3

2.1K 170 41
                                    


(Bagi yang lupa alur cerita, disarankan untuk membaca chapter sebelumnya. Enjoy<3)


Suara instrumen dari speaker yang diputar sejak pagi masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian Junior, bahkan bagi semua grup. Acapkali dilakukan percobaan atas lagu yang akan mereka bawakan di stage nanti, detak jantung di dada serasa memberontak, berdegup kencang di atas normal.

Anneth Delliecia, gadis jelita itu memandang cermin toilet yang merefleksikan wajah cantik dirinya. Keyakinan kuat sedang ia bangun saat ini, percaya diri, kekuatan. Terhias riasan tipis di sana, dipandangnya setiap lekuk rupa yang terpantul di kaca, tersenyum, menggumamkan kalimat, "Berikan yang terbaik, Anneth!"

Dirasanya cukup, ia pun memutuskan hengkang. Tepat ketika kakinya melangkah keluar, pintu toilet pria terbuka, memunculkan seseorang dari dalamnya ; laki-laki berkaus putih dirangkap kemeja merah, dengan topi merah terbalik menutup ubun-ubunnya. Berhadapan, sama-sama terdiam, keduanya hanya saling pandang—ya, hanya antara Anneth dengan seorang tersebut.

Sambil mencoba bersikap normal, orang itu bermaksud tak peduli dengan pertemuan tiba-tibanya dengan Anneth. Namun baru sempat memalingkan muka sepersekian detik, si gadis menyapanya duluan—cepat, sigap, mengurungkan niat orang yang dipanggilnya. Ya, Deven.

"Hai!"

Agak tersentak, ia menjawab, "Oh, hai."

Deven memaku sebentar, menunggu apa yang akan dilakukan gadis yang baru ditemuinya tiga hari ini selama di Jakarta. Laki-laki itu kemudian tersenyum sekilas menyadari bahwa Anneth justru sedang menunggunya. Untuk berjalan bersama.

"Perform urutan berapa?" Entah apa yang membuat Deven memulai pembicaraan usai langkah mereka berjalan beriringan menuju ke backstage.

"Kedua, nih! Kamu?" tanya Anneth balik.

"Wah, pembuka dong. Grup aku tampil urutan ketujuh."

Anneth hanya mengangguk, dengan tersenyum tentu saja untuk memperlihatkan welcomeness-nya. Beberapa langkah telah mereka lalui dengan hening di tengah-tengahnya, dengan canggung yang memisahkannya, dan dengan tembok tak kasat mata yang menghalangi interaksi keduanya.

"Grup kamu bawain lagu apa, Neth?" Deven memecahkan keheningan itu.

"Oh anu, itu... Bahagia-nya GAC," jawab yang ditanyai.

"Mmm. Asik."

"Kamu?" Anneth menanyai balik.

"Aku apa?"

"Grupmu dapet lagu apa?"

Deven tertawa kecil, renyah terdengar di telinga, "Hahaha. Kami... Laskar Pelangi."

"Waaa," respon Anneth singkat, kemudian melanjutkan, "Harusnya Alde pakai baju kuning, terus Bani bajunya hijau."

Deven menoleh cepat, sedikit mendongak karena Anneth lebih tinggi. "Kenapa gitu?"

"Bajumu kan merah. Biar nanti perform-nya kaya pelangi; merah-kuning-hijau, kan pas tuh sama lagu Laskar Pelangi. Hahaha." Dua-duanya tertawa, malu-malu tapi.

"Itu mah lampu lalu lintas, Anneth!"

"Iya ya, ngakak!"

Sebagai penutup sebelum hening kembali, sedikit celetukkan dari Deven, "Bisa aja kamu."

Sambil berjalan, keheningan datang lagi menyelimuti dua insan ini. Beberapa kali mereka dipapasi oleh crew yang berlalu lalang, tapi keduanya acuh saja. Secara kasat mata, si laki-laki mungil-lah yang terlihat jelas salah tingkahnya. Bukan apa-apa, mungkin ia masih belum terbiasa dengan gadis yang berjalan di sampingnya ini.

Melodious DreamsWhere stories live. Discover now