2

2.1K 180 40
                                    


Hangatnya surya di pagi—yang agak siang—ini membelai permukaan kulit. Tak begitu terik, namun sanggup membuatnya sedikit kemerahan terpapar sinar. Tiga bus sudah berjejer rapi di halaman hotel, sangat siap untuk membawa para Junior dan wali ke sebuah tujuan yang dinanti.

Anggap saja bus pertama adalah Bus A, dan begitu seterusnya. Junior laki-laki ada di bus pertama, sementara bus B diperuntukkan bagi Junior perempuan, dan bus terakhir untuk para wali. Tentu saja setiap bus didampingi oleh sejumlah crew.

Sekiranya jam sudah menunjuk pukul sembilan saat ini, waktu keberangkatan. Setelah melakukan briefing beberapa saat, melajulah kesemua kendaraan bergantian, meninggalkan halaman luas dan mewahnya hotel berbintang.

Junior laki-laki yang duduk di dekat jendela tiba-tiba merasa mood-nya sedikit berantakan. Entahlah apa sebabnya, yang jelas ia hanya melamun di deretan bangku kedua dari belakang, tak menghiraukan kawan-kawan barunya yang berisik di barisan depan. Sedikit ada ganjalan di hati mengingat dalam pembagian grup tadi malam, ia akan ber-partner dengan Alde dan Bani yang memiliki karakter suara yang jauh berbeda dengan miliknya.

Tak ada yang dilakukan selain memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong diiringi playlist yang terus berputar lewat earphone putihnya.

Tring...

Seketika dering pesan LINE terdengar jelas oleh telinga laki-laki itu. Ia tertegun sekejap, lalu memeriksa layar ponsel—yang sementara ini masih bisa dipegang oleh para Junior.

From : Ucha

Aku duduk dkt anneth lho wkwk

Ia berdecak membacanya, "Apa-apaan sih ini anak?" gumamnya pelan.

"Kenapa, Dev?" Dari arah samping, sebuah suara mengalihkannya, mengalihkan konsentrasinya.

"Ngga ada, cuma LINE dari temen," jawab laki-laki itu, Deven—gelagapan, cepat-cepat dipencetnya tombol lockscreen sembari memasukkan ponsel ke dalam saku jaket kulit andalannya.

Friden yang notabene duduk di samping Deven memberikan respon lewat anggukan kecil, enggan bertanya lebih lanjut soal itu, namun bertanya soal topik baru. "Kamu deket sama Charisa, ya?"

Untuk kedua kalinya Deven gelagapan. "Kami dari Lombok, temen dari TK, satu SD, sering ikut lomba barengan, ya gitu. Temenan."

"Ohh, temen," goda Friden, mengulas senyum canda. "Okedeh!"

Deven berniat acuh, namun merasa tidak terima kala Friden tidak serius mencerna penjelasannya. "Beneran, aku sama Ucha temenan!"

"Hahaha, iya iya. Kalau memang temenan kenapa ngegas? Betewe, temenmu duduknya sebelahan sama Anneth."

Sebenarnya mau acuh lagi, tapi Deven terlanjur penasaran darimana Friden tahu soal itu. Padahal ia yakin, laki-laki di sampingnya ini tidak mungkin sempat membaca chat Charisa tadi. Untung saja, sebelum sempat menampakkan raut keponya, Friden lebih dulu memperlihatkan layar ponsel pada Deven. Terpampang foto selfie dua perempuan cantik di sana, tersenyum manis menampakkan deretan gigi putih mereka. Deven melirik nama kontak pengirim potret selfie tersebut, 'A N N E T H '.

Oh, mereka juga lagi chattan, terka Deven dalam hati.

Bus terus melaju di jalanan kota Jakarta. Sinar hangat sang surya menembus jendela kaca, menimpa wajah laki-laki yang menyandarkan kepalanya di sana. Deven bermaksud memejamkan mata sekejap sembari menanti bus yang ia tumpangi bersama kawan-kawan baru berhasil melawan padatnya lalu lintas ibukota.

***

"Yang cewek ke sana ya, ikuti Kak Indah sama Kak Ferry!" Seorang crew memegang pengeras suara sekaligus walkie-talkie berulang kali memberikan instruksi pada barisan Junior. "Cowok-cowok ngikutin Kak Rudy. Itu, itu, Kak Rudy yang itu," tambahnya sambil menunjuk seorang crew lain.

Melodious DreamsWhere stories live. Discover now