13. Ikhtiyar Lagi

193 13 2
                                    

Setelah adzan ashar berkumandang, Devi segera mengambil air wudhu. Ia laksanakan shalat ashar, dan tidak lupa untuk mendoakan yang terbaik untuk kebaikan teman baiknya.

"Assalamualaikum. Cha, gue mau OTW." Kata Devi di papan chattingnya.

"Wa'alaikumussalam. Iyaa, gue juga mau jalan, Dev."

Ia melipat mukena dan sajadahnya. Buku catatan kecilnya ia bawa dan masuk ke tas mininya.

"Pasti akan ada yang perlu aku catat." Kata Devi dalam hati.

Ia pacu motor matic kecepatan 40-60 km/jam. Jam empat sore nanti ia sudah harus sampai Kedai. Sore ini ia hanya punya waktu singkat dengan Ocha. Jam lima sore ia harus segera berangkat menuju rumah Rina. Bertemu ayah dan ibunya.

Sepanjang jalan ia meringkas cerita yang pernah Rina sampaikan di masjid saat itu. Agar nanti Ocha bisa menangkapnya dengan singkat dan lugas, tanpa bertele-tele kesana dan kemari. Tentang lamaran yang sempat Rina tolak, dan tentang kejadian di metromini sore itu.

Ia belum yakin seratus persen bahwa ini akan berhasil. Tapi minimal ikhtiyar baru ini akan menjadi wasilah pertolongan Allah untuk pencarian Rina.

Arlojinya menunjukkan pukul 16.00.

"Dev, kesini!" Ocha dari tempat duduk bagian sisi kanan Kedai melambaikan tangannya.

"Cha, gua cuma waktu satu jam. Cukup ya?"

"Cukup. In sya Allah."

"Oke, sekarang lo ceritain ya, Dev. Gue bawa tape recorder. Barangkali di rumah bisa gue cerna lebih lanjut."

Devi mengangguk serius. Kemudian mulai bercerita. Ocha menyimak dengan serius. Sesekali mereka menyeruput chocholate hangat didepannya.

Di tengah cerita tentang lamaran yang pernah Rina tolak, Ocha memotong penuturan Devi,

"Sebentar deh. Rina bener nggak cerita sama lo soal siapa orang yang melamar dia waktu itu?"

"Iyaa, Cha. Rina nggak ngasih tau nama orangnya ke gue."

"Kayanya ini bakal jadi teka-teki, Dev."

"Kok lo bisa ngomong gitu, Cha?"

"Oke, sekarang coba lo fikir baik-baik. Setelah acara lamaran itu tentunya laki-laki tadi nggak akan secepat kilat lupa atau move on sama Rina sendiri, kan?! Coba lo fikir lagi, dari cerita lo tadi, Rina sempat bilang kalau yang ngelamar dia itu orang yang udah kenal dan deket lama sama Rina."

"Yaa, terus?"

"Siapa lagi kalau bukan.... " Ocha menghentikan pembicaraannya.

"Husss. Tolong jangan ada prasangka dulu, Cha."

"Waktu kejadian itu ada nggak ancaman dari kedua laki-laki yang bernama Rendy sama Barley itu?"

"Yaa Allah.. !!" Devi setengah kaget. Ia menepuk dahinya sendiri dengan telapak tangannya.

"Nah loh, lo kenapa deh?"

"Gue baru inget. Ocha, waktu Rina cerita, kedua laki-laki bejat itu bilang kalau Rina dan lelaki tukang sandal itu nggak akan hidup tenang lagi."

Ocha mengangguk. Seperti menelusur jauh apa maksud dari ancaman dua lelaki di metromini itu.

"Lo jadi ke rumah Rina, kan Dev?"

Devi mengangguk.

"Oke, gue ikut!" Kata Ocha sambil membereskan tas ranselnya dan bersiap menuju rumah Rina. Tape recordernya ia simpan baik-baik.

***

Langit mendung sore ini. Ruas-ruas jalan menuju Rina sekelebat mengundang air matanya. Sudah genap delapan hari gadis shalihah itu tidak nampak di pelupuk matanya.

Ia ingat Rina. Ingat saat makan ketoprak di pinggir jalan, minum es cendol, dan asik ngobrol soal project dakwahnya membuat rumah qur'an di tahun ini.

Ia akan sangat merasa berdosa sekali kalau sampai Rina hilang kabar makin lama. Baru delapan hari saja ia sudah nelangsa. Apalagi sebulan, dua bulan, setahun, dan selamanya.

Rasa bersalah rasanya menggelembung membesar di sepanjang perjalanan. Sebagai temannya saja ia sudah sekehilangan ini. Apalagi ayahnya, ibunya, dan keluarga besar Rina.

"Tiiittttt.."

Suara klakson motor Ocha di depan pos satpam rumah Rina.

"Assalamu'alaikum, Pak Bejo" Kata Ocha setelah membuka maskernya.

"Wa'alaikumussalam.. eeeh, ada mbak Ocha, ya?"

"Wah bapak masih ingat, ya. Kan saya dua tahun terakhir ke sini. Hehehe." Kata Ocha receh.

"Masih tho, mbak." Bapak separuh baya itu membuka pintu gerbang. Badannya agak kurus dan berperawakan jangkung. Wajahnya teduh sekali. Air wajahnya menggambarkan bahwa Pak Bejo memang orang berketurunan jawa asli.

"Lho, ini siapa namanya?" Katanya sambil melihatku.

"Aku Devi, Pak. Kami satu tim nasyid sama Rina di kampus."

"Oh iyaa iyaa. Bapak sering dengar dari ibu kalau Rina aktif nasyid gitu, mboh lah nasyid kui opo." Kata Pak Bejo renyah. Kami bertiga tertawa.

"Hayukkk mbak-mbaknya, monggo. Masuk."

Aku dan Ocha masuk ke halaman rumah Rina. Setelah parkir motor di garasi, ada dua sosok yang sudah menunggu kami di balkon rumah. Mereka tersenyum berdua melihat kedatangan aku dan Ocha.

"Sebentar ya, tante dan om turun!" Kata ibu Rina dari balkon.

Kami membalas senyumnya.

"Assalamualaikum." Kata kami berdua.

"Waalaikumussalam." Jawab ayah dan ibu Rina.

Setelah bersalaman denganku, beliau memelukku. Air matanya menetes. Lalu secepatnya di sapu dengan lentik jarinya.

Dengan ayahnya, kami hanya menelungkupkan tangan setinggi dada. Sebagai salaman org yang bukan muhrimnya.

Setelah memelukku, wajah beliau heran menatap wanita cantik di sebelahku,

"Hmm, ini Ocha, ya?" Kata ibu Rina sumringah.

"Iyaa, tante." Kata Ocha. Kemudian mendaratkan salam ditangan Tante Aminah.

"Yuk, masuk." Om Arif mengajak kami masuk ke dalam rumah.

Setelah duduk dan membuatkan teh hangat untuk kami, ibu Rina menggeser tempat duduknya, mulai basa-basi sana sini tentang kegiatan kemarin.

Hatiku gerimis. Dari pancaran wajah dan cara bicara orang tua Rina terlukis bahwa keduanya memang orang yang punya wibawa dan akhlak yang super bagus. Dalam kondisi begini, keduanya masih menyambut kami seperti tidak ada apapun hal serius yang terjadi. Padahal anaknya, sudah delapan hari ini hilang entah kemana.

"Maafkin aku, tante." Spontan kalimat itu keluar dari mulutku. Air mataku banjir sudah. Tidak tega melihat keduanya didepanku

Ibu Rina tersenyum sekuatnya. Suaminya menghela nafas panjang.

"Tante cuma khawatir Rina..."

Tesss..

Air mata beliau tumpah lebih deras kali ini. Beliau tidak melanjutkan ceritanya. Kedua bola mata beliau jatuh tepat di bola mata suaminya. Suaminya hanya menggelengkan kepala. Bibirnya membentuk simpul senyum yang berat.

"Masalah boleh besar. Tapi pertolongan Allah tentu lebih besar" Dengan senyum yang berat, lelaki setengah baya itu bersuara dengan suara serak.

"Aku janji akan memastikan kalau Rina akan kembali bersama kita, Om, Tante. In syaa Allah." Kataku mencairkan suasana.

Air mata yang tumpah dicukupkan detik itu juga. Tanya demi tanya di tuliskan, kasus demi kasus di kuak, lalu kemudian muncul harapan-harapan baru dari sebuah harapan yang hampir basi sebelumnya.

Mega merah memenuhi undangan-Nya. Maghrib segera datang lagi.

SETANGKAI CINTA BERBUAH SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang