1

323 24 2
                                    

Seorang remaja dengan tinggi berkisar antara 160-165 cm berjalan dengan santai sembari menggendong ranselnya. Sesekali ia menghisap sebatang rokok yang diapit oleh jari telunjuk dan jari tengahnya. Sama seperti remaja yang lain, pagi hari memakai seragam pula, untuk apalagi kalau bukan ke sekolah. Evan Antonio. Itulah yang tertera di bagian depan sebelah kanan kemeja putih yang ia kenakan. Sebetulnya dia berasal dari keluarga yang sangat jauh dari kata kekurangan. Setiap hari selalu menggunakan motor sport kesayangannya. Lalu mengapa ia berjalan kaki? Hahaha, itu hanyalah sebuah alibi, kawan.

Motornya sudah dibawa oleh salah satu teman sekelasnya. Sengaja ia berjalan kaki agar bisa menikmati sebatang rokok di pagi hari. Itulah yang ia lakukan di setiap paginya ketika berangkat sekolah. Benar-benar mencontohkan siswa yang baik, bukan? *Digebukin warga*

Setelah rokoknya habis terbakar sempurna pria itu memasuki wilayah sekolahnya. Dengan penampilan yang acak-acakan dia tetap berjalan santai. Kemeja putih yang seharusnya dimasukkan, ini malah ia keluarkan. Dasi abu-abu yang seharusnya diikat sebagaimana mestinya, ini malah diikat seenaknya. Jas yang seharusnya dikenakan, ini malah hanya ditenteng-tenteng tanpa ada niat untuk memakainya.

Selang beberapa menit setelah ia memasuki gerbang, sebuah mobil berwarna hitam memasuki pekarangan sekolah tersebut. Siswi-siswi yang baru datang langsung berkumpul mengelilingi mobil itu hingga seorang pria keluar dari mobil tersebut.

"Cih, norak." Evan berdecih malas sembari melanjutkan langkahnya.

Pria yang baru keluar dari mobil itu berpenampilan berbanding terbalik dengan Evan. Kemeja dan jas terpakai tapi, serta dasi yang terikat sempurna di kerah kemejanya. Rambutnya yang tidak terlalu gondrong membuat ia memiliki kesan maskulin. Tentunya dia bukanlah orang yang tidak dikenal, buktinya pada saat mobilnya memasuki sekolah banyak siswi yang langsung berkumpul hanya untuk sekedar menyapa "hai", atau mengucapkan "selamat pagi".

Tangan pria itu ditahan saat ia mulai melangkahkan kakinya. "Davian, pulang sekolah free ga?" tanya seorang gadis.

Davian terdiam dan sempat berfikir sesaat. "Sorry ya, hari ini gue basket."

"Gue boleh liat lo latihan?"

"Nanti lo pulangnya kemaleman."

"Gapapa. Boleh kan?"

"Ya gue sih boleh-boleh aja."

"Thank you. Btw, lo mau apa nanti? Biar bisa gue beliin sebelum lo latihan."

"Ga usah."

Ditengah perbincangan, seorang gadis lewat. "Vio!" panggil Davian.

Gadis yang dipanggil itu pun berhenti dan menoleh ke arah suara yang memanggilnya. "Iya Ka?"

Davian melangkah mendekati gadis itu. "Pulang sekolah bisa ikut latihan basket ga?"

"Tapi aku ga ikut basket Ka."

"Bukan. Temenin aku maksudnya. Gimana? Bisa 'kan?"

"I-iya Ka, bisa." jawab Vio yang sedikit ragu-ragu.

"Aku duluan ya Ka, mau ke kelas. Permisi." pamitnya yang langsung berjalan dengan cepat, berusaha untuk menjauhi Davian untuk menetralkan detak jantungnya yang selalu berulah setiap berada di dekat Davian.

***

Di suatu tempat terlihat seorang gadis yang sedang sibuk. Gadis itu nampak sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam koper yang cukup besar. Setelah selesai dengan baju, ia mulai membantu ibunya di ruang yang lain. Ya, keluarganya berniat untuk pindah rumah.

"Non, ada tamu di depan nyariin Non Zara."

"Siapa bi?"

"Katanya sih temen Non Zara."

"Oh ya udah nanti Zara turun. Makasih ya bi."

"Iya Non. Bibi permisi dulu."

Selang beberapa menit kemudian Zara turun dan menemui tamu yang katanya adalah temannya.

"Pipu, Abun udah izin sama Papa. Dia minta izin untuk bawa kamu main sebentar. Hitung-hitung main terakhir sama kamu katanya."

Zara menatap pria yang berada di sebelahnya.

"Abun, titip Zara ya. Ingat, pulangnya jangan kelamaan."

"Siap Om." pria bernama Abun itu memberi hormat pada ayah Zara.

"Yuk?" Abun mengulurkan tangannya.

Zara tersenyum menyambut tangan Abun yang kemudian saling menggenggam.

Sore itu keduanya menghabiskan waktu seperti layaknya remaja yang sedang dimabuk cinta. Menit demi menit mereka lalui dengan kebahagiaan. Canda tawa yang terdengar dari keduanya membuat siapapun yang melihat mereka menjadi iri. Tapi percayalah, tidak ada hubungan spesial di antara mereka, meski mereka tau bahwa mereka memiliki rasa yang sama. Rasa takut kehilangan adalah alasan terbesar katanya.

Abun menatap wajah samping Zara yang sedang menatap matahari senja di hadapan mereka. Rambut sebahu milik Zara bergerak diterpa angin.

Zara yang risih diperhatikan seperti itu mendorong kepala Abun agar tidak menatapnya lagi. "Naon sih ngeliatinnya gitu banget?"

"Gapapa. Nanti kan aku bakal ga bisa liat kamu lagi. Makanya sekarang aku mau puas-puasin ngeliat kamu."

"Jangan gitu ih, aku nya risih."

"Maaf ya."

Zara yang semula masih menatap matahari di hadapannya menoleh menatap Abun. "Maaf kenapa?"

"Maaf karena aku terlalu takut untuk memulai semuanya."

"Jika aku mau mulai sekarang, apa kamu siap?" lanjut Abun

"Kalau kita mulai sekarang, siap atau ga siap kita akan LDR-an. Kunci dari LDR itu saling percaya, aku ga tau bisa ngasih kepercayaan aku ke kamu atau enggak."

"Kamu ga percaya sama aku?"

"Bukan ga percaya, aku cuma takut pada akhirnya kita hanya saling menyakiti dan tersakiti. Untuk menjalani LDR juga ga mudah. Aku ga mau kita lebih sering berantem."

Abun terdiam sejenak.

"Gapapa 'kan?" tanya Zara.

Abun tersenyum dan mengangguk.

"Siapa?" tanya Abun saat Zara sibuk dengan handphone-nya.

"Papa."

"Yuk, pulang. Pasti disuruh pulang 'kan?" Zara mengangguk.

Abun menggenggam tangan Zara dan mulai berjalan bersama. Zara menoleh dan sedikit mendongak menatap wajah samping Abun yang masih setia memperlihatkan senyumnya.

"Aku harap kamu tetap jadi Abun yang aku kenal. Jangan berubah ya." batin Zara

TBC

Uwuw... ZarAbun ga tuh 🤭
Btw selamat malam minggu untuk kalian yang bermalam minggu

15/12/2018

Antara Cinta dan RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang