Part 03

20 5 0
                                    

Wira menatap pantulan dirinya di depan cermin. Seragamnya sudah rapi dengan bet bertuliskan SMA Putra Bangsa di lengan kanan, dan logo di lengan kiri. Dilengkapi seutas dasi yang terikat rapi di kerahnya.

"Udah cakep belum, Lis?" tanya Wira kepada seorang gadis sang pemilik kamar yang mengenakan seragam putih-biru yang tengah duduk di tepi kasur sambil memperhatikan kelakuan sang Kakak.

"Udah, Kak. Mau dandan kayak gimana juga Kak Wira tetap jelek. Mungkin memang sudah kodratnya kayak gitu," jawab Alisa sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Wira mendengus sebal kemudian berbalik menghadap Alisa, "Setidaknya, Kakak pengen tampil cakep pada hari pertama Kakak di SMA Putra Bangsa."

"Terserah. Tapi menurut Lisa, percuma kalau hari ini cakep tapi besok buluk lagi," ejek Alisa sambil bangkit kemudian melenggang keluar dari kamarnya.

"Eh ..., Lisa kok gitu sama Kakak? Nanti karma loh, pacar Lisa lebih jelek dari Kakak." Wira setengah berteriak agar ucapannya terdengar oleh Alisa yang telah meninggalkannya sendirian di kamar bertemakan kuda poni merah muda.

"Lisa nggak peduli," jawab Lisa dari balik pintu.

"Untung Lisa adik gue." Wira hanya bisa mengelus dada menerima perlakuan adik perempuannya itu.

Ia memperhatikan lagi penampilannya di depan cermin. "Sip." Wira mengacungkan jempolnnya kemudian keluar dari kamar merah muda milik Lisa.

Wira menghampiri Mama, Ayah, dan Lisa yang sudah menunggunya untuk menikmati sarapan. "Selamat pagi, Ma, Yah," sapa Wira disertai dengan senyuman, kemudian ikut membaur di meja makan.

"Lisa nggak dikasih ucapan selamat pagi?" protes Lisa.

"Nggak ah. Soalnya Lisa pagi ini menyebalkan," jawab Wira dengan santai.

"Lisa menyebalkan karena Kak Wira juga menyebalkan," bantah Lisa.

"Sst ..., pamali ribut di depan makanan." Mama mencoba melerai perdebatan diantara kedua anaknya sebelum semakin menjadi. Keduanya pun terdiam. Sampai Wira kembali membuka suara.

"Ma, Wira sarapan di sekolah aja ya?"

"Loh? Kenapa?" Mama mengernyit menatap Wira bingung.

"Wira belum lapar," jawab Wira.

"Ya sudah, tunggu sebentar. Mama siapkan bekal untuk sarapan kamu." Mama hendak bangkit, namun Wira menahannya.

"Nggak usah, Ma. Wira makan di kantin sekolah aja."

"Cih ..., bilang aja malu," cibir Alisa.

"Apa sih, Lisa?!" Wira melotot tajam ke arah Lisa.

"Biasa aja kali itu mata. Nanti lepas dari tempatnya gimana?" Alisa tertawa kecil. Sedangkan Wira hanya bisa menghela napas menahan kekesalannya kepada Alisa.

"Benar mau makan di kantin sekolah?" tanya Mama memastikan.

"Iya, Ma." Wira mengangguk meyakinkan Mamanya. "Wira berangkat dulu ya, Ma, Yah." Wira mencium tangan kedua orang tuanya.

"Hati-hati bawa motornya, jangan ngebut-ngebut, helmnya pakai," pesan Ayah.

"Siap siap siap," jawab Wira. "Salim kamu." Ia menyodorkan tangan kanannya kepada Alisa. Kemudian Alisa meraih tangan kakaknya dan menciumnya.

Wira melangkah keluar rumah meninggalkan keluarganya yang masih menikmati sarapan.

Wira mengeluarkan motornya dari garasi. Entah mengapa jantung Wira berdetak tidak karuan. Wira memegangi dadanya. "Duh, kok gue deg-degan ya?" tanya Wira kepada dirinya sendiri. "Ah masa bodoh."

