Ketika aku bilang bahwa separuh dari diriku sudah mati, itu bukan sebuah dusta atau perkara yang sedang kulebih-lebihkan. Sekarang terjadi, pagi ini adalah yang terburuk dibanding pagi lain yang kujalani tanpa kehadiran Taehyung. Kalau boleh dan andai aku punya gambaran jelas tentang masa depan, sebaik mungkin aku mau berusaha supaya mimpi buruk semalam tidak benar-benar datang untuk menghukumku.
Seharusnya aku mengalah di pertemuan terakhir kami, sebelum semalam yang terasa kelam. Mungkin aku bisa menyelamatkan separuh dari nyawaku jika Moon Jei yang serakah ini tak berani bertindak lancang. Akan lebih baik mengunci diri di dalam kamar kami yang dingin dan membiarkan Taehyung yang sedang linglung untuk memiliki waktu seorang diri. Kalau rangkaian peristiwanya seperti itu, mungkin kami masih baik-baik saja.
Banyak lantunan sesal yang bergentayangan dan tak dapat terucap lantang, berkeliaran di depan irisku yang memandang hampa. Namun pada waktu yang sama di dalam kepala yang nyaris kosong, diriku hanya punya satu keputusan; manusia rapuh ini harus bertahan dan tetap hidup. Harga diriku nyaris terkikis habis, namun pada waktu yang sama Tuhan masih menyisakan raga beserta kepala yang masih memiliki sisi rasionalitasnya. Waktu masih berjalan, dunia juga begitu, aku hanya pendosa ulung ketika memaksa untuk mencabut nyawa demi mengakhiri lara.
Kurekatkan lagi selimut ke bahu untuk menutupinya. Bila tanpa kepala ranjang, tubuhku langsung lunglai dan hanya boleh bersembunyi. Tetapi ego yang masih ingin bertahan di batas akhir pada detik ini, menuntunku untuk terlihat baik-baik saja dengan cara mengangkat wajah, menegakkan tulang leher meski dalam tenggorokanku saliva nyaris kerontang semenjak pita suara membantu lirih senduku yang tak didengar Taehyung dari semalam.
Ketika wajahku berpaling, yang kutemukan adalah Taehyung yang masih tak mau pergi dari tempatnya. Dia sudah terjaga sejak tadi, lima menit lebih lambat dariku dan tetap tetap berpura-pura seperti jasad yang telah mati. Taehyung mau menghindariku, tapi jadi sukar ketika aku lebih dulu membuka mata dan masih tak menghilangkan diriku dari jangkauan yang dapat ia dengar.
Ada satu hal yang belum Taehyung tahu, sudah pasti seratus persen adalah keinginannya, itu artinya dia harus bersyukur begitu banyak kepada Tuhan. Aku telah memilih untuk berada pada jalan yang baru. Benar-benar tak mengharapkan kami lagi, dan harusnya, lagi-lagi seharusnya ini keputusan yang tak perlu diulur-ulur semenjak dulu.
“Aku tahu kau sudah bangun. Tidak perlu berpura-pura lagi, kau boleh berkemas dan tolong untuk segera pergi dariku. Rasanya sesak berada di satu ruang denganmu, Taehyung.”
Terdapat kekosongan pada selimut yang kami bagi bersama semenjak Taehyung putuskan untuk mengangkat tubuhnya, pergi dari ranjang tanpa mau melihat wajahku. Tapi setidaknya aku boleh bernapas lega dan melepas beban dari dadaku. Taehyung tidak akan tahu perihal betapa pekatnya merah yang tersembunyi di bawah tubuhku—sebagian kecil dari noktah-noktah itu mengotori selimut yang masih terus kuremas oleh jemariku. Aku sudah membangun benteng untuk diri sendiri, berharap dia tak mendekat dan menemukan fakta bahwa semalam adalah akibat dari menghilangnya janin kami dari diriku.
Kini, tak seburam warna abu, pandanganku tak hanya keruh sebab dia yang mengubahnya jadi hitam. Aku ingin berteriak sangat keras bahwa aku teramat benci dirinya. Namun semua cacian hanya tertahan oleh hatiku yang tak cuma retak, yang kutahu—berbicara tentang realita takkan membuat segalanya kembali seperti semula. Halaman di sejarah kami sudah terlanjur kusut, dan aku diharuskan untuk memotong talinya serta berbesar hati memeluk kenyataan menyakitkan tentang kami.
“Harusnya Hoseok tak membawaku kemari.”
“Lalu kau mau pulang ke mana? Kau telah punya rumah yang lain, Taehyung?”
Taehyung berhenti sebentar dari kegiatannya yang memungut kemeja dari lantai, hanya mengenakannya tanpa melihat ke wajahku, dan justru tersenyum. Dia masih memiliki keberanian untuk menyakitiku lagi. “Sebegitu besarkah rasa penasaranmu? Harusnya kau sewa orang untuk mengetahui apa saja yang kulakukan di luar sana, dengan begitu, kau bisa sepenuhnya tahu tentang diriku.”
