Pagi ini, aku sengaja tidak mengenakan pakaian rumah sakit, melainkan pakaian bebas yang ku pakai saat pertama kali datang ke sini. Ku kemasi sisa obat yang kupunya ke dalam tas dan bersiap selayaknya orang sehat.
Ini sudah dua hari sejak percakapanku dengan Grace di taman rumah sakit. Hari ini, kami akan menjalankan rencananya. Meskipun kedengarannya gila, tapi sepertinya ini menarik.
Aku mengetuk pintu kamarnya pelan. Tak perlu menunggu lama, ia pun telah rapih dengan pakaian kasualnya.
"Kamu yakin?" tanyaku.
Ia mengangguk, "semua udah siap kok. Gelang pasienmu simpan aja di dalam tas. Punyaku juga kok." ucapnya.
Aku menurutinya, melepaskan gelang berwarna biru muda itu dan menyimpannya di dalam tas.
Kami berdua mengendap-endap melewati ruang jaga dokter, lalu turun ke lantai paling bawah dan menuju tempat parkir.
"Bagaimana orangtuamu?" tanyaku penasaran.
Kemarin sore, aku melihat orangtuanya datang ke rumah sakit.
"Untungnya mereka benar-benar datang seperti perkiraanku. Dengan begitu, kita bisa pergi dengan mudah." jawabnya.
"Kamu bawa apa aja?"
"Nggak banyak sih. Tapi kurasa cukup."
Aku mengikutinya dari belakang. Menyelinap ke mobil miliknya.
"Kamu serius bisa bawa mobil kan?" tanyaku.
"Ya, aku bisa kok. Huh, asal kamu tau, aku tadi sempat kesulitan mencari kunci mobil ayah." ucapnya.
Aku terkekeh pelan, kami berdua memasuki mobilnya. Grace menjalankan mobilnya perlahan, keluar dari area parkir rumah sakit.
"Kamu juga bisa nyetir kan? Untuk jaga-jaga kalau aku lelah."
Aku mengangguk, "yah, walau aku hanya pernah menyetir mobil pick-up milik ayah sih." ucapku.
"Nggak masalah. Mekanismenya sama kok." balasnya.
"Bensinnya ada kan?" tanyaku.
"Ayahku selalu mengisinya penuh." jawabnya.
Kami berkeliling mengitari kota yang tidak begitu ramai.
"Kamu hafal jam minum obatmu kan?" tanyanya.
Aku mengangguk, "ya, setiap delapan jam sekali. Kalau kamu?"
"Nggak perlu khawatir." ucapnya.
Setelah berjam-jam berkeliling, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di dekat air mancur kota.
"Mau beli es krim?" tawarnya.
"Emang punya uang?" tanyaku penasaran.
"Pastinya."
"Kalau begitu, ayo!" seruku bersemangat.
Kami turun dari mobil dan membeli dua buah es krim coklat.
Kami menghabiskan waktu kami sambil bercerita dan bercanda bersama. Sesekali, kami juga bermain dengan beberapa anak kecil yang datang.
Tak terasa, hari sudah mulai petang. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke SPBU terdekat dan berencana untuk tidur di dalam mobil.
Aku sedikit terdiam memegang dadaku. Sesekali, rasanya nyeri sekali untuk bernafas. Namun setiap kali aku merasakan hal seperti ini, aku selalu sedia obat pereda nyeri yang diberikan dokter Budi.
"Kyra, hari ini menyenangkan bukan? Aku baru pertama kali tertawa selepas itu sejak dua tahun terakhir." ucapnya.
Aku menatapnya sambil memaksakan senyumku.
