Pagi itu Rino datang ke kampus dengan setelan paling gagah yang ia miliki. Kemeja putih lengan panjang, dilapis dengan rompi, dan berdasi. Jika memakai setelan itu, layaknya seperti The Beatles, grup band legendaris asal Liverpool. Band kesukaan Rino sejak SMA.
Sudah berompi dan berdasi, di lapis lagi dengan jas ungu kecokelatan. Sepatunya disemir hingga kinclong. Setelan yang necis tersebut, dilapis lagi dengan toga, jubah kebesaran para wisudawan. Aslinya memang kebesaran. Seperti pakaian panggung penyanyi tempo dulu, Farid Hardja dan Rama Aipama. Jangan-jangan kedua penyanyi itu memang mencontek toga untuk desain bajunya.
Rino pergi bertiga dengan kedua orang tuanya menggunakan Charade keluaran 1981. Kendaraan kecil yang dapat menampung lima orang saja. Itu pun berdesakan. Kecepatan maksimalnya hanya 80 km/jam. Bisa lebih cepat dari itu, tapi harus siap-siap merasakan sensasi terbang di jalan raya.
Mereka bertiga melaju perlahan ke kampus. Tidak jauh dari rumahnya di Dago. Namun kemacetan panjang terjadi, karena rata-rata orang pada parkir di pinggir jalan, membuat mobil kecil tersebut tidak bisa melaju kencang. Masih untung orang-orang tidak parkir di tengah jalan.
“Nunggu dimana nih, No?” ujar Papa bingung melihat lautan manusia di kampus, “padat sekali orang-orang.”
“Itu, Pa. Ada tenda untuk orang tua wisudawan. Di luar ada layar, jadi bisa lihat proses wisuda di dalam gedung,” jelas Rino.
Tangan kanannya menunjuk layar putih yang terombang-ambing angin.
“Emang Rino nanti di dalam gedung?” tanya Mama.
“Ya di luar sih, Ma. Yang di dalam itu khusus para cum laude. Rino kan boro-boro, IPK tiga juga gak sampai, hehe.”
“Ya sudah kita tunggu di sana ya, No.”
Mereka bergegas menuju tenda di luar gedung. Rino pun mencium tangan takzim kepada keduanya.
Sesampainya di tenda luar para wisudawan, Rino celingak-celinguk mencari kawannya. Tidak satu pun yang ia kenali. Wajar. Namanya juga kelulusan para wisudawan berasal dari berbagai fakultas.
Pada tahun itu, jurusan kimia tempat Rino ketumpahan ilmu, meluluskan sekitar dua puluh orang dari berbagai angkatan. Dan di tenda ia berada, ada banyak fakultas yang digabungkan. Mukanya asing semua bagi lelaki yang membutuhkan waktu lama untuk bergaul itu. Akhirnya ia duduk mengambil kursi di bagian tengah.
Rino membuka slide Nokia pisangnya, melihat angka di pojok kanan atas layar. Pukul delapan tepat. Acara pun dimulai.
Rentetan acara demi acara Rino ikuti dengan tidak fokus. Bagaimana bisa, apa yang terjadi di dalam gedung, ia tidak bisa melihatnya. Layar putih besar di depan menjadi bias karena efek cahaya luar terlalu terang. Tujuan layar menyampaikan apa yang terjadi di dalam gedung, hilang fungsinya.
Belum lagi di luar suasananya ramai dan berisik. Para pedagang sibuk berjejalan menjajakan gorengan, bacang, minuman dingin, dan balon! Nampaknya tukang balon melihat peluang dari rombongan pengantar wisudawan itu pasti ada anak-anak. Ikutlah mereka merangsek ke dalam kerumunan.
Kalau saja kampus itu dapat bicara, tentu ia sudah berteriak kencang minta tolong. Memohon pada alam untuk membubarkan tumpah ruahnya makhluk bernama manusia di tempat itu.
Suhu udara Bandung yang semakin naik seiring kian tingginya matahari, ditambah langit menjadi rendah karena beratapkan tenda, menjadi penyempurna ketidakfokusan Rino pada acara. Ia sibuk mengipasi diri dengan kelima jari tangan kanannya yang dirapatkan. Mana terasa.
Suara tangisan bayi dan rengekan anak kecil meminta balon, berhasil mengalahkan suara speaker yang disimpan di luar sebanyak dua buah. Rino hanya senang ketika lagu Gaudeamus dikumandangkan. Padahal kalau di kampus lain, saat lagu Gaudeamus dinyanyikan oleh paduan suara, rasanya hati ikut bergetar. Rasa bangga menyusup dalam dada. Kini kami seorang sarjana!
Tapi lagu kebangsaan saat wisuda itu hanya sayup-sayup saja terdengar. Itu pun dibarengi dengan celotehan para pedagang, “yang haus… yang haus… yang haus….” Suara celotehan para pedagang itu pun berhasil berpadu padan dengan ‘ngik-ngok’ tukang balon. Inilah dia acara wisuda rasa kaki lima.
Dua jam acara berlalu, Rino membuka kembali layar telepon genggamnya yang sudah berusia sembilan tahun sejak keluar dari pabrik. Ada panggilan tak terjawab. Handphone legendaris itu memang tidak ada mode getar, sehingga seringkali ada nada panggilan masuk yang tidak diketahui. Ternyata Mama tadi telepon. Dan ada satu pesan masuk.
No, Mama Papa pulang duluan ya. Panas di sini, berisik, layarnya juga gak kelihatan.
Lengkap sudah perhelatan akbar tahun ini bagi Rino. Suasana wisuda yang tidak fokus, dan orang tua pulang duluan. Ia langsung mengumpat panitia yang menggelar acara dalam hati.
Paraaahhh!!!
Baginya, acara paling penting hanya saat para wisudawan bersalaman dengan para dekan, karena rektor sudah pasti ada di dalam gedung menyalami para lulusan yang cum laude.
Disalami, diberi map, dan bandul di topi toga dipindahkan posisinya. Itulah acara puncaknya! Turun dari panggung, Rino membuka mapnya dan… kosong! Entah ini yang keberapa kalinya, karena sejak awal sudah banyak kegondokan yang ia alami. Dimulai dari pedagang berjejalan, udara yang panas, layar tak terlihat, suara speaker sayup-sayup dikalahkan rengekan anak minta balon, tidak terlihat kawannya di situ, map kosong, dan orang tua yang pulang duluan. Sempurna!