15

1.4K 245 5
                                    

Mobil itu telah terparkir rapi di depan rumahnya. Rose perlahan melepaskan seatbelt yang ia kenakan. Beranjak untuk keluar dari dalam mobil.

Tidak sampai sebuah sentuhan ia rasakan pada pergelangan tangannya. Dan Rose sudah tahu jika Namjoon sedang menahan kepergiannya. Tampak raut wajah khawatir masih menyelimuti pria itu. Apalagi melihat wajah sembab yang terlihat pada Rose saat ini.

"Kau baik-baik saja?"

"Tidak apa. Maaf untuk yang tadi."

Rose berusaha untuk melepaskan genggaman Namjoon padanya. Namun bukannya mengendur, genggaman itu semakin mengerat. Membuat gadis itu mendecak kesal dan menatap pada pria itu.

"Lepaskan aku. Aku harus pulang sekarang."

"Kau sudah mengetahui semuanya tentangku. Termasuk bagaimana kehidupanku. Kau juga sudah menjadi pendengar yang baik untukku dan mau tetap di sampingku ketika kau telah mengetahui semuanya. Karena itu, aku begitu percaya padamu. Jadi, tak bisakah pula kau juga percaya padaku? Aku juga ingin mengetahui bagaimana dirimu dan apa yang membuatmu menangis seperti tadi."

Rose tertegun disana. Rasanya, tak ada orang yang berkata seperti itu padanya. Hatinya tersentuh dengan semua Namjoon katakan padanya tadi. Tapi, ia hanya merasa jika ia belum siap untuk menceritakan semuanya pada pria itu.

Namjoon menghela napasnya. Tak mendapatkan jawaban apapun dari Rose cukup lama. Membuat pria itu akhirnya mengerti jika mungkin gadis itu mungkin belum siap untuk menceritakan semuanya padanya.

"Jangan memikirkan apapun. Masuk dan langsung istirahat. Jangan lagi melalukan apapun." Ucapnya cepat. Dan disana, Rose merasakan kelegaan karena pria itu dengan cepat mengerti dirinya.

Rose hanya mengangguk menanggapinya. Mulai keluar dari dalam mobil milik pria itu. Sementara Namjoon masih disana. Melirik dari tempatnya saat ini hingga ia bisa melihat jika Rose sudah masuk ke dalam rumahnya.

Pria itu menghela napasnya. Dengan kedua mata yang tertutup sembari menyandarkan dirinya pada kursi kemudi. Ia sama sekali tak pernah melihat sisi seorang Rose yang sangat rapuh seperti tadi. Seolah dirinya tak menginginkan sisi Rose seperti tadi ia lihat untuk kedua kalinya.

Namjoon hanya tak menyukainya. Tak menyukai kesedihan dan tangisan gadis itu.

Tok Tok

Namjoon terkesiap dari pikirannya. Sedikit terkejut mendapati gadis yang ia pikirkan kini kembali menemuinya. Yang baru saja mengetuk kaca mobil miliknya. Pria itu menurunkan kaca mobilnya. Menatap pada Rose disana yang tersenyum padanya.

Gadis itu memberi isyarat agar pria itu mendekat. Dan Namjoon hanya menurutinya. Hanya mengulurkan kepalanya saja saat ini.

"Ada apa? Kau butuh sesuatu?"

Rose menggeleng. Masih memasang senyumannya. Gadis itu tak tahu apa yang merasuki dirinya saat ini. Bahkan tanpa sadar mengepalkan satu tangannya saat ini. Rose hanya mengikuti apa kata hatinya. Itu saja.

Jadi selanjutnya yang ia lakukan, mempertipis jarak antara keduanya. Menutup kedua matanya dengan perasaan berdebar sebelum menempelkan bibirnya di atas bibir milik Namjoon.

Tentu saja, pria itu terkejut dibuatnya. Namun sebelum ia bisa mencerna apa yang terjadi, bibir hangat milik Rose sudah tak bisa lagi ia rasakan. Gadis itu memberikan kembali senyumnya sebelum berlalu dari sana. Meninggalkan Namjoon yang bahkan tak beranjak sedikit pun dari tempatnya. Namun sebuah senyuman tipis pria itu keluarkan setelahnya.

Sementara gadis itu, menutup pintu rumahnya dengan cukup keras. Menyandarkan dirinya pada pintu di belakangnya. Rose memegang dada kirinya. Dimana jantungnya masih berdebar dengan keras saat ini. Mungkin, sudah lama ia tak pernah lagi merasakan perasaan ini setelah sekian lama. Senyumannya semakin melebar mengingat kembali apa yang ia lakukan sebelumnya.

Rose dengan cepat menetralkan dirinya ketika melihat Neneknya yang baru saja keluar dari kamar. Mungkin beliau terbangun karena Rose yang menutup pintu rumah dengan cukup keras.

"Ada apa denganmu? Kenapa menutup pintu dengan keras?"

Rose hanya memasang cengiran bodohnya. Mendekat pada Neneknya dan memeluknya dengan cepat. Membuat sang Nenek hanya bisa dibuat bingung dengan kelakuan cucunya itu. Belum lagi dengan Rose yang kini mengecup dengan cepat pipinya setelah melepaskan pelukannya. Semakin dibuat bingung ketika melihat Rose kini berlalu begitu saja setelah membuat Neneknya menjadi orang paling bingun di seluruh dunia.

Namun, sebuah senyuman terpatri di wajah paruh baya itu. Melihat sang cucu yang bisa tersenyum dengan bahagia dan sangat lepas seperti tadi setelah sekian lamanya.

Wanita itu hanya berharap, jika cucunya itu akan terus dikelilingi oleh kebahagiaan. Karena dirinya merasa, sudah cukup Rose tak menikmati apa itu arti kebahagiaan setelah kedua orangtuanya telah tiada.

.

.

Wanita itu kembali menuangkan minuman berakohol itu di atas gelas di hadapannya. Meneguknya langsung hingga habis. Entah gelas ke berapa yang sudah ia minum saat ini. Duduk di kursi mini bar yang sengaja ia buat untuk dirinya sendiri. Persetan jika nantinya akan ada sang suami yang akan melihatnya mabuk seperti ini sekarang. Ia hanya ingin menghilangkan pikiran-pikiran yang tengah menyelimuti otaknya.

"Sialan." Umpatnya. Sedikit meletakkan gelas yang ia genggam dengan keras sehingga menimbulkan bunyi yang cukup lantang.

Drrt...Drrt...

Bunyi ponselnya memecah keheningan di sekitarnya. Dan umpatan lain ia keluarkan ketika melihat siapa nama seseorang yang menelponnya saat ini. Namun ia tak punya pilihan lain selain mengangkatnya. Setelah sebelumnya ia menetralkan dirinya agar tak terdengar seperti orang yang mabuk.

"Oh, eonni. Aku benar-benar terkejut mendapatkan telpon darimu. Ada apa, eonni?"

Terdengar suara decihan disana. "Apa kau sedang bercanda denganku? Kau ingin bermain-main denganku?"

"Eonni--"

"Waktumu terus berjalan, Joo Eun. Ini sudah hampir setengah dari waktu yang kuberikan padamu. Jika kau tetap tak bisa membuat putramu bisa menikahi putriku, kau pasti akan tahu. Kau tak akan mendapatkan apapun dariku. Bahkan satu persen pun, tidak ada."

Dan panggilan itu berakhir begitu saja. Wajah Joo Eun nampak sangat tak bersahabat saat ini ketika mendengar ucapan terakhir yang baru saja ia dengar.

"Apa kau mau ayahku memergokimu sedang minum?"

Pandangan Joo Eun kini beralih. Menatap Namjoon disana yang beranjak menuju lemari pendingin. Mengambil sebotol air dingin di dalamnya.

"Apa pedulimu, huh?"

Pria itu hanya mengendikkan bahunya. "Tidak ada. Lagipula, ayahku tidak akan mungkin bisa untuk memarahi wanita kesayangannya."

Joo Eun hanya tersenyum mendecih. Meneguk kembali gelas yang telah isi sebelumnya dengan bir.

"Besok pagi, aku ingin kau menjemput Nayeon. Bawa dia ke rumah untuk sarapan bersama."

Namjoon nampak mengerutkan keningnya ketika mendengar itu semua. Mungkin pengaruh alkohol masih menyelimuti Ibu-nya itu.

"Berapa botol yang sudah kau minum, huh? Bukankah kau sudah tahu? Jika aku tak akan pernah mungkin melakukan perjodohan konyolmu itu? Aku sudah memiliki kekasih dan kau sendiri sudah menemuinya. Jadi jawabanku, adalah tidak."

Namjoon merasakan jika emosinya akan selalu naik jika berhadapan langsung dengan Joo Eun. Maka dari itu, lebih baik jika dia pergi dari sana. Atau tidak, perdebatan di antara keduanya tak akan pernah berakhir.

"Ayahmu tak menyetujui jika kau berhubungan dengan gadis itu."

Langkah Namjoon terhenti. Namun ia tak membalikkan dirinya. Masih menatap ke depan sana.

"Sejak kapan aku peduli pada pendapatnya?"

Dan setelah mengatakannya, Namjoon benar-benar berlalu pergi begitu saja. Meninggalkan Joo Eun disana yang kembali harus merasakan kekesalan karena ucapan Namjoon.

Namun otaknya bekerja saat ini. Menciptakan suatu ide. Yang tentunya akan menguntungkannya nanti. Mencetak sebuah senyuman di wajah itu sembari meneguk kembali gelas berisi bir tersebut.



--To Be Continued--

Can You See My Heart?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang