.+ 2 Hadiah dari papa mama.

8.9K 695 2
                                    

Sekolah telah usai kiranya satu jam yang lalu, namun kelas Devan masih ada pelajaran tambahan. Bagaimana ini, Papa nya pasti akan marah besar, hatinya sudah dirundung rasa gelisah juga takut. Pikirannya selalu terhenti ketika membayangkan tangan besar milik ayahnya melayang dengan mulus dipipinya. Walaupun terbilang sudah terbiasa. namun tetap saja, Devan hanya Devan. sosok lemah dan selalu tunduk pada papanya.
Devan menghela nafasnya kasar kemudian kembali memfokuskan pandangannya ke arah Guru yang sedang menjelaskan. Sudahlah perihal Papanya biar ia pikirkan nanti, ia akan berusaha menjelaskan semuanya dan semoga saja Papanya itu dapat memakluminya, ya semoga saja.

"Baiklah anak-anak kelas tambahan hari ini sudah cukup, kalian boleh pulang. Saya permisi" Pamit sang Guru setelah itu berlalu meninggalkan kelas.

Devan melirik jam kelas, disana jam menunjukan kan pukul Lima kurang satu menit, Devan menghela nafas kasar lalu beranjak meninggalakan kelas dan berjalan dengan tergesa menuju Halte. Berharap masih ada Bus yang berlalu dijam segini.

"Papa pasti marah .. " gumamnya.
Kini apakah Devan harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah? Tapi Jarak sekolah ke rumah tidaklah dekat, menunggu Bus datang pun sepertinya akan sia-sia sebab ini sudah terlalu sore.

"Kayaknya mending lari aja deh, dari pada buat Papa marah kan? Gapapa Itung-itung maraton Dev, Ayoo semangat!" Ucapnya untuk menyemangati dirinya sendiri.

"Sebentar lagi Dev, ayo!" Devan terus saja melanjutkan larinya walaupun nafasnya kini sudah memburu tak karuan juga keringat yang mulai membanjiri tubuhnya.

"De-van p-pulangh .." Ucapnya dengan nada yang tak karuan. Setelah membuka pintu kedua netranya langsung mengedarkan keseluruh penjuru ruangan dapur. Devan sengaja masuk melalui pintu belakang. Alasannya cukup simpel, menghindari amukan sang papa.

"Den, dari mana saja kok tumben jam segini baru pulang?" tanya Bi Ina seraya menghampiri nya lalu memberikan sebuah gelas berisi air untuknya.

Devan tersenyum dan hendak menerima gelas yang diberikan Bi Ina namun sebuah tangan besar lebih dulu menepis tangan Bi Ina dengan kuat sehingga gelas yang tadinya Bi Ina pegang kini sudah berserakan dilantai.

Devan memejamkan matanya takut begitu mendengar suara nyaring yang Wijaya ciptakan itu dan secara refleks tangan kanannya terulur mengelus dadanya yang sedikit berdenyut nyeri. Jangan khawatir akan itu, Devan sudah terbiasa akan rasa sakit yang satu ini. Dari kecil Devan memang sudah di Anugerahi memiliki Riwayat penyakit Lemah Jantung, karena itu pula kedua orang tua nya mengucilkannya, menganggap dirinya hanyalah orang lemah yang meyusahkan.

"Sudah berani kamu ya pulang jam segini?!" Bentak Wijaya sambil menjambak rambut Devan dengan kuat tanpa belas kasihan sedikit pun.

"Akhhh... Pah.. Lepas-sin" Pinta Devan diiringi dengan sebuah ringisan karena merasa menjambakan yang Papanya berikan ini tidaklah main-main sakitnya.

Tangan kurus Devan bergerak ikut memegang tangan Wijaya berharap jambakan itu segera dilepaskan karena rasa nya sangat sakit. Kedua netra yang nampak seperti bulan sabit itu terpejam seperti sedang menikmati rasa sakit yang kini Papanya berikan. Devan mencoba melepaskan jambakan itu namun hasilnya nihil, Devan malah merasa jika jambakan itu semakin menguat.

"Tuan lepaskan tuan, kasian den Devan" Pinta Bi Ina seraya mencoba membantu Devan yang sudah terlihat sangat kesakitan akibat ulah papa nya sendiri.

"Jangan ikut campur jika anda masih ingin bekerja disini!" Bentak Wijaya.
Lelaki paruh baya itu berlalu sambil menyeret tubuh kurus Devan dan membawanya masuk kedalam gudang lalu menguncinya dari luar. Devan memandang sekitarnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca, Sungguh Devan sangat tidak suka dengan gudang, bau nya yang terasa aneh membuatnya ingin mengeluarkan isi lambungnya, penerangan yang hanya mengandalkan pentilasi jendela membuat nya susah untuk menatap lingkungan sekitarnya. Walaupun Devan sudah terbiasa akan ini. Namun tetap saja Devan tidak pernah berharap untuk berada di ruangan seperti ini.

"Papa, bukain pah... Devan takut" Devan berusaha menggedor-gedor pintu gudang itu namun hasilnya nihil. Jika sudah seperti ini, sudah Devan pastikan jika dirinya tidak akan tertidur, terlebih perutnya yang lapar minta diisi.

