2

6K 874 111
                                    

Seminggu berjalan semenjak hari itu, sampai sekarang Taehyung masih tak berkenan untuk menginjakkan kakinya di rumah kami.

Memang benar bahwa kekukuhanku tak cuma berhenti di petang pilu yang berlalu, sebab tiap hitungan hari setelahnya yang kulakukan adalah teguh memohon dan mengemis.

Bodohku tak juga usai, tetap berusaha membelenggunya, tapi masih tak punya nyali yang cukup besar untuk mengungkap tentang permata yang lelap dalam rahimku.

Aku masih memiliki harapan bahwa Taehyung mau luluh atas bujuk rayuku, bersedia pulang, kami bertukar pendapat dengan pertimbangan yang dewasa pun matang, mau saling memahami, lalu dengan bangga dan sukacita Taehyung langsung memelukku setelah tahu bahwa aku punya harta tak ternilai di dalam diriku—saat ini milik kami yang paling berharga. Kupikir, malaikat ini harus terungkap dari bibirku sendiri dan bukan cuma terkabar lewat layar gawai.

Sayangnya sampai kini wajah yang kurindu tak juga datang demi mengecup kelopak mataku yang sayu. Taehyung hidup dan terus berputar di angan bagai mimpi yang tak berhak kupeluk sebagai kenyataan. Yang datang kepadaku sebagai realita lara justru lembaran berisi luka—penolakanku di petang lalu dan sekarang adalah awal dari kiamat kecilku.

Pada saat ini langit di luar memang menyuguhkan bulan untuk kupandang dengan dirinya yang ditemani awan. Aku tak mampu merasai adanya bayu, walau kutemui dahan sansuyu di seberang jendela terombang-ambing sebelum daunnya gugur satu demi satu.

Kemudian wajahku tertuju lagi pada bulan yang bersinar, namun pikiranku sedang tidak. Dan pada detik berikutnya irisku lebih ingin memandangi seisi ruang meski rasanya lebih hampa kala keping-keping memori yang indah silih berganti menandangi alam pikirku. Sebenarnya mereka sanggup membuat cairan bening dari dua netra yang lelah ini runtuh, tapi takkan kulakukan sebab aku masih sanggup menggenggam seluruh kesakitan ini. Kendati aku juga kerap bertanya pada hati; sampai di manakah nanti batas kekuatan diri kokoh berpijak.

Kusentuh dadaku yang berdetak, seluruhnya cuma dipenuhi oleh satu nama. Benar adanya bahwa Taehyung tak di sini, tetapi menyebut dirinya di hati justru membuat jantungku berpacu tak wajar, sembari di detik-detik menyiksa ini diisi sekaligus oleh denyut yang rasanya menyakitkan. Pedih, juga dalam waktu yang singkat sembilu yang samar ingin mencuri isi dadaku sampai rasanya nyaris mati.

“Taehyung, pulanglah. Kami rindu dirimu.”

Sewaktu menjauh dari ranjang kami, potret empat tahun silam menyebabkan aku lara lagi karena Taehyung terlihat nyata selaku hal berharga yang tak dapat kujaga dalam masa yang begitu lama. Aku menyesal, bukan karena pertemuan, tapi mungkin tentang proses yang terjadi di dalam hubungan kami. Ikatan yang tak seutuh dulu, padahal masa memberi kami kesempatan untuk berkembang secara dewasa. Tidak tahu pasti tentang dari sisi yang mana noktah ini tercipta, menggalinya pun hanya memberiku kesimpulan pasti; bahwa kami tak tertolong lagi.

Ketika aku memutuskan untuk datang ke sisi jendela, hendak menarik gordennya, sebuah denting hadir demi mengejutkanku. Ponselku di atas nakas, belum sempat memperoleh perhatian dariku sewaktu dirinya ribut lagi dan ketika kudatangi—ada nama seorang pria pada layar itu.

“Halo?”

Aku menerima nada dari seberang membalas bersama lantunan yang syarat akan kegelisahan. Sampai aku pun perlu menahan napas ketika ia bicara, mencerna kata demi kata sembari jantungku terus berpacu sebab dirinya kerap menyebut nama yang masih kutunggu hingga kini.

“Aku akan segera turun,” kataku, dan secepat mungkin menyambar kardigan sebagai penutup bahu. Bahkan di persimpangan tangga aku nyaris terjungkal bila jemariku tak segera meremas pegangannya demi menahan beban tubuh.

Sebesar itu pengaruh sebuah nama sampai jariku dibuat bergetar saat membuka pintu. Benar saja, hadirnya ia nyaris mengakibatkan jantungku berhenti detaknya, namun diriku masih diharuskan untuk berpikir secara rasional.

War of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang