Nama : Samudra
Panggilan : Sam
Mahasiswa tingkat 2 jurusan teknik mesin
Hobi saat ini : berkebun kol, menggoreng kol, makan kol gorengAkhir-akhir ini Yudha terlihat berbeda. Sebenarnya, aku melihatnya berbeda hanya karena dia jadi tidak pernah mampir ke sekre himpunan selepas kelas. Aku mengenal dia sejak masih menjadi anak bau bawang tingkat satu. Koreksi, aku mengenal dia sejak waktu pendaftaran ulang. Aku tahu dia bukan tipe mahasiswa dengan ambisi akademik yang tinggi. Dia orang plegmatis yang menuruti kehendak dirinya sendiri. Apakah karena itu dia sedang muak dengan segala tetek bengek mahasiswa jurusan jadi mungkin dia mangkir di suatu tempat.
Namun, aku bahkan belum mengobrol atau bertegur sapa dengannya sejak hari senin kemarin. Hari ini, pokoknya aku harus berbicara padanya untuk memastikan keadaannya.
"Yud!" Aku berlari menghampirinya dan cengkeraman tanganku berhasil menahan bahunya. Kutarik bahunya ke belakang agar seluruh badannya menghadap ke arahku. "Mau ke mana lu? Setelah ini ada kelas lagi."
Yudha menyunggingkan senyum samar, "Sorry, gue skip."
"Ke mana?" tanyaku lagi.
Aku bisa melihat jakunnya yang tajam bergerak naik turun. Ia menelan ludah sebelum meyakinkan dirinya untuk menjawab pertanyaanku dengan kalimat, "Ke rumah sakit."
Aku mengernyit. Tanpa kusadari cengkeramanku melunak dan lepas dari bahunya. Dia pergi tanpa penjelasan apapun. Yang kutahu hanya bahwa dia memiliki masalah. Entah apakah aku sudah menjadi orang yang pantas untuk bertanya lebih lanjut kepadanya.
Segala teoriku tentang kondisi Yudha bermuara pada seonggok kol goreng yang tersaji di depanku. Walaupun kol goreng hanya makanan pendamping, aku selalu menyukainya lebih dari makanan utamanya.
Seseorang berdehem keras di sampingku seolah sengaja agar aku menoleh padanya.
"Kenapa lu ?" tanya anak perempuan yang duduk disebelahku.
"Apanya kenapa?" Aku balik bertanya.
Dia melirik ke arah piring didepanku lalu menunjuk kol goreng dengan dagunya, "Kol gorengnya lebih banyak dari nasi. Stress?"Aku hanya membalasnya dengan helaan napas dan keheningan melanda kami berdua untuk sesaat.
"Rambut baru?" tanyaku retoris sambil melirik rambutnya yang kemerah-merahan.
"Iya, bosen."
"Beli di mana?"
"Di pasar simpang, " jawabnya enteng
Aku menarik rambutnya yang menjuntai di atas bahunya dan anak perempuan itu mengaduh kesakitan sambil memiringkan kepalanya. Begitu tanganku lepas dari rambutnya, tinjunya bertubi-tubi menghujani lengan atasku.
"Sorry, gue pikir wig."
"Bego," makinya.
Keheningan kembali menyelubungi kami di bawah tenda pedagang kaki lima itu dan kami memutuskan untuk fokus pada makan siang kami yang sangat terlambat. Kulirik jam di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah empat sore lebih sedikit.
Anak perempuan itu merapikan sendoknya lalu membayar menu yang dipesannya. Sebelum dia beranjak pergi, kuputuskan untuk memanggil namanya.
"Mahira,"
Dia menoleh padaku; mengurungkan niatnya untuk pergi. Sekilas aku melihat ulasan senyumnya.
"Hm?" dia mengangkat kedua alisnya seolah bertanya ada apa.
Aku diam. Menimbang-nimbang apakah keputusanku benar sampai kuputuskan untuk mengurungkan niatku.
"Jangan ngugal di jalan," kataku pada akhirnya.
Mahira berdecak sambil memutar kedua bola matanya cuek. Ia melambaikan tangan lalu berlalu meninggalkanku.
Saat itu juga aku termangu karea sebuah inspirasi yang baru saja datang. Pikiranku kembali kepada Yudha. Mungkin dia sebenarnya ingin menceritakan sesuatu padaku sama seperti aku ingin bercerita pada Mahira tapi perasaannya sama denganku. Aku dan Yudha sama-sama tidak bisa menceritakan hal buruk kepada satu sama lain. Karena itu, besok, aku akan bertanya padanya. Apapun yang dia katakan aku harus tau apa masalahnya. Bukan karena aku penasaran tapi karena aku peduli.
YOU ARE READING
Kisah Tanpa Adanya Dirimu
ChickLitMungkin kamu lupa tentang janji kita saat itu. Itu hanya janji main-main di antara kita, tapi tidak ada satu katapun kuucapkan dengan main-main. Atau, mungkin kamu ingat, tapi kamu enggan untuk menagihnya kepadaku karena sebenarnya kamu tahu betapa...