Tiga hari sudah berlalu sejak percakapanku bersama salah satu perawat yang merawatku. Siang ini, Grace kembali ke rumah sakit. Baru saja aku melihatnya memasuki kamarnya.
Mungkin saja dia kelelahan, batinku.
Aku berjalan menuju arah sebaliknya. Aku hendak mengambil sebotol air putih di dekat ruang jaga perawat dan dokter.
"Jadi, ini mengenai kondisi Grace." aku sedikit mengintip dari celah ruangan saat mendengar suara seseorang.
"Dok, apa ini satu-satunya cara agar anak kami bisa kembali sembuh seperti sedia kala?" tanya seorang wanita yang kuyakini ibunda dari Grace.
"Pak, bu. Sejujurnya ini sudah sangat terlambat untuk dilakukan. Tapi jika dicoba untuk saat ini, kemungkinan untuk melanjutkan hidupnya akan bertambah." jelas seseorang berjas putih itu.
Orangtua Grace tampak termenung memikirkan sesuatu.
"Kemarin kami lihat, daya hidupnya sudah mulai meningkat. Apa harus seperti ini?" ibunda Grace tampak meratapi nasib putrinya.
Benakku masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Grace.
"Sel-sel kanker itu sudah menggerogoti tubuhnya. Tak ada jalan lain selain kemoterapi." terang dokter.
Mulutku sedikit menganga mendengar hal itu. Grace...sakit kanker?!
"Bukankah waktu itu kemoterapi hanya memperparah kondisi fisiknya, dok?! Saya sebagai orangtuanya sangat miris melihatnya." ucap ayah Grace yang mulai berkaca-kaca.
"Pak, Grace mengalami kanker darah yang cukup ganas. Kami pasti akan berusaha semampu kami untuk menyembuhkannya. Bapak dan ibu tenang saja." ujar dokter berusaha menenangkan.
Aku mengusap kasar mataku yang seakan hendak mengeluarkan air mata.
"Tolong, rawat putri kami dengan baik ya, dok." ayah Grace menghembuskan nafas beratnya.
Kulihat dokter itu mengangguk, "besok pagi akan dilakukan pengecekan total pada pasien. Setelah semua pengecekan berakhir, kami baru bisa melakukan tindakan kemoterapi." ucapnya.
Aku menelan ludahku kasar. Tak ingin mendengar obrolan ini, aku memilih untuk kembali ke kamarku.
Aku sempat melirik sekilas kamarnya yang berada di ujung, sebelum akhirnya aku memasuki kamarku sendiri.
Setelah mendengar obrolan mereka, duniaku seakan terombang-ambing. Ini menyiksaku. Mungkin apa yang dikatakan dokter tadi merupakan keputusan yang terbaik demi kesembuhan Grace, namun entah mengapa pikiranku begitu tidak tenang.
Tok.. Tok..
Terdengar suara ketukan pada pintu kamarku.
"Masuk."
Cklek...
Seorang perawat memasuki kamarku.
"Maaf jika aku bukan perawat biasa menemanimu." ucapnya.
"Tak masalah." balasku.
Ia duduk di sampingku, menyiapkan beberapa cairan yang akan dimasukkan ke dalam alat suntik.
"Boleh kemarikan tanganmu?" ucapnya.
Aku menurut. Aku tak pernah berani melihatnya. Aku menutup mataku ketika perawat itu mulai menyuntikkan cairan itu.
"Mulai hari ini, kamu akan dipasang infus ya." ucapnya.
Aku mengerutkan keningku, "untuk apa? Aku sehat."
"Bukankah kemarin kamu sempat drop?"
"Mungkin hanya kelelahan saja."
"Jika analis darimu hanya sebatas 'mungkin', kami memiliki analisis yang 'pasti'."