Adzan dzuhur berkumandang, acara telah usai. Rino masih penasaran dengan para kimiawan. Di mana mereka? Masih tidak nampak juga.
Ia berjalan ke depan kampus, yang menjadi ikon, biasanya dijadikan tempat untuk foto bersama. Tetap tidak terlihat juga. Buram. Baru disadari sepuluh tahun kemudian, mata Rino ternyata rabun jauh sejak kuliah.
Ia tidak menyadarinya karena saat kuliah paling jauh duduk di tengah, tidak sampai ke belakang. Saat kegiatan Pramuka pun, jika memandang jauh, Rino gunakan bantuan handycam. Sambil mendokumentasi kegiatan. Pandangan yang kabur, ia anggap normal saat itu.
Akhirnya anak ketiga dari empat bersaudara itu mengambil kesimpulan. Tidak ada teman-teman di area depan kampus yang semburan air mancurnya membuat siapapun ingin mandi di situ. Ia pun melepas toganya, berjalan keluar gerbang, dan menunggu angkot lewat.
“Gila, pakaian rapi gini naik angkot. Kalau angkotnya disewa sih gak apa. Ini gabung dengan penumpang umum. Parah.”
Rino masih mengumpat keadaan. Untungnya, kursi depan kosong, Ia langsung membuka pintu depan angkot dengan susah payah sambil menggerutu.
Dan, tidak bisa dibuka pula pintunya! Berkali-kali ia coba. Ternyata dikunci slot dari dalam. Ini angkot atau WC umum, sih?! Rino masih melanjutkan umpatan. Sudah panas ubun-ubunnya. Akhirnya supir membukakan pintu.
“Baru lulus, Cep?” tanya supir angkot sambil tetap memandang lurus ke depan.
“Muhun, Pak, alhamdulillah.”
Gak lihat apa ini dandanan sudah rapi. Nih, toganya dipangku!
Rino kesal dalam hati. Masih dongkol.
“Gak diantar?”
“Ini lagi diantar. Pake angkot Bapak,” Rino jawab sekenanya.
Supir angkot mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum senang.
“Sae … sae.”
Di perjalanan pulang, Rino kembali membuka layar telepon genggamnya, ada pesan masuk.
Rino kamu dimana? Dicariin gak ada. Kita pada foto-foto nih di depan!
SMS dari Eka, partner tugas akhirnya. Ia hanya bisa tersenyum kecut membaca SMS itu. Dengan berbagai kegondokan di hari itu, SMS dari Eka menambah koleksi gondoknya. Kalau dijadikan ibarat album musik, mungkin judul yang tepat adalah “Kompilasi Gondok Terbaik 2005”.
Eka ini perempuan imut. Cantik. Kecil. Lebih kecil dari Rino yang sudah kecil. Pipinya gembil. Dulu ia satu SMA dengannya, tapi tidak pernah sekelas. Kalau bicara kayak anak kecil. Lugu dan polos. Makanya ia dijuluki anak TK. Pas dengan Rino sebagai pasangan tugas akhirnya. Duet anak TK yang sedang skripsi.
Sempat ia menaksir Eka. Bukan menaksir tinggi badannya. Itu sangat mudah dilakukan. Apalagi bermodalkan teknik taksir ukur di Pramuka dulu. Sangat mudah.
Yang ia taksir adalah pribadinya. Karakternya. Selain tentu cantik dan imut. Sepertinya bisa diayomi. Rino senang melakukannya. Karena dengan begitu, ia menjadi merasa berguna.
Tapi ia urungkan niatnya untuk menaksir Eka. Karena berpikir, duet anak TK ini kecil-kecil. Seperti apa anaknya nanti? Secara hitungan genetik, tidak mungkin anaknya bakal lebih tinggi dari Rino. Ia ingin memperbaiki keturunan. Selain itu sudah ada Makmun dan Amad, dua teman kuliah yang juga bersaing mengambil hati Eka. Rino sedang malas untuk berkompetisi. Nanti saja. Kalau sudah kerja. Punya duit sendiri. Sekarang malu, uang masih dari orang tua.
Kembali ke Rino yang sedang di dalam angkot.
Pemuda kecil dan kurus itu kembali mengumpat dalam hati gara-gara info Eka di SMS tadi.
Wisuda macam apa ini?
Tidak berani ia ungkap keras-keras. Takut supir dengar. Nanti malah diminta curhat.
Supir angkot heran melihat Rino tertunduk memegang kening, padahal hari itu mestinya orang yang lulus kuliah bergembira.
“Kunaon, Cep?” tanya supir angkot.
Rino pun bergumam pelan.
“Gondok, Pak.”
Dahi supir angkot itu berkerut mendengar jawaban Rino, lalu menepikan angkotnya di daerah Simpang Dago menawarkan bangku kosong.
“Ayo, Bu. Dago? Mau kemana, Bu? Masih kosong di belakang.”
Ibu itu menggeleng. Lalu mengacuhkannya. Telunjuk kanan si ibu lalu mengayun-ayun menyetop angkot Kalapa-Dago yang jauh di belakang. Padahal sama jurusannya, ke Dago juga. Tapi si ibu putuskan memberhentikan angkot berwarna hijau daun itu. Mungkin dia penggemar hijau.
Melihat perilaku si ibu yang membawa banyak belanjaan dari Pasar Simpang Dago lewat kaca spion di kiri jendela, supir angkot pun bergumam.
“Ah, sama, Cep.”
“Kenapa, Pak?”
“Gondok.”
Gantian Rino yang menoleh kepada supir tersebut, dan menaikkan alisnya. Heran.
“Saya juga gondok. Tuh, ke si ibu,” lanjut supir lagi.
Mereka pun bertatapan sekejap, lalu tertawa bersama. Hari ini adalah hari gondok nasional bagi kedua makhluk dalam angkot putih bergaris hijau itu.
***