Ia memakai helmnya kemudian memacu sepeda motornya menuju sekolah barunya.

***

Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan, akhirnya Wira sampai di tempat tujuan. Kemudian ia menyimpan sepeda motornya di parkiran dan melepas helmnya. Ia menghela napas kasar, berusaha menghilangkan rasa gugupnya.

Kedua mata Wira menangkap sesosok gadis yang tidak asing berjalan didepannya. Gadis itu berhenti di depan sebuah kelas. Wira ikut berhenti. Gadis itu berbincang dengan seorang lelaki yang kemudian mencubit pipi gadis itu.

"Ya Tuhan, kenapa sepagi ini mata hamba melihat kejadian yang seperti itu," gumam Wira. Ia melanjutkan berjalan menyusuri koridor mencari ruangan yang bertuliskan 'Ruang Guru' setelah gadis itu masuk ke dalam kelasnya bersama lelaki itu.

***

Bel istirahat berbunyi nyaring. Sebagian besar siswa-siswi berhamburan keluar kelas. Wira menghela napasnya lega. Pasalnya, pada hari pertamanya di SMA Putra Bangsa, ia malah disuguhi pelajaran matematika yang membuat kepalanya pusih seribu keliling. Ia memutuskan untuk pergi ke kantin karena perutnya sudah meraung kelaparan sebab tadi pagi ia tidak sarapan.

Ia membeli satu porsi siomay. Matanya menjelajahi seluruh penjuru kantin. Berharap ada tempat kosong yang bisa ia tempati.

Bahu Wira tertabrak seseorang dari belakang. "Maaf," ujar orang itu. Namun, Wira merasa ada sesuatu yang aneh. Ia mencekal lengan orang yang menabrak bahunya tersebut.

"Saya kan sudah bilang maaf," ujar orang itu tidak santai.

Wira memicingkan matanya. Ia merasa kenal dengan orang tersebut, "Lo ..., lo Gilang kan?" tebak Wira.

Orang yang Wira duga bernama Gilang mengangguk. Kemudian dengan percaya dirinya dia berkata, "Iya. Kenapa? Mau minta tanda tangan? Nanti deh ya. Gue nggak bawa pulpen."

"Lang! Gue tungguin dari tadi, ternyata lo malah ngobrol disini," ujar seseorang menepuk bahu Gilang.

"Ini, ada yang minta tanda tangan gue. Gue bilang nanti aja. Soalnya gue nggak bawa pulpen," jelas Gilang kepada orang yang baru saja menepuk bahunya. Kontan orang tersebut langsung menengok ke arah Wira dengan tatapan bingung.

Wira mengangkat kedua sudut bibirnya, kemudian menggeleng. "Nggak, gue bukan mau minta tanda tangan lo. Lo Gilang, 'kan? Gilang Adyatma?"

"Iya. Sekali. Gue Gilang." Gilang mengernyit. "Kenapa, sih?" lanjutnya.

Wira tersenyum simpul. "Lo masih inget nggak sama gue?"

Gilang dibuat semakin bingung. "Nggak. Emang lo siapa?"

"Gue Wiratama Alexi," ucap Wira memperkenalkan.

Gilang ternganga, terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. "Lah? Wira? Kapan lo balik dari Palembang? Kenapa nggak ngabarin gue? Makin tinggi aja lo. Dikasih makan apa lo disana? Gantar?" tanya Gilang bertubi-tubi.

Wira hanya mengedikkan bahunya sambil tersenyum. Ia kemudian menunjuk seseorang yang berdiri di samping Gilang dengan dagunya meminta sebuah jawaban dari Gilang.

Gilang melihat orang di sebelahnya. "Oh, kenalin dia Dirga."

"Kembarannya Gilang," timpal Dirga seraya menjulurkan tangan kanannya.

"Seenaknya aja lo," tukas Gilang tak suka.

Wira menerima uluran tangan Dirga sambil memperkenalkan dirinya. "Gue Wira."

***TBC***

A/N:
Hallo, terima kasih sudah membaca. Boleh krisarnya.'(*∩_∩*)′

Warm Hug,
Zen.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Radius Satu MeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang