BAB 3

12.3K 617 7
                                    

"Rev? Kamu kenapa nangis?" tanyaku panik saat mendapatkan Reva yang sedang menangis sembari memegang ponselnya.

"Lah? Kamu kenapa Reva?" Ghea ikutan panik saat telah menyadari bahwa Reva sedang menangis.

"Huhu... Gisel sama Gading mau cerai! Kasihan Gempi 'kan? Gue jadi sedih!" Reva menjawab dengan tangisan yang sesegukan.

Aku dan Ghea langsung saling bertatapan. "INGINKU BERKATA KASAR!" aku berteriak seraya melemparkan guling milik Ghea ke arah Reva asal, sedangkan Ghea hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Pasalnya, seorang Revana Aulia, perempuan yang terkenal sangar, selalu nyolot, dan ngga bisa lembut, nangis hanya gara-gara menonton kabar keretakan rumah tangga artis! Ngga tau lagi, deh!

"IIIIIH KIA!!!! Lagi sedih juga!"

"Kamu bisa nangis juga ternyata," suaraku terdengar seperti sedang mengejek.

"Lo pikir gue ngga punya hati, apa?" cibir Reva gantian melempar guling Ghea kearahku.

Kostan Ghea sudah menjadi markas kami bertiga, alasannya karna diantara kami bertiga yang ngekost hanya Ghea seorang, dan kostan dia lumayan dekat dengan kampus kami. Hanya memerlukan waktu lima menit dengan berjalan kaki lewat jalan belakang kampus.

Sebenarnya, aku sangat ingin ngekost. Tapi, berhubung aku adalah anak satu-satunya jadi Mama tidak mengijinkan, padahal jarak rumahku dengan kampus lumayan jauh. Butuh waktu dua puluh menit menggunakan motor. Sebenarnya, sih, tidak sejauh itu. Tapi, beginilah kehidupan Jakarta adanya.

"Ghe, lo tadi ngobrol sama dosen baru itu? Gue tadi denger dari si Salsa anak kelas C. Katanya dosen baru itu nyari, elo?" Aku bisa melihat Reva mengerutkan alisnya, namun seperti tertarik dalam pembahasan ini yang sesekali menyuapkan sendok berisi seblak yang kami beli tadi.

"Pak Reyhan maksud kamu?" Saat aku melihat ekspresi Ghea, dia terlihat biasa saja. Sepertinya tidak ada hal yang penting. "Dospem satu aku 'kan Prof. Heri. Kalian tau sendirilah beliau sibuk banget. Selama ini, aku bimbingan bareng Bu Midah terus. Nah, hari ini Bu Midahnya keluar kota dadakan gitu, jadi aku di panggil Pak Reyhan."

"Hah? Ga mudeng gue." Reva mengerutkan kedua alisnya, ini anak giliran gosip artis yang berbelit-belit aja ngertinya sampe ke akar-akar. "Terus ngobrol apaan dong sama dia? Ganteng banget emang, Ghe?" Giliran ganteng aja mata Reva berbinar-binar. Coba kalo bahas materi kalkulus turunan, kalkulus integral, kalkulus dua peubah, teori bilangan, analisis real, dan kawan-kawannya, udah muntah duluan.

"Kepo amat, sih, Rev!" celetukku sedikit ketus. Sebenarnya itu hanya alibi agar wajah tegangku tak terlihat. Jika jujur, akupun sama penasarannya. Aku saja belum pernah dicariin Pak Rey kalau di kampus. Keduluan Ghea.

Ghea mengeluarkan setumpuk kertas. "Dia cuma ngasih kertas-kertas skripsi yang dititipin sama Prof. Heri, katanya buat referensi." Reva dan aku hanya mengangguk-ngangguk. "Terus, dia nanyain soal beberapa waktu lalu itu lho, Ki! Waktu kejadian kamu nabrak dia!" Ghea mengguncangkan lenganku, menyuruhku mengingat masa-masa kelam itu.

"What? Kapan si Kia nabrak dosen?" Reva memekik kaget namun di akhir dia tertawa terbahak. Menyebalkan. Aku hanya bisa mendelikkan mataku. Itu memang hal terbodoh dari semua kebodohan-kebodohan yang sudah aku lakukan. Aku tahu! "Ya allah, perut gue sakit! Ngakak bener gue bayanginnya. Terus-terus, dia ngomong apa, Ghe?"

"Ya dia memastikan aja kalo aku itu orang yang waktu bareng mahasiswa yang nabrak dia atau bukan. Terus dia nanyain Kia deh!" jelas Ghea yang sedang mengunyah kwetiau mengundang magnet berisikan penasaran dari diri Reva.

Reva membelalakkan matanya. Tak percaya. "Asli, Ghe? nanya ini bocah? Dalam rangka apaan? Mau balas dendam?" Mata sipit Reva mengarahku, "mampus lo Ki, mana dia jadi dosen alin, elo! Terus kalo lo dapet nilai alin C lagi, gimana? Percuma dong ngulang! Gue bilang kalkulus aja, juga!" Reva terus nyerocos membuat aku ingin menoyor kepalanya!

EUPHORIA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang