01

1K 86 12
                                    

Langit sore itu kelabu gelap. Awan mendung menggantung di langit, begitu tebalnya seolah tak ingin pergi dalam waktu dekat. Rintik hujan turun dengan deras, membasahi seluruh bumi dengan ratusan bahkan ribuan tetes air tanpa ada yang tahu kapan berhentinya.

Serasi dengan hati Lee Luda, gadis mungil yang kini berdiri berdesakan di antara puluhan orang, mengelilingi sebuah lubang persegi panjang sambil berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya yang hampir tak bertenaga. Sudah tak terhitung berapa bulir air mata yang menetes dari netra gadis itu, berapa lama dirinya menangis hingga yang keluar hanya isakan tanpa air mata.

Pusing, kacau, bingung, sedih, dan pilu. Semua itu benar-benar membuat Luda tak mampu lagi berdiri ketika akhirnya sebuah peti mati berwarna hitam diletakkan di dasar lubang. Sebuah peti yang tampak masih baru dan bagus, dengan sebuah nama terukir di bawah simbol salib yang terukir di atasnya.

Kwon Hyunbin.

Kekasihnya, belahan jiwanya, orang yang sudah mengisi relung hatinya selama lebih dari dua tahun itu kini pergi begitu saja. Tak ada kata pamit terucap, lebih-lebih salam perpisahan. Semuanya berlangsung tiba-tiba, kabar duka yang tak pernah disangka-sangka.

Tanah bercampur lumpur mulai dikeruk, lalu dilemparkan untuk menutup lubang tadi. Semakin penuh dan penuh, hingga yang tampak hanyalah sebuah gundukan tanah bertabur bunga, dengan nisan berbentuk salib yang tertancap di atasnya, bertuliskan nama mendiang Hyunbin beserta tanggal lahir dan kematiannya.

Isak tangis mengiringi kembalinya pemuda itu ke tempat peristirahatan terakhirnya. Semua orang menyayanginya, semua orang kehilangan. Sosok anak, teman, sahabat, dan saudara. Si pemuda berwajah garang namun berhati lembut, sedikit ceroboh juga humoris.

Si tukang bercanda yang mempunyai satu tujuan serius dalam hidupnya, si budak cinta yang bercita-cita membawa Luda berdiri di depan altar agar cinta mereka abadi hingga maut menjemput.

Sekarang, mungkinkah itu semua terjadi?

Maut datang terlalu cepat. Luda belum siap.

"Luda, ayo pulang."

Luda bergeming, menghiraukan ajakan kawan-kawannya untuk segera kembali karena hari semakin sore dan cuaca tak kunjung bersahabat. Keluarga dan tamu-tamu lain sudah pulang, tapi gadis itu masih bersimpuh di samping makam sang kekasih, lagi-lagi terisak tanpa suara.

"Lee Luda. Ayo pulang, udaranya dingin, nanti kamu bisa demam."

Luda menoleh, menatap Eunha nanar kemudian menggeleng. "Kalian kalo mau pulang, duluan aja. Gue masih mau nemenin Hyunbin di sini, kasian dia sendirian..."

"Santai ah, dia banyak temen kali. Liat noh kapling kanan kiri depan belakangnya udah full semua. Biar dia kenalan sama tetangga," celetukan tak tahu situasi itu datang dari mulut Jungkook, yang langsung ditoyor oleh Mingyu yang berdiri di sebelahnya.

"Mulut lu minta dilakban bener ya," omel Mingyu.

"Eh, tapi bener kata Jeka, positive thinking aja Da, Hyunbin dapet temen baru," imbuh Chaeyeon yang langsung mendapat lirikan tajam. "Maksudnya, lo juga jangan lupa sama diri lo sendiri, jangan sampe sakit. Hyunbin gak akan seneng kalo sampe lo sakit gara-gara dia," ralatnya buru-buru.

Luda hanya menghela napasnya, lalu berusaha melukis senyum di bibirnya, sebagai bentuk terima kasih atas dukungan yang teman-temannya berikan. "Makasih, gue bakal jaga kesehatan kok," ujarnya sembari menatap teman-temannya satu persatu.

"Tapi gue masih mau di sini, sebentar aja... kalian kalau mau pulang, duluan aja, gue bawa motor, bisa pulang sendiri," lanjut Luda lirih. Gadis itu kembali menunduk menghadap makam sang kekasih.

[ 2 ] The Camp | 97LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang