#5

53 21 0
                                    

Bel istirahatpun berbunyi, aku masih sibuk dengan tugas yang diberikan Bu Winda. Sedangkan Vio sudah meenarik-narik baju ku untuk menemaninya ke kantin.

"Ihh Vio gamau, kamu ke kantin sama Erlang aja sana atau sama Doddy jangan sama aku." Balasku sambil mengeluh.

"Gamau, maunya sama kamu, mau gandeng kamu ke kantin biar kayak orang pacaran." Paksanya sambil merayu dan menarik tanganku.

"Dasar bucin. Tapi jajanin ya. " kataku.

"siap tuan puteri. Jangankan jajanin, bikin istana aja aku rela demi kamu." Rayu yang keseribu kalinya.

"Aduh iya deh pangeran kodok." Ledekku.

"Ih kok pangeran kodok, sudah bagus namaku Vio." Kelunya kesal.

"Iya, kan muka jeleknya mirip kodok sawah." Sambil menjulurkan lidah dan berlari keluar kelas.

"Awas kamu dugong akan aku balas kau." Sambil mencubit pipiku yang serupa dengan bakpau.

Aku hanya memperhatikan Vio yang sedang asik membeli jajanan untuknya dan untukku, aku membututinya dari belakang sambil menarik baju Vio dengan niat menjailinya. Karena kondisi kantin sangat ramai, pengap dan juga panas aku menyuruh Vio untuk mempercepat agar segera kembali ke kelas.

"Vio ayo, cepetan aku udah ga kuat ini." Keluhku sambil menarik Vio.

"Iya sabar ya cempreng ini dikit lagi kok." Jelasnya.

"Nih buat kamu, jangan dimakan disimpan aja." sambil memberi sebuah waffer cokelat.

"Lah kok gitu, tapikan ini enak aku juga laper." keluhku dengan muka sedih.

"Kamu gabaca itu? Beng-beng penahan rasa kangen." sambil menunjukkan tulisan pada kemasan waffer.

"Ya terus?" tanyaku penasara.

"Kamu simpen biar kalo kamu lagi kangen sama aku, kamu bisa nahan kangennya pake itu." jelas dia sambil tersenyum.

"Gamau, harus aku makan. Nanti malah mubazir." sahutku.

"Kalo kamu makan beng-beng­ itu nanti kangennya pindah keperut. Emang mau perutnya buncit kayak zombie emak-emak dimimpi aku?" berusaha menakut-nakuti.

"Gapapa, biar aku jadi gendut. Terus kamu jadi ga suka sama aku deh." abaiku dengan perkataannya.

"Lah, aku mah kan mencintai kamu apa adanya." sambil menggoda dan kembali menggenggam tanganku.

Kalahlah aku kalau beradu bibir dengan dia. Lalu sampai kapan aku menyimpan cemilan kemasan darinya ini. Sampai onta punya sayap bidadari, hah?

Terlalu sering aku berhadapan dengannya, menatap mata coklatnya itu sebangku dengannya dan mengunjungi rumah dia yang hampir setiap hari aku singgahi. Benar kata ayahku, bisa karena terbiasa. Dan sekarang terbukti, aku dengan dia bisa tumbuh rasa cinta, yang awalnya kami sama-sama yakin bahwa kita tidak akan bisa untuk saling bertukar rasa. Namun semesta mengelak, Vio terus menghantui pikiranku dan memenuhi ruang hatiku. akankah Vio menjadi pengobat luka hati ini dan memunguti satu persatu serpihan hati yang telah rusak sejak lama.

"Via, apakah kamu suka senja?" tanya dia sambil mengunyah makanan yang ia masuki ke dalam mulutnya.

"Enggak." Jawabku.

"Lah bukannya banyak orang yang bilang kamu suka senja? tanyanya lagi.

"Siapa yang bilang?" balasku heran.


"Ada pokoknya, seseorang yang menjadi bahan untuk mecari tahu tentang dirimu." jawabnya dengan senyummanis tipis.

"Biar apa kamu tanya ini kepadaku?" tanyaku heran.

"Biar..." jawabnya dengan nada panjang.

"Biar kelihatan puitis? Romantis?" tebakku.

"Biar kelihatan suka senjalah. Repot!" balas dia sewot.

"Dih... dia kesal, hahaha" sambil menertawakan dan menatap ke arahku lama.

"Abis kamu nggak ada seru-seruya. Jadi cowok aneh banget." berpuura-pura untuk kesal padanya.

"Aku nggak suka senja. Aku lebih suka dengan siapa aku menikmati senja." sambil mennatap kearahku dan menggenggam tanganku.

Perempuan mana yang tidak salah tingkah dirayu dengan kata-kata indahnya itu. Termasuk aku yang terlanjur nyaman dengan cibiran dan celotehannya setiap hari.

ᴄᴇɴᴅᴀʏᴀᴍWhere stories live. Discover now