Catatan Pertama: Selepas Kau Pergi

30 1 0
                                    

Tertanggal, 22 Maret 2015 Pukul 23:51


Ayah, izinkan aku untuk sejenak bercerita. Aku ingin bercerita tentang petualanganku selama tiga bulan terakhir tanpa dirimu. Aku ingin engkau tahu segala hal yang telah putri kesayanganmu ini alami selepas kau tiada.

Ayah, saat ini, saat jemariku mengetik tombol demi tombol milik si keyboard lusuh ini, sebenarnya mataku tengah berkaca-kaca. Hatiku seperti tersambar awan pekat tak berwarna. Apa kau tahu mengapa? Mengapa mataku berkaca-kaca? Mengapa hatiku meronta-ronta? Apa kau tahu mengapa? Semua ini karenamu, Ayah. Karena rinduku yang meronta-ronta padamu. Aku, teramat merindumu. Tiga bulan lamanya telah kuarungi hidup tanpa dirimu, tanpa jiwamu, tanpa kasih sayangmu, tanpa nasehat bijakmu, tanpa bara dukunganmu, tanpa amarahmu yang kau lontarkan tiap kali aku tersesat, tanpa rangkulan hangatmu ketika aku mulai menyadari sebuah kesalahan, tanpa jabatan tanganmu yang sering kali membangkitkanku ketika jiwaku berada pada keringkihan, tanpa waktu dan segalanya yang telah kau korbankan hanya untuk si gadis nakalmu yang tak tahu diri ini. Aku rindu. Sungguh ku katakan aku merindumu! Aku rindu saat-saat bersamamu.

Kau tahu? AKU TERAMAT KEHILANGANMU. Aku kehilangan sosok lelaki paling berharga dalam hidupku. Sosok lelaki yang selalu menjadi pelindung dalam setiap napasku. Sosok lelaki yang tidak pernah mengecewakanku. Pun sosok, sosok yang... ahh sampai kapanpun tiada yang bisa menggantikanmu. Kini aku tersadar, bahwa tiada yang dapat menandingi kasih sayangmu, tiada perhatian yang lebih tulus dari perhatianmu, pun tiada pengorbanan yang lebih agung dan mulia selain pengorbananmu.

Sehari, dua hari, tiga hari, dan bahkan sampai detik ini keluarga kecilmu ini masih tertatih karena rindu kami yang tak berujung padamu. Terlebih ketika aku tak sengaja menyaksikan ibu sedang menangis tersedu karena belum terbiasa hidup tanpamu. Juga ketika si adik bungsu berpolah super nakal hingga membuat ibu kewalahan menghadapinya.

Ah, tapi aku tak akan mengulasnya di sini. Aku tak ingin memamerkan kerapuhanku di hadapanmu. Aku tak ingin menceritakan hal-hal yang akan membuatmu semakin khawatir karena telah meninggalkan kami. Sebab Tuhan yang telah memanggilmu, dan aku yakin sekarang kau sudah bersahaja di surgaNya dan terbebas dari rasa sakit yang kau derita selama hidup di dunia fana ini. Kini, dengan jiwa yang tak lagi cengeng, putri ini akan bercerita, bahwa selepas kau pergi ada berjuta makna yang telah kuperoleh sehingga bisa menjadikanku sekuat baja seperti saat ini. Ketahuilah Ayah, putrimu yang tak tahu diri ini bukanlah putri manja yang kau kenal dulu. Aku telah berubah, dan tak lagi sama seperti dulu. Aku bersyukur sebab di balik kepedihan ini Tuhan mengajariku banyak hal.

Sekarang aku mengerti apa makna dari sebuah KEIKHLASAN. Aku telah merasakan betapa pahitnya tersiksa karena kehilangan orang tersayang. Dan keikhlasanlah obat terampuh dari pahitnya rasa sakit. Ya, hanya satu obatnya, IKHLAS. Ikhlas merelakan kepergian orang tersayang, ikhlas menerima kenyataan menyakitkan, ikhlas mencicipi bumbu tak sedap dalam kehidupan, dan tentunya ketika kita telah mengenal tentang hakikat sebuah keikhlasan kita akan terbebas dari segala bentuk kekecewaan dan rasa ketidakpuasan.

Lalu aku pun memahami betapa nikmatnya BERSYUKUR ketika kecewa. Betapa berharganya waktu yang telah kubuang sia-sia, betapa berharganya kebersamaan yang telah lalai kujaga, betapa banyaknya kenikmatan-kenikmatan yang membanjiri hidupku tapi tak sempat kusyukuri, dan setelah setitik kenikmatan saja Ia hilangkan dari hidupku, aku baru menyadari betapa berharganya ia. Di situlah Tuhan mengujiku. Ia ingin tahu seberapa kecewanya aku karena kehilanganmu. Seberapa marahnya aku menghadapi takdir pahitNya. Dan apakah aku mampu bersyukur dan mengambil bermilyaran hikmah di dalamnya. Ya, sang waktu telah mengajariku tentang betapa pentingnya bersyukur sebagai penawar rasa kecewa. Dan dengan setulus-tulusnya hati, 'Kini aku bersyukur kepadaMu duhai Tuhanku! Sebab Engkau telah menguatkanku melalui berbagai ujian yang telah kau beri.

~Sebab pada akhirnya, manusia akan bersyukur tiada henti atas kegagalan/kekecewaan yang pernah ia alami. Kapan? Ketika badai dahsyat melanda, dan ia masih tegap berdiri~

Lalu aku pun semakin terkagum dan tercengang, setelah menyadari betapa dahsyatnya KASIH SAYANG seorang IBU. Betapa hebatnya ia, betapa berharganya ia, dan betapa tulusnya kasih sayangnya. Kini aku merasakan kehebatan kasih sayangnya, jauh berlipat-lipat ganda lebih besar setelah kepergianmu. Barangkali aku baru menyadarinya karena dulu masih ada dirimu sebagai tumpuan keduaku. Kau harus tahu, Ayah! Sungguh, istrimu itu teramat luar biasa. Luar biasa ketangguhannya, luar biasa ketabahannya, dan luar biasa kepandaiannya dalam memimpin keluarga kecil ini tanpa dirimu. Jadi tak usah cemas, sebab kau telah menitipkan kedua putrimu ini dengan seorang perempuan yang tepat dan sangat luar biasa hebatnya.

Aku terharu, Ayah. Aku terharu tiap kali aku mengenang jerih payah istrimu itu. Padahal aku tahu bahwa di dalam jiwanya masih ada luka yang menganga pasca kepergianmu. Tapi ia tak pernah memperlihatkannya kepada kedua putrinya. Ia menyimpan keluh kesahnya rapat-rapat. Ia tak mau membagi kesakitannya padaku, juga pada putri bungsumu. Ia terlihat sangat tegar di hadapan orang-orang yang berlalu lalang, tapi aku tahu persis bahwa batinnya masih merintih kesakitan. Hmm.. mungkin dengan cara itulah ia mengajari kami untuk menjadi wanita tangguh dan penyabar.

Ayah, aku tidak tahu bagaimana diriku harus membalut luka bersama dengan Ibu. Yang kulalukan hanyalah mendekapnya erat dan mengatakan, "Aku menyayangimu bu! Kesedihanmu adalah kesedihanku pula, maka berbahagialah, agar kedua putrimu juga bahagia." Hanya kata-kata itu yang kerap kali kulontarkan pada ibu, karena aku tak sanggup lagi menahan air mataku bila aku harus melontarkan satu kalimat lagi. Rasa-rasanya lidahku kelu dan bibirku membisu. Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku yang masih terlalu cengeng. Maka sudilah bertamu ke dalam mimpiku, agar kita dapat berbincang-bincang bersama. Dan kumohon, ajari aku bagaimana cara untuk menjadi seorang anak yang berbakti.

Bukan hanya itu, Ayah. sebenarnya banyak sekali pelajaran berharga lainnya yang telah ku petik dari kejadian ini. Hanya saja, kurasa untuk saat ini cukup sepucuk kisah singkat ini yang ingin kuceritakan padamu. Sebab kuyakin, di alam sana engkau pasti selalu memantauku dan mengetahui segala perubahan yang ada pada diriku. Meski tak seberapa, meski masih belum bisa menjadi putri kebanggaanmu, tapi kuyakin di alam sana engkau pasti tersenyum melihatku bisa mengusap air mata kepiluan dengan tanganku sendiri. Maafkan aku. Aku berjanji akan berjuang untukmu, untuk ibu, juga untuk putri bungsumu. Setidaknya, aku akan terus berusaha entah dengan cara yang bagaimana agar di hadapan Tuhan engkau tidak malu mengakuiku sebagai putrimu. Dan kumohon, sampaikan pada Tuhan agar Ia senantiasa membimbing kami pada kemuliaan. Menopang kami agar selalu tegar dan penyabar, hingga kelak kami akan menjadi seperti yang engkau harapkan.

Ayah, cukup sekian. Thanks for every moments we spent together. I'll be missing you until the end of time.

Salam rindu dariku,

Putri kesayanganmu.


#Grasindostoryinc

Diary FathimahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang