.+ 19 Kepergian.

5.7K 364 3
                                    

Sekolah telah bubar sekitar dua puluh menit yang lalu, namun Devan baru saja melangkahkan kakinya keluar kelas, entah mengapa hari ini ia sangat malas untuk menginjakan kakinya kerumah itu. Bukan maksud ia ingin menantang Papanya tapi apa boleh sekarang ini ia memberontak?

Jika Devan disuruh memilih ia pasti lebih memilih tidak dilahirkan jika harus merasakan kejamnya dunia padanya. Daffa dengan diffa memang sudah memperlakukannya dengan baik, namun tetap saja sore ini kedua kakanya itu akan pergi ke belanda untuk menerima beasiswanya. Lalu bagaimana dengan nasibnya nanti? Tidak ada lagi bi ina yang memeluknya ketika ia sakit, tidak ada lagi penyemangat dalam hidupnya. Bolehkah ia memilih untuk mengakhiri hidupnya saja? Tidak, Devan tidak boleh berfikiran seperti itu. Ia sudah berjanji akan membuat kedua orang tuanya itu bangga kepadanya.

Tiga puluh menit Devan habis kan untuk berjalan menelusuri jalanan, banyak pemandangan yang mampu membuat nya iri, baik dari kedua orang tua yang memanjakan anak nya, bercanda gurau, mengajaknya bermain, dan lainnya. Bahkan semua itu belum pernah Devan rasakan, selama ini yang ia rasakan hanyalah sebuah cacian, makian, hinaan, perlakuan kasar dari kedua orang tuanya.

"Devan pulang.. " sunyi, itulah yang menyapa indera mendengaran devan. Perlahan ia memasuki kamar nya lalu mulai merebahkan tubuhnya diatas samak usang miliknya.

Devan menatap sesuatu yang ada dihadapannya dengan tatapan kosong, pikirannya terarah kepada kedua orang tuanya.

"Papa, mama, kapan kalian akan sayang ke devan? Devan sakit ma, Devan cuma pengen dianggep sama kalian" Ia bergumam. Miris mendengar hal yang mungkin itu semua tak akan terjadi dalam hidupnya

"Apa kalo nanti Devan pergi nyusul Kak revan, mama sama papa bakalan nangis? Apakah mama sama papa bakalan merasakan kehilangan?" Lanjutnya.

Revan, adalah saudara kembarnya. Revan sudah tiada sejak mereka dilahirkan. Kedua orang tua nya membenci akan dirinya yang terlahir dengan kekurangan dan Revan yang pergi dengan sebuah kesempurnaan.

Devan beranjak dari kamarnya ketika ia mendengar suara dari papanya yang memanggilnya, dengan langkah cepat Devan menghampiri papanya itu "Ada apa pa?" Tanyanya dengan kepala tertunduk, enggan menatap manik tajam tersebut.

"Cepat ganti bajumu dan ikut kami mengantar Daffa dan Diffa ke bandara, mereka ingin kamu ikut" jelas wijaya.

"Tap-- " Devan ingin membantah, namun wijaya lebih dulu menyelanya.

"Tidak ada bantahan dan segera lakukan apa yang saya suruh!" Tegas pria paruh baya itu, Devan segera menuju kekamarnya hanya sekedar untuk mengganti pakaiannya.

Setelah selesai Devan segera kembali ke tempat dimana papa nya memanggilnya, namun nihil. Pria itu sepertinya enggan untuk menunggunya. Jadi Devan langsung melangkahkan Kakinya kehalaman rumah takut saja mereka masih ada disana.

Devan menemukan keberadaan mereka dengan segera ia melangkah mendekati mereka "Nah, lama lo dek" Ujar diffa seraya terkekeh

"Maaf kak.. " sesalnya

"Gapapa, ayo"

Ditengah perjalanan menuju bandara banyak sekali yang diffa katanya pada Devan, mulai dari apa yang tidak boleh ia makan seperti memakan makanan sampah hingga Devan yang harus melawan jika diberi 'hadiah' oleh Papanya.

Tak terasa mereka sudah sampai dibandara, dan benar saja sebentar lagi pesawat akan take off. Tandanya si kembar harus bergegas agar tidak tertinggal.

"Pa, ma, diffa sama daffa titip adek ya, jangan sakitin adek terus kasian dia. Dia mau kalian perlakuin dia kayak kita, adek juga anak baik kok adek kan anak kalian ma, pa. Jadi diffa sama daffa mohon buat jagain adek kalo kita gak ada" Ujar diffa

Tak ada jawaban dari mereka, mereka lebih memilih tersenyum lalu menyuruh kedua anaknya itu masuk dari pada harus menasehatinya Demi anak sialan ini. "Daffa titip adek ya ma" Ucap daffa

"Kakak, jaga kesehatan ya disana, Jangan lupa buat pulang dan kabarin adek" Tutur Devan dengan air mata yang sudah diujung matanya.

"Iya dek, nanti kakak kabarin dan secepat mungkin kakak bakalan pulang. Jangan nangis dong kan ini semua kemauan lo" Daffa mulai memeluk adiknya dengan sayang dan membisikan sesuatu "Lo bisa pake kamar gue kalo lo lagi kangen gue" setelahnya si kembar bergegas untuk memasuki pesawat.

Hera Dan wijaya melenggang begitu saja meninggalkan Devan yang masih berdiam diri di tempat, manatap pesawat yang sudah lepas kendali. Air matanya kembali mengalir, baru saja ia merasakan sebuah kebahagiaan namun mengapa secepat itu semuanya kau ambil lagi tuhan?

Devan tau kedua orang tuanya itu pasti meninggalkannya dan alamat sudah ia yang harus kembali berjalan, namun langkah kakinya tak ia langkahkan ke kediaman keluarga Ferdinand, melainkan Caffe yang sudah lama tak Devan kunjungi. Manajer itu mengapa nya dan menanyakan perihal mengapa ia baru datang kemari.

"Devan abis sakit pak, maaf tidak ada yang memberi tahu soal ini. Bapak masih mau terima Devan buat kerja disini kan?" Tanyanya sedikit ragu. Jelas, restoran membayarnya namun ia berbuat sesukanya.

"Kali ini saya kamu maafkan, tapi tidak buat kedepannya. Jangan diulangi lagi" Devan mengangguk dengan cepat

"Yasudah, kamu bisa kebelakang dev" tutur sang manajer.

Devan menurut, ia berjalan kearah dapur dan mulai melakukan pekerjaannya dengan senyuman yang tak pernah ia lepaskan dari bibirnya. Devan beruntung masih diberi kesempatan oleh manajer tadi, jika tidak entahlah harus dari mana ia mendapatkan uang untuk membayar biaya sekolahnya. Hingga tak terasa jam sudah menunjukan pukul 22.01 itu tandanya caffe akan segera ditutup.

"Pak, Devan izin pulang ya, besok Devan kembali lagi kesini" Manajer itu mengangguk

"Iyaa dev, hati-hati" Devan mengangguk lalu mulai melangkahkan kakinya menuju rumah. Lelah memang, namun apa daya ia yang tak membawa uang untuk ongkos pulang. 

Sesampainya dirumah Devan segera membukakan pintu rumah megah itu dan memasukinya secara diam-diam seperti seorang maling. Namun tiba-tiba saja lampu yang semulanya gelap kini sudah terang dan Devan menemukan papanya yang dengan menyilangkan kedua tangannya didepan Dada seraya tersenyum miring kearahnya.

"Bagus, baru pulang kamu! Tidak lihat ini jam berapa?!" Bentak Wijaya seraya menghampiri nya. Sedangkan Devan ia hanya bisa menunduk dan memundurkan langkahnya perlahan, ia tidak ingin mendapatkan hadiah dari papa- nya sekarang. Tubuhnya sedang Lelah.

"M-maaf pa"

"Maaf kamu bilang? Kamu tidak dengar apa yang diucapkan kakak kamu? Dia menitipkanmu padaku sialan!" Bentaknya Dan mulai mencengkram kuat kerah baju devan

DUGG

BRAKK

Tubuh kurus itu terlontar kearah lemari kecil yang ada di ruang TV, kepalanya terbentur ke sisi lancip dari lemari itu membuat Devan meringis menahan sakit juga pusing diarea kepalanya. Tak puas dengan itu wijaya kembali menyeret Devan agar terbangun dari duduknya. Lelaki paruh baya itu mulai membenturkan kepala Devan ke tembok. Sekali, dua Kali, tiga, empat, Dan untuk yang kelima kakinya Devan hanya bisa pasrah.

"Am..pun.. Paa shh" Lirihnya yang sudah tak kuat lagi untuk berdiri. Bercak darah sudah menghiasi wajah manis Devan. Tubuhnya meluruh bersandar pada tembok dengan tangan yang memegang kepalanya.

"Dasar anak sialan!"

DUGH

Sebuah tendangan kuat Devan dapatkan di dadanya, nafasnya mulai tercekat, rasa pusing juga sakit dikepalanya pun kian menjadi, telingganya berdengung, dan pandangannya pun perlahan pergi mengabur.

"Dev..an sa-- yang sh- kalian" Lirinya sebelum kegelapan menguasai dirinya

"Saya tidak peduli pada ucapan kotor mu itu anak sialan!" Walaupun mata itu sudah terpejam namun tak kunjung membuat Wijaya menghentikan acaranya menendangi tubuh devan. Hingga suara sang istri menghentikan kegiatannya.

illusion! [Sudah terbit✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang