Cerahnya mentari menyongsong pagi ini. Kinan menghabiskan sepiring nasi goreng spesial buatan Mama sebagai sarapan kemudian meneguk segelas susu coklat sebagai minumnya. Ia bangkit dari duduknya hendak berpamitan kepada Mama dan Papanya yang masih menyantap sarapan mereka dengan santai.
"Ma ..., Pa ..., Kinan berangkat ya."
Mama berhenti mengunyah kemudian menelan makanan yang ada di mulutnya. "Loh, kok buru-buru banget sih?" Dahi Mama berkerut bingung.
"Iya, Ma. Rangga udah nunggu di depan." Kinan menunjukkan pesan dari Rangga yang terpampang pada layar telepon genggannya, pesan itu sampai kepada Kinan sekitar sepuluh menit yang lalu. Sebenarnya Kinan memberi kode kepada sang Mama agar tidak usah banyak bertanya.
"Yasudah, cepat berangkat kasihan Rangga pasti sudah nungguin kamu dari tadi." Ternyata Papanyalah yang peka terhadap kode Kinan.
"Oke, Kinan berangkat dulu," pamitnya. Kemudian ia mencium tangan kanan kedua orang tuanya.
Kinan melihat seorang lelaki mengenakan jaket jeans warna hitam sedang duduk di atas motor sportnya yang berwarna merah ketika ia melangkah keluar dari rumah. Kedua sudut bibir Kinan perlahan terangkat. Kinan berjalan mendekati lelaki itu. Lelaki itu adalah Rangga, status yang ia jalani sekarang adalah sebagai 'pacar Kinan'.
"Hai," sapa Kinan lembut.
Rangga menoleh, kemudian ia tersenyum melihat gadis yang sedang berdiri di hadapannya sekarang. "Hai," balas Rangga dengan suara basnya yang khas. "Kamu tau nggak, apa yang lebih cerah dari matahari pagi ini?"
"Apa?" Kinan menautkan alisnya, menatap Rangga dengan tatapan bingung.
"Suasana hati aku kalau liat kamu senyum kayak gini," jawab Rangga sambil tersenyum.
Kinan terkekeh geli. "Masih pagi udah gombal aja."
"Tapi kamu seneng kan aku gombalin?" Rangga menaik turunkan alisnya, menggoda Kinan.
"Ish, udah ah. Ayo berangkat, nanti kesiangan."
"Oke." Rangga memberikan sebuah helmnya kepada Kinan.
Kinan memakai helm yang diberikan oleh Rangga kemudian duduk di belakang Rangga. Tanpa aba-aba Rangga memutar pedal gas motornya melaju menuju sekolah.
Rangga memarkirkan motornya. Kinan turun dari motor Rangga. Mereka berjalan beriringan menuju kelas. Kebetulan, mereka satu kelas.
Sebelum masuk ke kelas, Rangga berhenti di depan pintu, Kinan pun ikut berhenti.
"Kenapa? Kok berhenti?" Kinan mengerutkan keningnya.
Rangga tersenyum simpul kemudian tangannya bergerak mencubit pipi Kinan, "Semangat ya belajarnya."
"Iya, kamu juga," balas Kinan sambil tersenyum.
Rangga melengang masuk ke dalam kelas dan Kinan berjalan dibelakangnya. Kinan duduk di bangkunya.
"Ah Kinan ..., lo sweet banget sih sama Rangga," ujar Arin, teman sebangku Kinan, yang dari tadi memperhatikan adegan Kinan dan Rangga. "Gue jadi pengen pacaran sama Brandon Salim," lanjutnya sambil menatap langit-langit kelas dengan mata berbinar-binar dan satu tangannya menopang dagu.
Kinan terkekeh. "Masih aja lo ngekhayalin Brandon Salim. Belum tentu juga kan Brandon Salim tahu lo ada di dunia ini apa nggak." Kinan meledek Arin sambil geleng-geleng kepala.
Arin mengubah posisi duduknya menghadap Kinan. "Ih Kinan, gue aja dukung lo sama Rangga. Masa, lo nggak dukung gue sama Brandon Salim?"
Kinan hanya mengedikkan bahunya, menanggapi ucapan Arin yang kini sudah asyik memandangi papan tulis putih yang menggantung di dinding depan kelas sambil berkhayal. Kinan membiarkan saja teman sebangkunya itu berkhayal sepuasnya.
***
Bel istirahat pertama berbunyi sekitar dua menit yang lalu. Para murid bergerombol ke kantin untuk mencari makanan, ke perpustakaan untuk meminjam atau mengembalikan buku, ada juga yang diam saja di kelas seperti Kinan saat ini. Ia memilih menggunakan waktu istirahat pertamanya untuk memakan bekal yang ia bawa. Seperti biasa, Kinan memakan bekalnya bersama Arin, Abil, dan Anita.
"Kin, Rin, makan ga?" tanya Abil yang duduk di depan Kinan, ia membalikkan tubuhnya menghadap Kinan dan Arin. Diikuti oleh gadis berkaca mata yang duduk di samping Abil, yaitu Anita.
"Gue nggak bawa bekal," jawab Arin. "Gue mau ke kantin dulu. Kalian jangan dulu ada yang makan sebelum gue balik lagi ke sini." Arin bangkit dari tempat duduknya. "Kalo ada yang makan duluan, gue doakan bakal sakit perut," ancamnya.
"Iya bawel, sana cepetan," ujar Anita kesal kepada Arin. Arin tersenyum kuda memamerkan deretan giginya yang rapi kemudian melenggang keluar kelas.
Rangga menghampiri Kinan. "Aku mau ke kantin. Kamu mau dibelikan apa?"
Kinan mendongak menatap Rangga. "Nggak usah, aku bawa bekal kok," jawab Kinan sambil tersenyum.
"Yaudah, habisin ya bekalnya." Rangga tersenyum. Kemudian mengangkat tangannya, mengusap puncak kepala Kinan. Kinan mengangguk, mengiyakan.
Kinan menatap punggung Rangga hingga menghilang dari pandangannya. Senyumnya masih merekah. Kinan sangat senang mendapat perlakuan seperti itu dari kekasihnya. Walaupun sederhana, tetapi bagi Kinan itu cukup manis, dan cukup indah untuk disimpan di dalam ingatan sebagai kenangan.
"Ya ampun Kinan ..., come banget sih kalian," ujar Abil sambil menggigit sendoknya karena gemas melihat apa yang dilakukan oleh Rangga kepada Kinan.
"Kenapa lo? Ngode? Kurang belaian?" tanya Anita melirik ke arah Abil.
Abil melepaskan gigitannya pada sendok, kemudian menengok ke arah Anita. "Ih apaan sih, Anita? Kalo Abil ngode, ngode ke siapa coba, hah?"
"Ke doi lah," jawab Anita santai.
Abil mengerutkan keningnya. "Doi? Doi siapa? Doi dari mana?" tanya Abil bertubi-tubi.
"Oh ..., terus yang kemarin jemput, yang tadi pagi nganterin, itu siapa?" Anita menghadap Abil dengan tatapan penuh selidik.
Abil membelalakkan matanya. "Ya ampun, Anita. Itu Ayah Abil. Masa, Abil pacaran sama Ayah Abil sendiri? Abil juga tahu kalau Ayah Abil ganteng, Abil juga sayang sama Ayah Abil, tapi sayangnya sebagai rasa sayang dari seorang anak kepada seorang Ayah," cerocos Abil dalam satu tarikan napas.
"Yah ..., bisa jadi kan? Kayak di sinetron-sinetron gitu." Anita menaikturunkan bahunya.
Sontak ekspresi wajah Abil berubah menjadi cemas, ia kini beralih menatap Kinan. "Nggak mungkin kan, Kin?"
Kinan terbahak melihat perubahan ekspresi Abil. Namun, Abil malah makin cemas dibuatnya. "Ih kok Kinan malah ketawa sih?"
Kinan menghentikan tawanya. "Lo polos banget sih, Anita cuma bercanda."
Abil kembali beralih menatap Anita, ekspresinya masih cemas. "Beneran Anita cuma bercanda?"
"Gue?" Anita menunjuk pada dirinya sendiri. "Mana ada gue bercanda?" lanjutnya.
Abil kembali beralih menatap Kinan. "Tapi, kata Anita dia serius, Kinan."
Kinan tertawa kecil. "Nit, udahlah. Kasihan Abil."
Anita ikut tertawa. "Hehe, maaf maaf, gue bercanda kok, Bil."
"Astaghfirullah, Anita kira Abil itu apa? Berani-beraninya Anita mempermainkan perasaan Abil." Abil melipat kedua tangannya di depan dada.
Arin duduk di sebelah Kinan, ia kembali dari kantin dengan membawa sebuah plastik berisi gorengan. Kemudian ia melihat Abil dengan tatapan bingung. "Lah, Abil kenapa?" tanyanya kepada siapa saja yang ada di tempat itu.
"Biasa lah, Anita," jawab Kinan.
Arin mengangguk tanda mengerti dengan kelakuan Anita yang kerap menjahili teman sebangkunya itu. "Udah, Bil. Yang sabar ya." Arin menepuk pelan bahu Abil. "Mending sekarang kita makan. Gue udah laper," lanjutnya. Abil mengangguk. Mereka menyantap makanan masing-masing sampai habis.
***TBC***
A/n :
Hallo, terima kasih sudah membaca.Warm hug,
Zen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Radius Satu Meter
Teen FictionSetelah perjanjian itu, seharusnya kita semakin jauh. Tapi kenyataan berkata lain, perasaan ini justru semakin aneh. Dua amplitudo yang membuat degup jantungku tak beraturan. -------------- -Radius Satu Meter- -Zenyftrana, 2018-