FIVE

355 43 1
                                    

"Kau pasti sangat kedinginan. Maaf ya aku terlalu lama."

Soobin membuka lipatan kain tebal itu lalu menyelimutkannya ke atas pangkuan Jisu. Dari sudut matanya, ia melihat ada bangku kayu yang terlihat nyaman berdiri kokoh tak jauh darinya. Lantas, ia membawa Jisu menuju tempat itu, lalu mendudukkan dirinya sendiri di atasnya. Soobin memutar kursi roda Jisu menghadapnya.

Diperlakukan seperti itu, membuat jantung Jisu bermaraton. Wajah dan kupingnya terasa panas, lantas ia menunduk dalam agar Soobin tak melihat wajah memalukannya itu.

"Jisu-ya, maaf sebelumnya, tapi aku ingin bertanya."

"Mwoga?" Jisu masih menunduk dalam. (Tentang apa?)

"Apa... yang melukaimu tadi itu ibumu?" tanya Soobin hati-hati.

Jisu mengangkat wajah. Kedua mata bulatnya menatap Soobin lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan.

Soobin tak yakin, namun ia tetap melanjutkan, "Ibu kandung?"

Jisu mengangguk kembali, membuat Soobin seketika terdiam seribu bahasa. Jika Jisu mengatakan ia dipungut, atau diadopsi, atau ayahnya menikah lagi mungkin ia akan percaya. Tapi bagaimana bisa ia percaya saat gadis itu mengakui orang sekejam itu adalah ibu kandungnya sendiri? Tidakkah itu keterlaluan?

"Dia... jahat sekali."

"Benar, dia ibu yang jahat," kata Jisu tersenyum menyedihkan. "Aku akan sangat bersyukur kalau bisa terbebas darinya."

"Kenapa kau tidak kabur saja?"

"Aku bisa saja melakukan itu, tapi karena tuntutan sekolah aku harus menunggu sampai lulus. Kau tahukan kalau atas nama sekolah, kita harus membutuhkan wali?"

Soobin mengangguk setuju. Ia pun begitu. Meski hidup dengan seorang kakak yang sakit-sakitan, ia tidak bisa meninggalkannya karena ia butuh wali. Tidak, sebenarnya mereka hanya saling menjadi wali masing-masing. Terkadang jika Soobin membutuhkannya, ia akan menjadi wali untuknya, begitu juga sebaliknya.

Tetapi setidaknya mereka saling menyayangi. Mereka saling menopang. Karena mereka keluarga. Dan mereka tahu betapa sulitnya hidup sebatang kara.

"Oh iya," kata Jisu lagi. "Kenapa kau bisa ada di sana? Kenapa kau bisa menolongku tadi? Kau... tidak sengaja mengikutiku, 'kan?"

Soobin tertawa pelan. Laki-laki tampan itu menggelengkan kepala dan mulai menceritakan semuanya, "Kemarin aku baru saja pindah rumah, tidak terlalu jauh sih dari rumahmu. Aku pindah ke sana dikarenakan kabur."

"Kabur?"

"Mm. Kabur karena tidak bisa membayar uang kontrakan." Tatapan mata Soobin seakan menerawang. "Terlalu mahal biaya sewa di rumah kontrakanku yang sebelumnya. Setelah sekian lama, hutangku kepada si pemilik rumah kontrakan semakin menumpuk. Akhirnya tengah malam aku kabur dengan kakakku. Untung saja saat aku kabur aku sudah memiliki rumah yang akan kutuju. Dan benar saja, kontrakan di daerah yang sekarang murah-murah, bahkan sangat murah! Aku hampir tidak percaya kalau harga sewanya tidak ada setengah dari harga biaya sewa rumah kontrakanku yang lama..."

Mulut Soobin terus mengoceh tiada henti. Namun, selama Soobin bercerita, Jisu sama sekali tidak berniat memotongnya, ataupun berkata kalau ia lelah mendengarkan ocehannya. Tidak. Bagaimana bisa gadis itu lelah di saat ia merasa telah mendapatkan pemandangan menakjubkan? Seorang Choi Soobin  yang selalu ia lihat dari jauh bisa berbicara panjang seperti lintasan rel kereta api kepadanya.

Diam-diam Jisu memerhatikan setiap gaya dan logat Soobin saat mengoceh. Soobin terlihat begitu antusias. Kedua sudut bibir gadis itu tertarik pelan. Hari ini, saat ini, detik ini juga, ia bersumpah hatinya serasa ingin meledak-ledak gembira.

Only Look At Me ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang