Hujan di Penghujung Rindu (Part 1)

65 5 0
                                    



"Sayang, kapan pulang?"

Pertanyaan itu meraung-raung diingatan. Membuat pikiran jadi kelayapan. Seharusnya, aku tidak perlu terlalu memikirkannya. Pertanyaan seperti itu sudah menjadi konsumsi harian anak rantau, bukan? Namun kali ini tidak seperti biasanya. Rasa-rasanya aku ingin menyudahi semua kegiatan ini. Aku ingin cepat-cepat pulang, meluapkan rasa rindu yang sedari tiga bulan lalu berhamburan keluar. Aku ingin segera didekatnya. Memeluk ia. Lelaki yang paling aku cinta, yang kini sedang terkulai lemas tidak berdaya. Ia cinta pertamaku. Seseorang yang paling aku rindu.

Pikiranku semakin mengembara jauh. Semakin jauh meninggalkan pembahasan materi yang sudah 1 jam lamanya menyentuh telinga kanan namun bergegas keluar telinga kiri. Pagi ini, aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi.

"Ahh.. kalau aja kegiatan pesantrenisasi ini bukan program wajib perkuliahan, mungkin aku sudah kabur dari sini," gerutuku dalam hati.

Sudah dua hari aku meninggalkan kosan dan beralih ke asrama ini. Kegiatan sehari-hariku pun sudah seperti santriwati. Bangun sebelum subuh, tidur pun sebelum subuh. Kami harus bangun pukul 3 pagi untuk melaksanakan sholat tahajud. Lalu setelah subuh, kami bertadarus dan menyetor hafalan juz 30. Lalu setelah mandi dan sarapan, kami harus segera ke kelas untuk mendengarkan materi dari dosen selama kurang lebih 4 jam. Setelah itu ishoma. Lalu lanjut lagi dengan kajian keagamaan hingga Asar. Setelah itu kegiatan lagi sampai pukul 11 malam. Dan malangnya, kami selalu tidak bisa tidur sebelum jam dinding menunjukkan pukul 00.00 ke atas.

Rasa-rasanya, raga dan pikiranku benar-benar lelah mengikuti serangkaian kegiatan yang diwajibkan bagi seluruh mahasiswa baru di universitas ini. Ditambah lagi beban rindu pada kampung halaman yang mencekik habis-habisan. Ahh seandainya aku bisa segera keluar gerbang dan bergegas pulang. Tapi ternyata prinsipku masih saja seperti dulu, saat SMA. Masih selalu mementingkan akademik lebih dari segalanya.

Aku benar-benar tidak akan pulang sebelum seluruh kegiatan pesantrenisasi ini dinyatakan selesai. Dan barangkali, itulah yang membuat palungku semakin terisak karena ditampar oleh rasa bersalah akibat menolak pulang.

"Tapi aku nggak bisa pulang hari ini. Aku bener-bener nggak bisa pulang sebelum semua urusanku selesai!"

Begitu kataku di telepon semalam, yang membuat perempuan di seberang seketika menarik napas panjang. Aku tahu perempuan tangguh itu kecewa. Namun mau bagaimana lagi? Aku benar-benar tidak bisa pulang.

"Maafin Ima buk! Ima yakin, beliau akan cepet pulih. Biasanya kan juga nggak pernah lama di RS nya," kataku mengakhiri perbincangan jarak jauh di malam yang sendu itu.

"Heh Ima! Bengong aja dari tadi!"

Sinta menyenggol pundakku. Lamunanku seketika terhenti.

"Kamu tuh diperhatiin terus sama Bapaknya dari tadi. Ati-ati! Ntar di akhir sesi kamu ditunjuk loh. Suruh ngejelasin ulang. Mau?" katanya lagi.

"Hah..? iya iya.." kataku, sembari mengatur posisi dudukku.

Aku menghela napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Pandangan yang sedari tadi kabur, segera kukendalikan untuk kembali fokus ke depan, ke arah sumber suara. Ternyata beliau masih menjelaskan materi tadi dengan tampilan power point yang semakin menarik, namun tidak membuatku tertarik. Aku mengamati beliau dengan seksama. Mencoba mendengarkan apa yang beliau utarakan, namun pikiran terasa sulit mencerna. Lalu aku menjadi tertarik memandangi parasnya yang meneduhkan. Usia beliau sudah berkepala lima, namun masih terlihat bersahaja. Ahh aku jadi galau lagi. Perangai dan wajahnya yang meneduhkan mengingatkanku pada sosok lelaki yang sedari kemarin menghujani pikiranku. Lagi-lagi aku jadi ingin pulang. Ingin segera membantu Ibu untuk merawatnya.

Diary FathimahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang