Bagian Ketiga

35 12 5
                                    

Keesokan harinya, Rabu yang sedikit cerah, aku berangkat sekolah dengan seragam favoritku, batik. Pagi ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang hilang di pagi ini. Saat aku melihat ke arah kursinya, aku tidak melihat barang-barangnya. Ya, Rama tidak sekolah hari ini.

"Eh Tas, si Rama kemana?" tanyaku kepada Tasya.
"Mana gue tau, emang gue emaknya."
"Kirain gue, lo tau. Gue ngerasa agak beda, sepi aja gitu."
"Hah?" ucap Tasya sambil menengok ke wajahku.
"Sepi, gak ada Rama rasanya sepi."
"Lo suka sama dia, ya?"
"Gak tau gue juga, Tas."
"Ah, dasar Kartika ini lah."

Hari ini bagai taman tanpa bunga, kulewati begitu saja. Padahal, hari ini sedikit cerah dengan adanya matahari. Kenapa matahari mau bersinar saat dia tidak ada di sekitarku? Atau matahari merasa malu jika ada matahari lain yang lebih bersinar darinya?

Aku tertidur sedikit lebih lama malam ini. Mimpiku terlalu indah untuk dilewati begitu saja. Mimpi tak seberapa itu, sangat spesial bagiku. Ada dia disana. Kemeja putih panjang yang dimasukan ke celana hitam, lucu sekali penampilan dia. Tapi semua itu hilang saat aku sadar, waktu tidak bersahabat dengan mimpiku.

Sesampainya di sekolah, waktu menunjukan pukul 07.10. Aku terlambat dan mendapatkan hukuman. Hukuman ringan ini lebih 'tak seberapa' dibanding mimpiku.

Saat aku kembali ke kelas. Hal yang pertama ku lihat adalah mejanya. Masih sama seperti kemarin. Dia tidak masuk sekolah lagi. Lalu, aku duduk di kursiku. Disampingku, ada Tasya yang sedang mencatat materi hari ini.
"Loh, Tik. Tumben-tumbenan lo telat," ucap Tasya.
"Si Rama gak masuk lagi, Tas?" tanyaku.
"Iya, tapi sekarang dia ngirim surat, katanya dia izin ada acara keluarga."
"Oalah, kira-kira pulang kapan, ya?"
"Penasaran banget kayanya, hahaha."
"Soalnya dia tuh ada janji sama gue. Katanya dia mau ngajarin gue gambar."
"Iya deh, neng Tika."

Setelah jam pelajaran selesai dan waktunya untuk pulang, aku mencoba menghubungi Rama via telepon. Tapi, tak ada jawaban darinya. Kebetulan A Dika belum menjemputku, aku menyempatkan diriku untuk bertemu dengan Iqbal untuk menanyakan tentang Rama.

"Hey, Iqbal!" sapaku dari pintu kelasnya.
"Kenapa Tik nyariin gue?" ucap Iqbal.
"Gimana ya bilangnya? Duduk aja deh dulu, boleh enggak?"
"Oh, ya udah."

Aku dan Iqbal pun duduk.

"Kenapa Tik?"
"Lo kan temen deketnya nih, lo tau enggak si Rama kemana? Kok enggak masuk sekolah 2 hari ini?"
"Oh, si Rama. Aduh, ceritanya panjang nih, lo nyantai gak?"
"Nyantai sih. Abang gue belom jemput juga."
"Jadi dia tuh broken home sebenernya, Tik. Dua tahun yang lalu, bokapnya ninggalin dia, abangnya, sama nyokapnya. Nyokapnya ini korban kdrt. Si Rama ini ngeliat langsung pas nyokapnya dianiaya sama bokapnya, Tik. Dia ngerasa gak berguna banget hidupnya karena dia enggak bisa ngapa ngapain waktu itu. Gue juga enggak tau pasti kenapa orang tuanya kaya gitu, pokoknya nyokapnya ditinggalin gitu deh. Nah, yang biayain keluarganya tuh abangnya sekarang. Terus dia yang jagain nyokapnya. Kemarin tuh kata dia nyokapnya lagi sakit, jadi dia harus jagain nyokapnya." Ucapnya.
"Serius lo? Enggak nyangka gue dia kaya gitu."
"Lo juga ngerasa enggak sih, kalo sikap dia ke lo tuh beda."
"Iya sih."
"Seinget gue sih ya, dia tuh pernah bilang kalo lo tuh ngingetin dia ke nyokapnya. Dia ngerasa lo tuh spesial di matanya. Dia pengen jagain lo. Dia cuma mau lo enggak kenapa-napa selama ada dia disisi lu. Dia enggak mau lebih, cuma itu aja katanya."
"Astaga, kemana aja gue."

Tiba-tiba A Dika menelponku.

"Duh, sorry ya, Bal. Kakak gue udah jemput nih. Makasih sebelumnya ya, bye!"
"Iya, bye!"

Lalu aku langsung pulang begitu saja.

Sekarang aku tau, kenapa Rama seperti ini. Semua yang dikatakan Iqbal terpikirkan di benakku. Seolah-olah seperti hujan yang datang kembali setelah pelangi.

Sepertinya aku menyukainya. Menyukai semua perhatian yang dia berikan. Ingin rasanya menjadi sesosok yang lebih dari sekedar teman. Namun, tidak bisa. Aku tidak mau rasa ini merubah segalanya. Dia nyaman dengan ini semua. Dan aku pun begitu.

Jum'at, pun tiba. Aku berangkat ke sekolah. Tidak ada rintik hujan pagi ini. Hanya langit berawan dan embun yang melukiskan suasana. Saat aku sampai di kelas, hatiku berdebar. Ya, Rama sekolah hari ini.

Di Ambang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang