Bisikan-bisikan dimulai saat Evan memasuki kelasnya.
"Kenapa Evan masuk ke kelas IPS 2 sih? Kenapa ga di IPS 1 aja."
"Tau tuh, murid bandel kayak dia cuma bikin jelek nama kelas doang."
"Iya emang. Kelas IPS 2 yang tadinya dikenal sebagai kelas penghasil murid pinter jadi hilang gitu aja gara-gara dia."
"Iya tuh mentang-mentang bokapnya yang punya sekolah ini dia jadi semena-mena."
Pelan memang tapi, Evan masih dapat mendengarnya dengan jelas.
Brak
Evan memukul meja membuat bisikan-bisikan itu berhenti kemudian ia keluar dari kelasnya. Menyebalkan memang pagi-pagi sudah mendengar orang bergosip. Apalagi orang yang digosipkan adalah dirimu sendiri.
"Hai Van." sapa Vio yang berpapasan dengan Evan.
Evan tak menjawab sapaan Vio dan terus melangkahkan kakinya. Vio yang tau Evan sedang dalam keadaan tidak baik pun mengikutinya dari belakang. Vio tau kemana Evan akan pergi. Tidak lain dan tidak bukan ia pasti pergi ke ruang yang diberikan khusus untuk Evan oleh Papanya.
Dibukanya pintu ruangan itu secara perlahan dari luar oleh Vio. Di dalam Evan sedang memukul-mukul samsak yang berada di ruangan tesebut. Vio masuk dan menutup pintu itu dengan perlahan. Ah iya, ruangan khusus yang diberikan untuk Evan itu sebenarnya ruangan yang sudah tak terpakai, tepatnya bekas ruang ekskul taekwondo. Jadi wajar saja jika banyak barang seperti samsak, double stick, dan lain-lain.
Vio bersandar pada pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada memperhatikan Evan. Setelah puas memukul-mukul samsak, Evan duduk di sofa dan mengeluarkan sebatang rokok dari kantung celananya lalu membakarnya. Sehisap dua hisap Evan baru mengalihkan pandangannya ke arah Vio.
"Apa kehadiran gue di dunia ini adalah dosa besar Vi?"
"Lahirnya umat manusia itu bukan dosa besar Van, justru itu anugerah. Anugerah untuk orang-orang di sekitar."
"Tapi kenapa mereka semua selalu melihat gue sebelah mata? Kenapa mereka selalu berkata seolah gue manusia paling berdosa di muka bumi ini?"
Vio melangkah mendekati Evan. Ia mengambil alih rokok yang berada di tangan Evan. Diinjaknya rokok tersebut sampai mati. Vio memeluk Evan. Membiarkan pria itu menumpahkan segala kesedihannya dalam pelukan yang Vio berikan.
"Kenapa Tuhan masih membiarkan gue hidup kalo ga ada satu orang pun mengharapkan kehadiran gue?"
Vio mengelus rambut Evan yang sedikit gondrong. "Jangan ngomong gitu ah."
"Tapi kenyataannya emang begitu Vi. Bahkan Papi pun ga mengharapkan kehadiran gue sebagai anaknya."
"Kata siapa? Jadi menurut lu Papi ga sayang gitu sama lu?" Evan mengangguk.
"Adik kecil, dengerin ya. Kalo emang Papi ga sayang sama lu, jadi ini semua apa? Motor kesayangan lu itu apa? Itu semua bentuk sayang dari Papi buat lu. Kalo Papi beneran ga sayang sama lu, dia ga akan mikirin lu, nyediain semua fasilitas yang lu nikmatin saat ini. Papi itu sayang sama lu, cuma Papi sekarang lagi sibuk."
"Kapan sih Papi ga sibuk? Papi kan selalu sibuk." Evan bangkit dan melangkah menuju pintu.
"Dek, percaya atau enggak Papi akan selalu mikirin lu."
Brak
Evan membanting pintu itu cukup keras meninggalkan Vio yang masih terdiam. Sekeras apapun sikap Evan, Vio yakin bahwa adiknya itu lambat-laun akan melembut. Vio sangat tau sifat Evan, karena sejak kecil mereka selalu bersama. Bukan hal sulit untuk mengatasi Evan yang sedang dalam keadaan seperti sekarang. Secara biologis Evan memang bukan adik kandung Vio, namun ia tetap menyayanginya seperti adik kandungnya sendiri.