Kapan hujan?
Hari ini mungkin hatiku sedang kemarau dan ingin bersenda gurau denganmu di tengah riuh dera air hujan yang semilir memecah kesunyian yang menyimpang dalam hati ini.
Aku rindu, saat dimana jutaan rintik hujan menyapa sekeliling kita dan kita lawan mereka dengan tawa seribu yang kini hanya bertiraikan memori. Ya, kita kalah dengan kenangan. Kalah soal mengenang yang akan selalu menang saat kau dan aku pulang, ke rumah kita hanya untuk bertandang.
Jadi.. kapan hujan?
Kapan hujan itu menyapa lagi? Membasahi dan membahasi semua hal yang telah terjadi tak karuan seakan bukan kau dan aku pelakon cinta yang sebenarnya. Bahwa aku, kau dan hujan masih ada sangkut pautnya.
Dulu, kita sering berdialog dengan hujan. Bersanding dengan sapuan tanda seru kebahagiaan juga harmoni tawa selaras antara aku dan kau bak lirik nan manis, hujan sebagai instrumen yang indah.
Kita yang masih sering tertawa di bawah rintik hujan dan saling menyatakan apa hal yang membuat kita jatuh bersama dan bangkit lagi berdua.
Kau beda, kataku.
Dan disini hujan masih berperan. Kita sibuk menganalogikannya dengan definisi sederhana yang seakan akan kita hidup di dalamya. Hingga saat kita tenggelam dalam pembicaraan, hujan pun malu karena dipuji dan memutuskan untuk berhenti. Seraya berkata pada kita, "Pulang, aku tak mau kalian sakit karenaku."
Namun berbanding terbalik kini.
Berdiri gelisah di antara getaran bimbang yang memilih sudut pandang yang terkadang hilang di tengah perasaan yang tertutup kabut keraguan. Mencoba berbicara dengan hati yang bergemuruh bukan ide terbaik. Bukan juga satu jalan yang seharusnya diambil.
Aku benci saat kau dan aku bertengkar hanya karena kalah pada situasi yang memojokkan kita dengan garis argumen yang tidak simetris seakan aku melulu dan kau terus yang menang, kita saling menjatuhkan.
Kini tak lagi aku tahu keberadaanmu.
Apa kau sedang bahagia, puas, sedih, ragu, makan, minum aku tak tahu.
Hey, aku rindu!
Aku rindu sepatuku yang terendam air hujan. Rok sekolah yang kurang kering karena kemarin kupakai untuk bersandiwara dengan hujan. Tawa yang terbentuk dari bibir basah berkat terpaan air hujan. Aku, katakan semua ini untuk yang kesekian alasan atas kerinduan.
Aku punya segumpal rasa rindu yang terbuat dari entah apa itu yang memaksaku menyimpannya di ruang hati paling emergency.
Aku ingin sejenak kenal lagi dengan tawamu yang kini kulupa semenjak berbulan-bulan kita jenuh dan memutuskan masing-masing tergilir keadaan yang saling beda. Seakan kau dan aku telah pudar rasa percaya.
Aku benci saat-saat dimana aku dan kau diam, kau yang anggap aku berubah saat aku sibuk menyusun pesan yang mungkin terlalu lama hingga kau hilang rasa nyaman.
Dan.. yah, paling tidak aku ingin hujan dengan kita berpacu kembali.
Dengan syair yang lain. Sajak yang lain, hingga tercipta cerita sehabis gugur tumbuh kembali. Aku masih percaya diri untuk berdiri disini menanti seseorang untuk berkolaborasi dengan rintik air dhami.
Jadi, kapan hujan?
26 Desember 2017
YOU ARE READING
BAIT
PoetrySepaket buku yang berkontenkan sajak-sajak pendek, bak kompilasi puisi berjudul yang dijodohkan dengan isinya dari tulisan saya di waktu senggang. Atas nama, auliyaza_ tahun 2018.