Satu

156 26 4
                                    

"Kau harus mengingat kata-kataku jika kau ingin bertahan di wilayah permata matahari. Kau paham, Belva?!"

"Aku mengerti, Ayah. Aku hanya perlu menghindari penguasa di sana, bukan?"

Victor menatap lembut putri bungsunya. "Kita berbeda dengan mereka. Vampir di sana kebal sinar matahari, berbeda dengan vampir bulan seperti kita, Nak"

Gadis berambut hitam legam itu menatap bingung sang Raja yang juga ayah kandungnya. "Lalu bagaimana aku bisa tidak ketahuan kalau seperti itu?"

"Gunakan cincin ini." Victor memberikan sebuah cincin tembaga berwarna hitam. "Cincin itu akan melindungimu dari sinar matahari. Tapi ...."

"Tapi apa, Ayah?"

Belva tahu apa yang dikhawatirkan ayahnya, tetapi mereka tidak punya pilihan lain karena sang Ratu -ibu Belva- sudah tiga tahun mengalami pengikisan raga di mana tubuhnya semakin melemah dan mengering. Berbagai cara sudah dilakukan untuk memulihkan sang Ratu, tetapi nihil. Jalan satu-satunya adalah ramuan dari tanaman terlarang yang hanya ada di wilayah klan Permata Matahari.

Tidak mudah mencari tanaman terlarang karena tidak ada yang tahu bentuk aslinya selain dari buku kuno yang kurang jelas.

"Berjanjilah pada ayah, kau akan baik-baik saja!" Victor memeluk putri yang sangat dia sayangi.

"Aku janji. Dan aku pasti bisa membawa tanaman itu untuk ibu."

"Jangan pernah lepaskan cincin itu apa pun yang terjadi. Selain untuk melindungi dari sinar matahari cincin itu juga berguna untuk menyegel kekuatanmu."

"Baik, Ayah. Aku juga tidak berniat mencari masalah di tempat itu. Aku akan menjalani hidupku selayaknya manusia biasa."

Angin kencang membuka pintu kamar Belva lebar-lebar. Charles dan Charlie dua saudara laki-laki Belva datang dan berdiri di tengah pintu dengan tatapan marah. "Batalkan rencana gila, Ayah!" teriak Charles, sang Putra Mahkota.

"Maaf, Ayah. mengirim Belva ke tempat terkutuk itu bukanlah ide bagus. Biarkan salah satu dari kami yang mencari tanaman itu."

Victor bangkit, menatap datar si sulung. "Cukup, Charles! Aku tidak cukup gila untuk mengirim kalian ke sana. Seluruh penguasa bahkan vampir rendahan di sana mengenal siapa kalian berdua. Tidak! Aku tidak akan melakukan itu. Dan membiarkan kalian musnah di tangan mereka."

"Tapi Belva ...."

"Diamlah, Charlie. Aku juga berat melakukan ini kepada adikmu, tapi ...." Victor menatap sendu kedua putranya. "Kita tidak punya pilihan lain. Hanya sedarah kita yang bisa kita percaya untuk melakukan tugas ini. Dan satu-satunya orang yang bisa kita andalkan hanyalah Belva."

Belva yang sejak tadi diam ikut bangkit menengahi ketegangan orang-orang yang dia cintai ini.

"Kalian jangan khawatirkan aku. Selama aku bisa menyembunyikan identitasku, semua akan baik-baik saja. Ini demi ibu."

"Siapa yang akan menjagamu di sana?" potong Charlie menghampiri Belva.

"Azura dan Sigma." Victor yang menjawab.

Mendengar itu, Belva sedikit tidak terima. "Ayah, aku ...."

"Aku tidak bisa membiarkan putri bungsuku berjuang sendirian. Hanya mereka yang bisa menembus perbatasan. Kau tidak bisa menolak!"

"Baiklah kalau begitu." Akhirnya Belva menyerah.

Setelahnya Charlie dan Charles sibuk memberikan beberapa larangan yang harus dipatuhi di wilayah klan Permata Matahari.

Belva tahu ini akan menjadi tugas pertama yang sulit baginya, setelah seratus tahun hidup di dalam kastil seperti kesayangan yang tidak diizinkan ini dan itu. Kedua orang tuanya, pemimpin klan Permata Bulan sangat menjaganya, kedua pangeran tertua juga sangat menyayanginya. Hanya vampir istana yang tahu seperti apa putri bungsu pemimpin klan Permata Bulan.

Namun, sekarang semua berubah. Raja harus merelakan putri kesayangannya berjuang mencari obat untuk sang Ratu dengan taruhan keselamatan sang putri.

***

"Yang Mulia, kita sudah sampai."

Belva tersadar dari lamunan tentang pertemuan terakhir bersama keluarganya beberapa malam yang lalu.

Sigma membuka pintu mobil untuk Belva di pelataran parkir sebuah sekolahan. Belva memang berusia seratus tahun sejak dia dilahirkan, tetapi raganya hanyalah gadis tujuh belas tahun dengan wajah layaknya putri dari negeri penuh padang bunga. Belva memiliki kecantikan yang unik dan sekarang dia berkamuflase sebagai murid sekolah.

"Apa seperti ini rasanya sinar matahari, Sigma?" Belva menjulurkan tangan mengamati kulit pucatnya di bawah sinar matahari pagi. Cincin pemberian ayahnya melingkar di jari telunjuk kiri. Membuatnya kebal radiasi matahari yang seharusnya membakarnya.

"Hangat dan segar, Yang Mulia."
Pria itu menjawab dengan suara rendah.

Belva tersenyum samar. Betapa beruntungnya Sigma bisa menikmati sinar matahari sesuka hatinya.

Sigma dan Azura adalah siluman, jika Sigma Siluman ular dari india, maka Azura adalah merpati cantik dari Roma. mereka ditugaskan untuk menjaga dan merawat Belva selama jauh dari pantauan kerajaan. Mereka sudah mengabdi ratusan tahun karena alasan balas budi.

"Ke mana aku harus pergi sekarang?"

"Anda harus menemui Tuan Clark, Yang Mulia."

"Berhenti memanggilku seperti itu. Kita tidak sedang di wilayah istana ... dan di mana Clark itu berada?"

"Baik, Nona. Tuan Clark di belakang Anda. Sedang menuju ke mari"

Tanpa menoleh pun Belva tahu kalau ada manusia sedang menuju ke arahnya. Berbalik badan Belva langsung disambut senyum menggelikan pria paruh baya berjenggot yang mirip tokoh Neptunus dalam serial Spongebob.

"Selamat datang, Miss Adam. Aku Clark Thompson, guru yang akan menjadi wali kelasmu. Ayo kita ke kelas dan bertemu teman-teman barumu."

Tanpa banyak bertanya Belva atau yang sekarang menjadi Belva Adam mengikuti langkah wali kelasnya. Adam adalah nama belakang palsu karena tidak mungkin Belva memakai nama Moon di belakang namanya.

Di sinilah Belva sekarang, di hadapan puluhan anak manusia dan beberapa vampir. Belva baru tahu kalau vampir juga menjalani kegiatan seperti sekolah.

"Namaku Belva Adam."

Hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulut Belva, sebelum dia berjalan menuju bangku kosong di sisi kanan.

Tidak ada yang bertanya bukan karena tidak peduli, tetapi mereka terlalu terpukau oleh kecantikan Belva. Saat menuju bangku bakal tempat duduknya Belva melewati tiga vampir yang memiliki aura sangat kuat. Sempat melirik, mata Belva bertemu dengan aura terkuat, sialnya dia sangat tampan dan terlihat berbahaya.

Belva segera membuang jauh-jauh pikiran konyol di otaknya. Siapa pun vampir itu bukan urusan Belva karena Fokusnya hanya mencari obat untuk sang Ratu.

Sikap tidak peduli Belva lah yang sebenarnya menjadi awal bencana karena dari sisi Gideon—Putra Mahkota klan Permata Matahari—juga merasakan hal yang tidak beres pada aura Belva. Pertama kali melihat Belva, Gideon pikir dia hanya manusia, anehnya Gideon sama sekali tidak mendeteksi pergerakan kehidupan pada tubuh Belva, Gideon juga tidak merasakan aura vampir. Mustahil dia siluman karena Belva sama sekali tidak ber-aroma binatang layaknya siluman.

"Siapa dia?" gumam Sean di samping Gideon.

"Kalian merasakannya? Aku tidak. Apa dia alien?" sambung Roy dari meja depan, memutar tubuhnya menghadap Gideon dan Sean di bangku belakang.

"Apa dia manusia dengan kelebihan khusus?"

"Omong kosong!" potong Gideon.

"Kalau dia Immortal dia pasti bisa merasakan auramu, Yang Mulia."

Gideon pikir perkataan Sean ada benarnya. Namun, Belva sama sekali tidak peduli pada Gideon, justru gadis itu lebih peduli dengan peralatan tulis di mejanya yang semua berwarna biru muda.

"Manusia pun pasti akan terperosok oleh aura ketampanannmu. Kau tidak ingat selama seratus tahun terakhir, kau selalu membuat kekacauan dengan tubuhmu itu." Roy ikut memberi asumsi. Membuat Gideon yakin kalau Belva bukanlah makhluk biasa.

Bersambung ...

🌝: Naskah belum melalui proses revisi.

PARAMOUR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang