1

3.2K 220 51
                                    


Ada debar yang terasa sejak langkah gadis jelita itu menapaki tanah ibu kota. Dirinya kembali lagi ke kota ini setelah sekian waktu. DKI Jakarta, dengan sang ibu, dengan puluhan kawan baru—beberapa di antaranya tak asing lagi, dan para wali dari kawan-kawannya. Gelisah? Ya, tentu. Ini awal yang baru bagi gadis itu, namun tidak terlalu baru, sebab ia pernah melewati fase yang seperti ini di masa yang lalu.

Avanza hitam yang membawa ia dan sang ibu memasuki halaman luas sebuah bangunan pencakar langit yang megah. Maklum, ini kan Jakarta. Gedung puluhan bahkan ratusan lantai bertebaran di sini. Gadis itu turun segera setelah pintu mobil dibuka oleh pelayan, kemudian ia lari ke belakang membantu pak sopir mengeluarkan isi bagasi—koper dan bawaan lain miliknya.

Selesai. Mobil hitam telah melaju, sambil menggenggam pegangan koper, ia memacu langkahnya untuk masuk ke gedung megah itu, menyusul ibunya yang sudah lebih dulu. Dengan sebuah kartu emas yang begitu berharga, gadis itu dan ibunya segera disambut hangat oleh crew berseragam hitam, dengan logo statiun televisi ternama. Kartu emas itu... ya, Golden Ticket, sebuah kunci dalam perjalanan dan perjuangan baru bagi si gadis.

"Mari ke reception terlebih dahulu," ucap salah seorang crew, ramah, seraya menggiring gadis itu dan sang ibu menuju bagian resepsionis, di mana banyak orang juga antre di sana. Tentu saja, mereka yang antre adalah pasukan yang memiliki kepentingan dan tujuan sama. "Silakan menunggu, ya."

Bola matanya berkeliling, memandang ke penjuru lain—ke arah antrian anak-anak sebayanya, di sisi orang tua mereka, menunggu antrian untuk mendapatkan kamar di hotel bintang ini.

Dalam sekejap...

"Friden!" Ia berseru girang ketika netranya menangkap sosok laki-laki tinggi berkalung headphone putih.

"Anneth!"

"Mami, aku ke sana."

Sontak, gadis yang dipanggil Anneth itu berlari menuju lobi, mendekati laki-laki yang duduk manis di sana bersama kopernya.

"Kamu apa kabar?" lontar Anneth ceria, sembari melayangkan highfive pada kawan lamanya.

"Baik. Kamu sendiri?" laki-laki itu, Friden, bertanya balik dengan hiasan senyum sumringah dan binar indah di wajah.

"As you see, very good!"

"Udah lama ya sejak terakhir kali kita ketemu di The Voice Kid Season Two," lanjut Friden.

Anneth, dengan agak heboh menimpal, "Iya, udah lama banget tuh. Selamat, Iden!"

"Selamat juga, Anneth. Ga nyangka bisa ketemu Anneth lagi di Idol Junior."

"Duh, saingan lagi nih kita hahaha," canda si gadis.

"Siapa takutttt, hahaha."

Sejenak, percakapan berhenti. Canggung. Wajar, mereka sudah lama tak saling bertatap muka. Hanya kadang kala saja berkirim pesan lewat LINE atau DM instagram. Lebih-lebih, Friden dan Anneth dahulu dipertemukan di ajang pencarian bakat saat masih terlihat bocah. And now? Kalian bisa menilai kan, kini mereka mulai beranjak remaja.

Anneth menghela napas, sedikit melunakkan keheningan. "By the way, aku nonton video audition kamu loh. Gila sih, keren banget bawain You Are the Reason."

"Ah masa? Lebih keren yang bawain Location-nya Khalid, dong! Bunda Maia aja sampai memprediksi penyanyinya masuk lima besar."

"Seriously? Khalid diprediksi masuk lima besar Indonesian Idol Junior?" tanya Anneth, cari-cari bahan ngereceh.

Melodious DreamsWhere stories live. Discover now