"siapapun! jangan ada yang berani memberinya makanan barang seteguk air pun!"

Devan tertegun mendengar teriakan papanya di luar sana. Sebegitu tidak diinginkannya kah dirinya dikeluarga ini? hingga keluarga nya sendiri menginginkan kematiannya.

'Pa, Ma, kakak.... devan capek kayak gini, devan selalu engga dilihat sama kalian, devan capek harus diperlakukan seperti ini.. Kenapa? Kenapa kalian lakuin ini ke devan? Pa, ma, devan ini anak kalian kan? Tapi kenapa kalian mau liat devan segera pergi dari dunia? ini sakit, sangat sakit.. dan sepertinya keinginan kalian akan segera terkabul'  Batinnya.

Devan mengelus dadanya yang semakin lama semakin terasa menyakitkan. Devan tidak pernah marah atas sakit yang Tuhan berikan padanya. Bukankah dengan begitu Tuhan menyayanginya dan menginginkannya untuk lebih cepat menemaninya di sana?

"Astagfirullah... " Devan terus mengulang kembali kalimat istighfar sambil mengelus dadanya berharap sakit yang ia rasakan saat ini sedikit mereda. Semua obat-obatan yang Dokter anjurkan telah Devan tinggalkan selama dirinya berumur lima tahun. Devan tersadar untuk tidak selalu merepotkan Bi Ina juga pak yadi yang masih memiliki keluarga di kampungnya karena itu Devan sadar untuk tidak mungkin meminta hal seperti itu kepada dua orang berbaik hati itu.

Bisa bertahan sejauh ini pun Devan sudah sangat berterimakasih pada Tuhan. Walaupun tak jarang Devan selalu menyerah dengan semuanya. Seperti sekarang ini. Devan berharap Tuhan segera mengambil nyawanya.
Perlahan sakit di dadanya sedikit mereda, Devan menyandarkan punggungnya pada pintu dan mencoba memejamkan matanya karena rasa lemas kini menguasai tubuhnya.

"Shhh.. Devan laper pah" Anak itu kembali mengetuk pintu namun gerakan tangannya sangat pelan. Tenaganya sudah terkuras habis.

"Pah?" Devan mengigit bibir bawah nya mencoba menahan sakit dan perih pada perutnya.

Merasa tak ada respon diluar sana, Devan memilih memejamkan matanya dengan tangan yang mencengkam perutnya dengan kuat berharap rasa nyeri ini akan segera pergi dan tak lagi mengusiknya. Perut nya kini terasa seperti sedang di cabik-cabik, sangat menyakitkan.
Perlahan pandangannya mulai memburam. Namun Devan tetap menggeleng-gelengkan kepalanya.

"P-papa.. " Sebelum kesadarannya pergi. Devan menggumamkan kata 'Papa' , berharap orang tuanya itu akan berbaik hati membukakan pintu untuk nya.

***

Tak terasa waktu begitu cepat berganti pagi. Sang Rembulan yang semalam menemani hari kelam nya kini sudah berganti dengan sang Mentari yang bersinar dengan sangat terik, akan tetapi hal itu tak membuat Devan terbangun dari pingsannya.

Byurrr!

"Shh.. m-mama" Lelaki bermata bulan sabit itu terbangun dari pingsannya. Tubuhnya langsung menggigil begitu hebat karena rasa dingin itu. Bayangkan saja, pagi-pagi buta sudah disiram dengan se-ember air.
R

emaja itu tertunduk seraya memeluk erat lututnya sendiri. Matanya mengerjap berusaha menetralisir rasa peningnya.

"Bagus kamu ya, belajar malas-malasan!" Kini bukan perlakuan kasar dari Papanya yang Devan dapatkan melainkan mamanya sendiri. Seseorang yang telah membawanya pada kejamnya dunia.
Hera menyeret tubuh Devan menuju kamar mandi lalu dengan tak berperikemanusiaan nya Hera mendorong Devan dengan kuat hingga tubuh kurus anaknya itu terhantuk menghantam dinding kamar mandi dengan sangat kuat.

"Hari ini kamu tidak usah sekolah!  Lagipula untuk apa kamu sekolah?! Tidak akan ada yang membiayaimu bodoh bercobalah untuk sadar diri jika posisimu ini hanya menyusahkan orang lain, kamu hanya menyusahkan Bi Ina dan Pak yadi!" Bentak Hera lalu melempar gayung ke kepala Devan dengan keras, setelah itu Hera berlalu begitu saja meninggalkan Devan yang terdiam dalam tangisnya.

Semua perlakuan kejam mama nya tadi tak ada apa-apanya dibandingkan  dengan ucapan nya barusan. Devan lebih baik menerima segala jenis pukulan ditubuhnya dari pada harus mendengar ucapan-ucapan seperti tadi. Siapa yang tak sakit jika ibu mu sendiri menganggapmu sesuatu yang harus segera dimusnahkan. Hey, Devan juga ingin disayang dan dianggap, sesimpel itu.

"B-bibii" Lirih nya seraya memegang kepalanya yang berdenyut sakit. Matanya perlahan memejam hingga akhirnya kesadarannya terombang-ambing dan berakhirlah dengan kegelapan yang kembali menemani harinya.

                      h a v e d o n e ✔️

illusion! [Sudah terbit✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang