1. Sore di Metromini

1K 29 1
                                    

Kota Depok terasa hangat. Sore itu, sinar matahari menampakkan pesonanya. Sinarnya tumpah mewarnai atap bumi kemerahan. Burung-burung kembali ke sarangnya. Di pinggir jalan, warung-warung sudah tertutup rapat pintunya.

Di balik kaca jendela kendaraan roda empat, seorang pemuda duduk dengan tenang penuh wibawa. Lisannya bergerak syahdu menyuarakan alma'tsurat. Dengan khusyu' ia melantunkan dzikir sore itu. Meresapi tiap kalimat doa yang tersusun dengan pujian yang paling indah untuk Tuhan dan Nabi-Nya. Wajahnya terlihat sayu. Disampingnya terlihat tas besar menggelembung. Didalamnya ada sebuah buku catatan, alat tulis, dan sandal-sandal karet.

Senandung shalawat di sepanjang jalan terdengar mendayu-dayu. Di serambi-serambi mushala terlihat mulai ramai oleh anak-anak kecil dengan aneka ragam busana muslim yang menjelma menjadi pelangi di ujung sore. Suasana malam perlahan menyelimuti kota. Tak lama lagi adzan maghrib bergema.

Subhaana Rabbika
Rabbil 'izzati 'ammaa yashifuun
Wa salaamun 'alal mursaliin
Walhamdulillahi Rabbil 'aalamiin

***

"Depok, Mas, Mbak! Depok .. !!" Suara teriakan serak kenek menyadarkan lamunan ku.

Satu persatu penumpang turun. Para kaum ibu dan bapak separuh baya terlihat banyak membawa barang belanjaan dari pasar. Mereka adalah para pedagang-pedagang di pasar Depok Baru, biasa berbelanja sore hari supaya keesokan harinya bisa siap di olah dan di jual. Aku mempersilakan beliau-beliau agar turun lebih dulu lewat tangga turun mobil bagian belakang.

Sesimpul senyum ramah para penumpang muncul membuat suasana bersahabat dan hangat. Ku telusuri isi kantung celana bahanku, menarik uang sepuluh ribuan kertas dari saku celanaku. Ku panggul belanjaan yang rasanya sesak didalam karung. Ku turunkan tas ransel dan karung besar belanjaan di bawah tangga turun mobil.

"Terus gimana dong?! Lu denger ya Mbak, kalau Mbak gak bayar, gua bisa rugi! Gimana sih?!" Seorang laki-laki berperawakan tinggi dan kurus, dengan kulit hitamnya terdengar garang membentak.

Langkah kaki ku jeda, lalu ku putar bola mata pada kursi penumpang bagian tengah.

"Maaf bang, Demi Allah, dompet saya hilang. Saya kecopetan!"

"Aduh, kalau mau ga bayar bilang aja deh! Gak usah pura-pura segala! Udah, sekarang lu serahin deh mendingan.. .."

"Ada apaan sih?! Gua mau turun. Liat tuh terminal udah sepi! Bos udah nunggu setoran!" Ketus sopir berbadan gemuk memotong pembicaraan dengan setengah berteriak.

"Ini cewek ngga mau bayar. Lu urus deh nih cewek! Gue laper, gue nyetor ke bos duluan." Kata kenek sambil mengusap wajahnya dengan sapu tangan dibahunya.

Perempuan berjilbab hijau muda itu kalang kabut. Tangannya terlihat sibuk melihat isi tas dan jaketnya. Semua barang-barang berharga di dalam tasnya kandas, mulai dari dompet, handphone, dan beberapa perlatan pribadinya. Ia bernafas lesu, musibah lagi ingin menyapanya petang ini.

Melihat suasana yang sepi, konek dan sopir terlihat berbisik ditangga turun mobil bagian depan. Sorot mata kedua laki-laki itu dengan liar menyisir perempuan berjilbab tadi mulai dari jilbab berwarna hijaunya sampai bagian sepatunya. Sesekali juga mereka menatap tajam keadaan di sekitar terminal yang sudah sepi, tanpa melihat aku yang sedang melihat tingkah mencurigakan mereka dari balik bangku penumpang dekat tangga turun metromini bagian belakang.

SETANGKAI CINTA BERBUAH SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang