“Pagi, Ayah, Ibu!” sapa Kesya sambil menuruni anak tangga.
“Pagi juga, Sayang,” balas Erwin, mencium pipi kanan, dan kiri anaknya sebagai budaya yang wajib dilestarikan dalam keluarga kecilnya.
“Sarapan dulu.” Erina mengingatkan, membuat anak gadisnya yang tadinya sudah berniat untuk meninggalkan sarapan, menjadi urung.
Kesya hanya menyantap satu buah roti tawar yang tersedia di meja, atau ia akan benar-benar terlambat karena ditahan Ibunya yang pantang menyerah sebelum dituruti.
Kesya Anastasya, gadis berusia 20 tahun yang merupakan seorang mahasiswi semester 5 di salah satu universitas ternama di kotanya.
Tubuh tinggi semampai dengan rambut lurusnya yang selalu diurai sampai batas pinggang. Dengan rumus andalan: tinggi badan dikurangi 110, maka hasilnya merupakan jumlah syarat berat badan yang ideal. Jumlah berat yang harus bertahan pada timbangannya, atau gadis itu akan rela berpuasa selama berhari-hari demi kembali pada hasil yang dianggap normal.
Gadis yang selalu menolak chubby ini lebih dekat dengan Ayahnya, dibanding dengan wanita yang mengandungnya selama 9 bulan. Ketika sang Ibu tak memberinya izin keluar malam, Ayahnya lebih memilih percaya walau dengan memberlakukan jam malam.
Kesya tahu kalau selama Ayahnya ada maka hidupnya akan baik-baik saja. Meski sebegitu banyaknya larangan yang Ibunya berlakukan, sang Ayah selalu menolongnya bak super hero yang selalu datang menyelamatkan.
Kesya merupakan anak tunggal dari kedua orang tuanya. Tidak hidup mewah, namun segala kebutuhannya selalu tercukupi, cukup punya mobil, cukup punya rumah, cukup punya tanah.
Keadaan hidup yang sama sekali tidak pernah menuntut untuk bersikap mandiri membuat Kesya berleluasa, tak merasa perlu memusingkan hal apa pun lagi selain menjaga ketat tubuhnya agar tetap ideal dalam keadaan sehat, baru, lah, kemudian masalah perkuliahannya yang semakin naik semester malah semakin menyulitkan.
“Habiskan.” Erina kembali berkomentar pada kebiasaan anaknya yang sering kali menyisakan makanan.
“Ibu ini, masih pagi sudah ngomel,” keluh Erwin setelah menyeruput kopi paginya.
Kesya yang merasa dibela pun mengerlingkan mata ke arahnya, ia tak pernah tega melihat anak kesayangannya tersudutkan.
“Aku berangkat, ya! Udah telat.” Kesya pamit tanpa menghiraukan Ibunya yang masih ingin berargumen.
“Ayah gimana, sih?!” protes Erina.
“Gimana apanya, sih, Bu?” sahut Erwin yang masih fokus pada koran harian yang tak pernah dianggurkan.
Erina segera mengambil posisi untuk duduk di samping suaminya. “Ibu sengaja bikin Kesya lama. Ibu nggak suka sama laki-laki yang biasa jemput Kesya di depan itu,” ungkapnya, membuat sang suami melirik ke arah yang dimaksudkan.
“Kalau hanya dibuat menunggu, itu nggak akan ngaruh,” balas Erwin.
“Dulu Ayah pernah nungguin Ibu sampai seharian, dan itu nggak bikin Ayah berhenti untuk mendekati Ibu, kan?” sambungnya mengulas pengalaman dari masa lalu.
Erina terdiam, apa yang diucapkan suaminya memang benar. Bahkan hal itu pula yang membuatnya yakin kepada suaminya saat itu. “Lalu bagaimana?” tanyanya cemas.
“Bagaimana apanya?”
“Perjanjian kita 15 tahun lalu.” Erina menatap suaminya serius.
Erwin menutup koran yang menampilkan info politik pergantian presiden sebagai headline-nya, lama kelamaan isu itu membuat minat bacanya berkurang.
“Kesya baru bulan kemarin berkepala 2, Bu. Jalannya masih panjang.”
Erina menggelengkan kepalanya. “Sekarang, atau benar-benar tidak akan terlaksana.”
~End Prologue~
________
Trailer
Obsession Of Love
♡jangan lupa vote dan komentarnya♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession of Love
RomancePertemuan tak disengaja setelah 15 tahun berlalu membuat kedua manusia yang memiliki takdir bersama kembali saling adu tatap. Berawal dari Kesya yang menatap penuh curiga, lalu Rangga yang membalasnya dengan berbagai cara. "Kita nggak mungkin nikah...