dong!"
Dasar maniak es krim!
"Jangan sekarang dong, gue lagi banyak tugas nih. Kapan-kapan aja, ya." Kinan menunjukkan puppy eyes. Meminta belas kasihan dari segala penderitaannya.
"Nggak usah masang muka melas, jijik gue," ketus Wira. "Gue maunya sekarang," lanjutnya tak peduli.
"Tapi gue nggak bisa," tak menggubris perkataan Wira, Kinan masih saja memasang pupy eyesnya.
"Eh, lo kan udah janji. Janji itu hutang. Kalo misalkan lo mati pas ngerjain tugas gimana? Terus hutangnya kebawa mati deh. Emang lo mau mati bawa hutang? Gue sih nggak." Wira bergidik ngeri. Menyebalkan memang.
Kinan mencubit lengn Wira, "Nggak usah bawa-bawa mati."
"Aww ..., gue kan hanya memisalkan." Wira mengelus lengannya yang dicubit Kinan.
"Yaudah, lo tungguin disini, gue ganti baju dulu." Kinan menyerah.
Masalahnya, jika ia memperdebatkan sesuatu dengan Wira, sampai matahari tenggelam dan terbit lagi pun tak akan selesai. Wira terlalu keras kepala. Selalu ingin menang.
"Yes, jangan lama-lama ya, Kinan." Wira tersenyum sumringah.
"Iya."
Tak butuh waktu lama, Kinan sudah selesai merapikan dirinya dan keluar untuk membayar janjinya kepada Wira.
"Punya tetangga kok gini-gini amat," gerutu Kinan dalam hati.
***TBC***
A/n:
Hallo, terima kasih sudah membaca.'(*∩_∩*)′Warmhug🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Radius Satu Meter
Teen FictionSetelah perjanjian itu, seharusnya kita semakin jauh. Tapi kenyataan berkata lain, perasaan ini justru semakin aneh. Dua amplitudo yang membuat degup jantungku tak beraturan. -------------- -Radius Satu Meter- -Zenyftrana, 2018-