Hari ini Tuhan begitu baik dengan caranya mengirim kabar untukku.
Aku mengandung sosok teristimewa, kutemukan itu di dua garis merah dalam benda putih yang terpeluk oleh ruas jari. Tidak bisa kupastikan sudah berapa lama dia menghuni rahimku, aku hanya ingat terakhir kali berbagi ranjang dengan Taehyung adalah sebelum tiga pekan ke belakang yang nyaris bisu. Kini menatapnya, menyelami betapa besar hadiah ini hanya kembali membawaku ke situasi kami yang belum juga kembali seperti sedia kala.
Kami masih seperti pekan-pekan yang lalu. Taehyung memang di sampingku, tetapi nyaris tak bersedia terlibat lebih jauh dengan bagaimanapun perihal diriku. Kami ada untuk sekadar mengisi rumah. Interaksi yang terwujud bukan seperti dulu walau seberapa keras kucoba dengan cara-cara yang kukira mampu untuk membuat dirinya mau terlibat percakapan berarti. Yang terjadi, Taehyung hanya membuang mukanya lagi, tersenyum hambar oleh lelucon tak lucuku, menolak tatapku sembari menjauhkan tanganku dari kulitnya, lalu menghilang dari jangkau irisku dan pergi untuk kembali di malam hari.
Aku diam bukan berarti lupa terhadap pesan manis yang jadi pemukul denyut jantungku di Minggu pagi pekan kemarin, hanya nyaris hilang arah dan menimbang dari mana harus memulai sesuatu. Yang kutahu Taehyung telah punya kebiasaan baru, menolak dan menjauh ketika aku mencoba membawa dirinya ke arah pembicaraan yang lebih serius. Bahkan tak pernah menyentuhku, dia hanya menyerahkan bahunya untuk bertemu wajah senduku; mengizinkan diriku untuk menyentuh udara kosong dan berangan-angan punggung itu mau berbalik untuk mengantar pemilik wajahnya menemui wajahku. Aku kerap disajikan tentang mimpi kecupan di dahi, ciuman di bibir, dan sentuhan dirinya di sekujur diriku yang begitu rindu dirinya.
Dan Tuhan masih terlalu baik dalam menjaga hatiku sebab tak kutemukan tanda-tanda selain dinginnya sikap Taehyung pun hadirnya pesan dari nomor yang tak kukenal. Aroma Taehyung masih sama tanpa sentuhan aroma lain yang menyatu dengan keringatnya. Kemeja kotor yang kugenggam masih sama ‘sucinya’—mungkin. Belum pernah kujumpai merahnya lipstik yang kukira suatu hari nanti ada untuk mendasari keberanianku agar memulai tanya dan menekankan prinsip-prinsip lawasku pada Taehyung. Hari demi hari hanya kulalui bersama bibir bungkam dan hati yang menggenggam lebih dari separuh dari satu keutuhan bimbangnya.
Namun hari ini benar-benar tiba. Malaikat kecil kami datang dengan membawa kehangatan baru. Dia tiba manakala dua jemariku tengah bersama kegamangan yang menebal, dia ada demi sebuah senyum walau kulakukan dengan hati tercampur pilu mengingat Taehyung yang tak lagi sama cintanya untukku. Dia hadir sebagai kekuatanku, pesan nyata supaya diriku mau berusaha meraih ayahnya dengan sekuat tenaga.
Aku berupaya menarik napas di antara pikiran yang terbang ke langkah-langkah dan waktu-waktu lain; berencana mengabarkan ini ke Taehyung. Tengah kugambarkan bagaimana rupa wajah eloknya yang sedang senyum dan bergegas memelukku—mungkin. Menciumku kalau dia bersedia, dan lantas membuang perasaan yang sempat singgah di hati dan mengisi lagi dadanya dengan hanya sepenuhnya namaku. Lalu aku sanggup tersenyum sembari menangis yang kululuhkan dalam batin dan sedang lara oleh sebab itu. Benar bahwa aku takut selagi menggenggam resah di dua tanganku. Setelah sekian lama hal serupa datang lagi, kali ini setengah kuyakini kalau bukan permainan remaja seperti tahun-tahun yang terjadi di masa silam. Taehyung dewasa, dengan perasaannya yang semakin dewasa. Itu kepastian yang menyebabkan noktah pada putihnya gambaran benakku.
Tetapi selanjutnya angan serta prasangkaku hanya pergi secepat kilat semenjak lantunan yang larasnya lembut datang untuk membuatku memutar bahu menjauhi wastafel, membuka pintu, dan menapaki keramik dingin sembari mencari ponsel oleh dua iris sembapku. Kutemukan, ketika di situ nama tercintaku hadir sebagai pembentuk senyum di antara hatiku yang masih dipenuhi kelabu.
