Reality

62 10 14
                                    

"Siapa Hendra?"

Vina kaget bukan main, seketika tubuhnya terguncang, dirinya tak sadar menceritakan kisah barusan.

"Bukankah nama ayah adalah Ahmad Syafi'i? Aku masih ingat dengan tulisan yang ada di batu nisannya," sambung Gala.

"Lagipula ayah dan mama kan umurnya selisih sekitar 20 tahun? Jadi, gak mungkin kalo ayah adalah teman sekolah mama dulu?" tanya Gala logis.

Vina saat ini bingung bukan main, keringatnya mulai bercucuran dari pelipisnya. Matanya membulat sempurna, tak menyangka anaknya bisa sepintar ini.

"Aduh," lirih Vina, sembari memegangi perut buncitnya. Ia mencoba melarikan diri dari percakapan ini.

"Maaf Gal, Mama harus tidur dulu ... Mama butuh istirahat yang cukup, kasihan adikmu ini, dari tadi nendang-nendang, nyuruh Mama tidur."

Gala hanya mengangguk, ia tak mau jika calon adik yang ada di kandungan mamanya itu kenapa-kenapa. Toh, dia bisa menanyakan hal itu lagi jika tidak lupa.

--
2 Hari berlalu

Seseorang mengetuk pintu rumah Vina. Dengan ogah-ogahan, Vina bangkit dari duduknya dan berjalan membukakan pintu.

Betapa kagetnya Vina setelah pintu telah dibukanya. Tatapan di raut wajahnya seakan tak percaya. Setelah sekian lama, akhirnya Vina bisa melihat si mata sipit itu lagi.

"Vina Gunawan?"

"Lin?

Kedua mata mereka berkaca-kaca, menahan butiran yang akan jatuh dari bendungan mata mereka.

Lin langsung memeluk Vina begitu saja, ia tak sadar jika Vina sekarang sedang berbadan dua.

"Lin, jangan erat-erat, kasihan si kecilku ini," lirih Vina

"Eh ... Kamu lagi hamil?! Maaf Vin, aku kebawa suasana," respon Lin menyesal.

"Ayo masuk Lin!" ajak Vina.

-
Lin telah duduk di sofa. Sekarang Lin sedang menunggu Vina yang katanya akan mengambil cemilan untuknya. Sedari tadi, Lin mengedarkan pandangannya di seluruh rumah Vina, seperti sedang mencari orang.

Vina datang, ia meletakkan beberapa cemilan khas pedesaan di atas meja.

"Vin, Hendra lagi kerja kah?"

Vina kaget, ia bingung mau menjawab apa. Kemudian Vina mengangguk, ia langsung membuka mulutnya, mencoba mengalihkan topik percakapan.

"Kamu kok bisa tahu kalo aku tinggal disini, Lin?" tanya Vina bingung. Pasalnya ia tak pernah memberi tahu alamat rumah ini kepada siapa-siapa, apalagi teman masa lalunya.

"Ceritanya panjang Vin. Yang pasti, misi pencarian rumah elo udah ku mulai sejak SMA dulu. Sejak kamu dikeluarin dari sekolah, lalu pindah rumah tanpa ngabarin," decak Lin. Ia sangat sebal jika teringat memori saat Vina pindah rumah dan tak mengabari dirinya.

Jam berlalu begitu cepat, mereka telah berbincang 30 menit lamanya.

Di sisi luar, Gala telah pulang dari sekolah. Ia melongo, melihat mobil merah dan nampak mahal itu terparkir di depan rumah kayunya. Ia heran, tak biasanya rumahnya itu kedatangan tamu bermobil, apalagi mobil semewah ini.

Gala masuk ke rumah, pintu rumahnya masih terbuka lebar, Vina sengaja tidak menutup pintu agar tamu Cinanya itu tak merasa gerah berada didalam rumahnya.

Sekarang, Gala telah berada di ruang tamu, ia menatap wanita cina yang ada disamping mamanya. Gala tak pernah melihat wanita sipit seperti itu sebelumnya.

"Ini tante Lin, teman Mama SMA," ucap Vina, mencoba memperkenalkan pada anaknya.

"Eh ... Ini anak kamu yang pertama Vin? Sungguh mirip ama bapaknya," takjub Lin. Sementara Gala tersenyum, baru kali ini ia dikatakan mirip dengan bapaknya.

"Jangan-jangan, bayi dikandunganmu ini juga bakal mirip dengan Hendra," tukas Lin pada Vina, sembari terkekeh kecil

Gala menatap mama dan tante Lin dengan wajah bingungnya. Karena perkataan tante Lin tersebut, Gala jadi teringat dengan pertanyaannya 2 hari yang lalu. Sebenarnya Gala ingin menanyakan hal itu saat ini juga, tapi ia merasa tak enak jika menanyakan hal itu didepan tante sipit. Akhirnya Gala lebih memilih untuk pergi dan mengganti pakaian di kamar.

2 menit setelah Gala meninggalkan ruang tamu, jam yang ada ditangan Lin tampak bergetar. Lin menatap jam tangan mahalnya itu. "Vin gue pamit dulu ya, gue masih ada urusan kantor. Kapan-kapan gue bakal kesini lagi," ucap Lin.

"Iya, sampai kapanpun pintu rumahku ini terbuka untuk orang bermata sipit," canda Vina, ia ketawa kecil.

Lin juga ikut tertawa, ia mencoba mengeluarkan sesuatu dari tas kulit buayanya. "Ini," ucap Lin sembari menjulurkan tangan kanannya yang kini sedang memegang sebuah amplop.

"Apa ini?" tanya Vina.

"Duit, mungkin cukup buat benerin genteng bocor rumah lo," jawab Lin. Sebenarnya dari tadi Lin merasa prihatin dengan keadaan rumah sahabat lamanya itu.

"Terima kasih Lin." Vina memeluk Lin hangat, butiran air tak sengaja keluar dari matanya. "Gue bangga sama lo sekarang," bisik Vina, sedangkan Lin menatap Vina dengan berkaca-kaca. "Terima kasih," jawab Sang pemilik mata sipit.

"Maaf Vin, gue harus pergi sekarang," ucap Lin. Vina melepaskan pelukannya, ia membiarkan Lin pergi keluar dari pintu rumahnya.

Lin telah memasuki pintu mobilnya, sedang Vina sekarang berada di depan pintu rumah, menatap Lin yang hendak pergi. Setelah mobil Lin telah cukup jauh, dan tak lagi tampak oleh Vina, anaknya memanggil dari balik pundaknya.

"Ma ...." panggil Gala

Vina membalikkan badan, menatap anaknya dengan fokus.

"Siapa Hendra?"

"Dan kenapa mata orang itu sipit sekali?"

--
The End

FYI : Kenapa aku kasih judul cerita ini "Berpijak di atas Batu"?

Batu yang aku maksud disini adalah bahan baku yang pasti untuk masa depan yang lebih baik, bukan malah cinta monyet SMA. (ilmu lebih penting daripada kisah cinta SMA mu). Carilah bahan baku batu itu dengan bersungguh-sungguh. Contohnya ; belajar, memperbaiki ibadah, tekun bersekolah, melatih diri (seperti Lin yang melatih bakat berjualannya di sekolah ;v) dan banyak lainnya.

Bahan baku itulah yang membantu kita berpijak.

Semakin besar Batu yang kita pijak, semakin kuat hal itu menopang kita.

Semakin tinggi Batu yang kita pijak, semakin luas juga pandangan kita.

Berpijak di Atas Batu [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang