Prolouge: Pertemuan

721 53 1
                                    

Keadaan tanpa cahaya memenuhi sekeliling. Tidak, matahari belum tenggelam. Keadaan semacam ini sering ditemui di Underground, wilayah bawah tanah Wall Shina. Walau jam dinding masih menunjukkan pukul 2 siang sekalipun, cahaya tidak akan datang. Kenny Ackerman berjalan perlahan melewati jalan-jalan Underground yang kotor dan lembab. Pria tinggi tersebut dapat melihat setumpukan manusia—entah hidup atau mati—di pinggiran jalan. Ada pula anak-anak kecil yang mengais-ngais sisa makanan. Kendati demikian, pria berperawakan tinggi itu tidak ada niatan untuk menolong, tetap berjalan. Mata Kenny menyapu tajam wilayah sekitarnya. Dahulu dia tinggal di sini, wilayah kumuh dan menjijikkan dimana semua orang-orangnya hidup dalam kemiskinan dan kekurangan cahaya. Sekarang dia banyak menghabiskan waktunya di permukaan, bersama dengan para petinggi menyebalkan yang dulu dibenci Kenny setengah mati. Penyebabnya apa tidak perlu diberitahu.

Kembali ke cerita. Kenny berhenti di sebuah gang kecil, berbelok dan kembali berjalan. Lalu kembali berhenti setelah beberapa langkah, memandang rumahnya dahulu—sebuah gubuk kecil berlumut yang atapnya nyaris roboh. Tempatnya tinggal bersama dengan kedua orang tuanya—yang kini telah mati karena penyakit tulang—dan adik perempuannya. Nostalgia yang aneh untuk seseorang yang telah sering membunuh.

"Gubuk yang mengerikan untuk ditinggali, bukan?" Suara itu muncul dari sisi lain gubuk—rumah. Seorang wanita cantik dengan surai panjang kehitaman berjalan perlahan mendekati Kenny. Perut wanita itu membesar, sepertinya sedang hamil. "Ada yang Anda inginkan, Tuan?"

Kenny melirik wanita itu—terkejut yang sengaja ditutup-tutupi. Hei, apa masih ada orang yang mau tinggal di gubuk? Kenny yakin masih banyak tempat di Underground yang layak untuk dijadikan tempat tinggal. Dari sekian banyak tempat yang bisa dipilih, kenapa gubuk ini...?

"Apa Anda bertanya-tanya kenapa saya tinggal di gubuk jelek ini?" Wanita itu kembali bertanya, kali ini dengan seulas senyum. Tebakannya tepat, walaupun Kenny juga tidak begitu peduli. "Dulu saya tinggal di sini dengan keluarga saya."

Tunggu sebentar.

"Sekarang yang masih hidup hanya saya sendiri dan kakak saya. Tapi saya tidak pernah bertemu dengannya."

Ini..., kebetulan yang mengejutkan?

"Nyonya, siapa namamu?" tanya Kenny tanpa basa-basi. Dia harus cepat memastikan.

Wanita menatapnya bingung. "Kuchel."

"... Ackerman," lanjut Kenny lirih.

"Benar...." Mata wanita itu membulat, dia bertanya was-was. "Apakah Anda dari Polisi Militer Pusat?"

"Hah!" Kenny mendengus lalu tertawa keras. "Yah, memang sekarang aku adalah Polisi Militer Pusat. Ini lucu sekali Kuchel! Kita yang dulu didiskriminasi sekarang bisa memegang jabatan ini."

Wanita bernama Kuchel itu terdiam. Kita? Apa yang dimaksud dengan 'kita'? "Apakah Anda...," Setitik air mata jatuh dari sudut mata wanita cantik itu. "Aniki?"

"Ahahaha...."

...

Kenny duduk di teras rumah—gubuk. Kuchel Ackerman, adiknya, menyeduhkan teh untuknya. "Apa pekerjaanmu sekarang?"

"Itu memalukan untuk diceritakan." Kuchel tersenyum sedih. "Aku lebih penasaran dengan cerita Aniki. Apa benar Aniki menjadi anggota Polisi Militer?"

Kenny memutar bola matanya. Itu tidak penting. "Apa kamu bekerja di rumah bordil?" Kenny melirik perut buncit Kuchel. Tidak sulit menyimpulkan apa pekerjaan Kuchel dari kata-kata dan keadaan fisik. Kuchel mengangguk patah-patah. "Lalu, apa kamu akan melahirkan anak itu?"

"Tentu saja!" jawab Kuchel cepat. "Dia mempunyai hak untuk hidup. Aku akan merawatnya sendiri."

"Lebih baik jangan," saran Kenny dengan wajah serius dan suara tajam. "Akan sangat merepotkan."

"Terserah apa katamu, Aniki. Aku akan tetap melahirkannya." Kuchel mengelus perutnya lembut. "Setidaknya dia akan membuat hidupku lebih berwarna."

Kenny memutar bola mata. Terserahlah.

...

Anak lelaki kurus dan kusam duduk meringkuk, punggung ringkihnya bersandar di dinding. Di hadapannya terdapat sebuah ranjang ukuran sedang, wanita cantik namun kurus kering terbaring di sana dengan kelopak mata menutup. Anak lelaki 4 tahunan itu tidak menangis, air matanya sudah habis. Lebih baik dia menghemat tenaga untuk hidup walaupun—sekali lagi—dia tidak bisa melakukan sesuatu selain meringkuk di sana.

Pintu ruangan gelap itu terbuka. Seorang pria tinggi yang tidak dikenal masuk, tampak berbicara dengan wanita di ranjang—tentu saja wanita itu tidak menjawab. "Dia sudah mati."

Pria tadi melirik ke arah anak lelaki di ambang sekarat itu. Guratan terkejut terbaca jelas dari ekspresi wajahnya. "Oi, oi, kamu masih hidup?"

Diam, si anak lelaki tidak menjawab.

"Oi, kamu tidak mengerti, ya? Siapa namamu?"

Jeda. "Levi. Levi saja."

Spesial Memories of Levi AckermanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang