[23] Medicine

320 48 2
                                    

Sebelum turun, gue melihat cewek yang sedang bermain gitar dan gak lupa kupingnya disumpel earphone. Cewek itu gak asing dimata gue. Gue bisa mendengar dengan jelas tuh cewek bernyanyi sambil memetik senar gitar. Kayaknya dia nyanyi lagunya Bang Lauv yang judulnya I Like Me Better.

I don't know what it is but I got that feeling
Waking up in this bed next to you swear the room
Yeah, it got no ceiling

"Itu anak tante yang tadi tante ceritain." Serius? Itu kan Sisil. Kalau mata gue gak salah liat sih. Tapi gue yakin kalau itu Sisil karena mata belum minus.

Sisil keliatan cantik kali ini dengan menggunakan kaos dan celana santai. Rambutnya tergerai bebas membuatnya lebih berkesan cantik. Sebelumnya gue belum pernah menilai kecantikan cewek sampai kayak gini.

"Dia suka dengerin musik. Dan menurut pengamatan tante, lagu yang dia nyanyiin biasanya menggambarkan isi atau keadaan hatinya saat ini." Jelas si tante yang ternyata nyokapnya Sisil.

Damn, I like me better when I'm with you
I like me better when I'm with you
I knew from the first time, I'd stay for a long time 'cause
I like me better when
I like me better when I'm with you

Gue turun dari mobil dan mendekati Sisil yang duduk dikursi depan rumah sambil memetik gitar. Sampai gue duduk dikursi sebelahnya dia masih belum menyadari kehadiran gue karena kupingnya yang tersumbat earphone.

"Kamu duduk disitu, biar tante ambilin kotak obat didalem," bisik nyokapnya Sisil. Yelah, gue sebagai tamu bukannya disuruh masuk malah disuruh duduk diluar. Tapi gak papa, biar gue bisa liat Sisil mainin gitarnya.

Better when, I like me better when I'm with you

Sisil mencopot benda putih yang terpasang ditelinganya.

"Suara lo bagus." Puji gue. Sisil langsung menghadapkan wajahnya kearah gue. Matanya sedikit melotot.

"Sejak kapan lo disini? Dan kenapa muka lo?" Dia tampak kaget. Baru kali ini gue menemukan Sisil menanyakan lebih dari satu pertanyaan. Biasanya mah cuma satu. Biasanya lagi dia diem kayak pantung pancoran.

"Bentar gue ambilin obat." Dia langsung masuk ke dalam rumah. Tumben muka dia ada ekspresi? Ya meskipun bukan ekspresi senang atau bahagia.

Gak sampai dua menit, dia datang lagi dengan kotak P3K dan mangkuk yang berisi es batu. Dia mendudukan dirinya dikursi sebelah gue. Lho, nyokapnya dia mana? Kan katanya si tante yang mau ngambilin obat buat gue.

Sisil membersihkan sudut bibir gue yang berdarah. Menyekanya dengan kain putih dan memberinya obat merah. Gak lupa dia menempelkan plester dibagian yang berdarah tadi. Kemudian tangannya terulur mengambil es batu dan memasukannya ke dalam sapu tangan. Lalu mulai memijit bagian wajah gue yang tadi lebam.

"Aw," gue meringis ketika Sisil memijit bagian muka gue yang bonyok.

"Maaf," dia lalu memijitnya lagi dengan pelan. Wajahnya yang sangat dekat dengan gue membuat gue gerogi. Mungkin dia gak gugup karena fokus dengan muka gue yang bonyok gini. Tapi gue? Jantung gue udah kayak orang lari maraton dalam jarak yang sedekat ini.

"Sorry, gara-gara gak gue jemput tadi, lo jadi luka." Ucapnya dengan tangan yang masih memegang es batu.

"Ini bukan salah lo. Gue tadi cuma berniat nolongin nyokap lo, tapi malah gue ikut kena." Dia terus mengobati wajah gue yang lumayan parah.

"Sebenernya gue tadi mau jemput lo, tapi gue ada urusan. Jadi gue nyuruh sopir gue buat jemput lo dan ternyata dia gak jemput lo," jelasnya.

"Gak papa." Gue tersenyum samar sambil mengelus puncak kepalanya. Gue bisa merasakan tubuhnya yang aga menegang akan sentuhan gue dikepalanya. Namun dengan sangat cepat ia kembali seperti biasa.

"Kayaknya lo harus ke rumah sakit." Rumah sakit? Gak sudi gue masuk bangunan itu lagi. Yang ada malah gue tambah sakit kalau masuk kesana lagi.

"Gak perlu. Gue gak papa." Ujar gue.

Kemudian nyokapnya Sisil muncul dari dalam rumah dengan membawa nampan yang berisi makanan dan minuman. Tau aja si tante kalau gue lagi laper.

"Ini dimakan dulu ya," kata tante dengan senyumannya. Sisil kenapa beda banget sama nyokapnya ya? Nyokapnya mah murah senyum, lha dia? Boro-boro senyum, mau ngomong aja itu udah bagus.

Tapi kini gue sudah tau penyebab Sisil bersikap dingin. Sikapnya yang sekarang hanya dijadikan pelampiasan dirinya akan kekecewaan yang ia rasakan terhadap bokapnya. Kalau gue jadi dia, kayaknya gue udah ngamuk-ngamuk gak jelas sama bokapnya. Tapi dia gak, dia lebih milih diem dan gak nyeritain ke siapa pun masalah yang sedang ia hadapi.

"Aduh." Gue lupa kalau tangan kanan gue masih sakit. Gue niatnya mau minum minuman yang dibawa nyokapnya Sisil tadi.

Sontak dia langsung membantu gue minum. Bahkan dia menyuapi gue makanan yang berada diatas nampan. Gue jadi keinget pas gue di rumah sakit dan gue disuapin sama dia.

"Lo sebaiknya ganti baju dulu," gue melihat seragam gue yang sedikit sobek karena cakaran preman tadi. Tapi kalau gue ganti baju di rumah Sisil, masa gue ganti pakai baju cewek?

"Gue ada kaos polos dan celana warna cowok. Ayo ke dalem, ganti baju."

Kata-katanya ambigu anjir. Maksudnya apa nih? Dia ngajakin ganti baju bareng?

Sisil sudah berdiri dan mulai berjalan masuk. Gue yang hendak mengikutinya pun mulai berdiri. Namun seketika gue terduduk kembali karena kaki kanan gue kembali terasa nyeri.

Sisil yang mungkin menyadari gue gak dibelakangnya, kembali menyusul gue yang masih terduduk dikursi depan rumah. Dia kemudian mengalungkan tangan gue ke pundaknya dan mulai menuntun gue masuk. Gue tertegun. Kenapa nih cewek perhatian sama gue?
Gue gak tau maksud dia ngelakuin semua ini. Semuanya belum pernah gue rasakan dari orang lain.

Setelah berganti baju, gue pun diantar Sisil pulang. Secara, gue kesini kan tadi bareng nyokap dia. Sebenernya gue udah nolak tawaran dia buat nganterin gue, gue kan bisa naik angkot. Tapi ya, yang namanya Sisil susah dilawan. Dia tetep keukeh buat nganterin gue sampai rumah.

Emak gue sedang mondar-mandir kayak setrikaan baju di depan rumah. Mungkin beliau mencemaskan putra tampannya yang tak kunjung pulang. Secara, gue kan tinggal anak satu-satunya dirumah ini. Saudara kandung gue yang lain udah ada yang berkeluarga dan ada juga yang merantau dan juga kuliah.

"Astaghfirullahal 'adzim, Shaka. Kamu berantem sama siapa lagi sampe babak belur gini?" Emak langsung mendekati gue ketika mendapati gue keluar dari mobil Sisil.

"Dasar anak nakal. Susah dibilangin ya kamu. Kemarin tangan patah, sekarang muka yang udah gak beraturan. Besok apa lagi? Jantung yang gak berdetak?" Ya Alloh mak, jahanam banget sih sama anak sendiri.

"Emak doain Shaka mati?" Selidik gue.

"Gak ngedoain, emak cuma memperkirakan apa yang bakal terjadi besok."

Astaghfirullah. Salah apa gue sama emak? Semoga perkiraan emak salah. Gue belum mau mati sekarang atau besok. Gue belum kawin, nanti aja matinya kalau gue udah kawin. Hehe.

🔧🔧🔧

Loving TechniqueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang