Diani minum cappuccino yang belum lama ia beli sementara Radina duduk melamun.
“You don’t know her,” kata Diani.
“Yeah, you’re right about it. Who the hell is he?” kata Radina.
“So you’re curious about him? Envy?”
Radina langsung duduk dengan tegap.
“I just wanna know...” kata Radina, menyingkirkan kegugupannya.
“You’re curious about him, how about Nalani’s family? Do you know them well?”
“How could I know?”
“I will tell you since you will be my bestfriend’s husband!”
Diani mulai bercerita mengenai Nalani, dimulai dari keadaan keluarganya. Sebenarnya Nalani berasal dari keluarga yang tidak bisa dibilang berkecukupan. Ayah Nalani bekerja sebagai sales sementara ibunya kerja di pabrik.
“Apa lo tau kalau Nalani kembar?” tanya Diani.
“Kembar? Twins?” Radina terkejut mendengarnya.
“Yeah, twins. His name is Narafi.”
Radina yakin kalau ayahnya tidak akan tahu mengenai hal yang satu ini.
“Lo tega ya, bahkan lo aja gak tau kalo calon istri lo itu punya kembaran,” kata Diani.
“Dia gak pernah bilang,” kata Radina.
“Lo gak pernah nanya.”
“Keluarganya gak pernah ada yang nanya kabar Nalani.”
“Nalani bisa langsung ngelahirin kalau orang tuanya nanyain kabarnya dari kemaren-kemaren!”
“Sekarang mereka ilang.”
“Mereka orang tua paling gak berperasaan, lebih gak berperasaan daripada orang tua gue yang cerai karena ego masing-masing.”
Orang tua Nalani adalah orang tua yang pilih kasih, mereka lebih memedulikan Narafi daripada Nalani. Sejak kecil, Nalani sudah diintimidasi oleh kedua orang tuanya. Narafi tampan dan pintar, sementara Nalani biasa saja dan tidak aktif. Nalani terlantarkan karena perhatian kedua orang tuanya yang selalu menuju pada Narafi, apalagi kesehatan Narafi yang cukup mengkhawatirkan. Sedari TK, Nalani dan Narafi tidak disekolahkan di sekolah yang sama, Narafi di sekolah yang berkualitas sementara Nalani di sekolah yang biasa saja. Saat Nalani mulai mengerti akan keadaan, ia mempertanyakan perbedaan itu pada kedua orang tuanya dan dijawab dengan jawaban yang mudah: bakat Narafi lebih perlu dikembangkan daripada Nalani. Nalani yang pas-pasan tidak bisa melakukan apa-apa karena kedua orang tuanya memang memperlakukannya lebih keras daripada Narafi. Sebagai pengganti rasa ketidakpuasan atas sikap kedua orang tuanya, Nalani belajar keras saat SD agar bisa masuk SMP yang sama dengan Narafi. Nilai UN Nalani memuaskan, meski hanya selisih 0,2 poin dari nilai UN Narafi. Ia bisa masuk sekolah cluster 1 bersama dengan Narafi tapi...
“Orang tua Nalani gak ngizinin karena gak bisa bayar sekolah untuk mereka berdua. Orang tuanya cuma bisa ngebiayain salah satu aja. Mau gak mau Nalani yang ngalah dan dia pun masuk sekolah yang sama kayak gue,” kata Diani.
“Sama lo?” Radina bingung, Diani kan...
“Gue milih sekolah negri kacangan biar bisa lebih bebas,” kata Diani.
Radina mengerti keadaannya sekarang.
Diani melanjutkan ceritanya. Meski sekolah negri, biaya sekolah masih memberatkan orang tua Nalani sehingga Nalani mulai bekerja di tetangganya. Narafi masuk kelas RSBI yang memerlukan biaya tinggi, belum lagi uang jajan dan ongkos sekolah. Nalani hanya diberi uang jajan yang pas-pasan sehingga terkadang ia tidak bisa jajan di sekolah karena uangnya harus ia pakai untuk membeli buku. Diani sendiri awalnya tidak tahu kalau Nalani mengalami kesulitan finansial karena ia tidak banyak bicara dan begitu sekolah bubar maka ia pun pulang ke rumah. Diani tahu kalau Nalani bekerja karena ia main ke rumah tantenya yang merupakan pengusaha katering dan melihat Nalani yang sedang mengupas kentang.
KAMU SEDANG MEMBACA
faster than a wedding
RomanceNalani Lituhayu, gadis yang baru saja memasuki masa SMA-nya harus kehilangan mimpinya karena hamil di luar nikah. Radina, ayah dari kandungannya, meminta Nalani menggugurkan kandungannya namun ayah Radina menolak tindakan itu mentah-mentah dan mengi...