Prolog

32 2 1
                                    


Salju tak lagi turun, menyisakan gumpalan es bagai awan putih yang berserakan di
sepanjang trotoar jalan. Dengan mengenakan woolen coat cokelat muda aku berjalan dengan satu
tangan kanan menyeret koper besar yang terpaksa mengikuti langkahku di belakang. Kubiarkan
syal merah yang melilit leherku bertengger hingga menutupi bibir, namun udara dingin tetap saja
menembus pori-pori wajahku. Sampai langkahku berhenti di sebuah toko kue yang memajang
aneka cake dengan bentuk dan aneka rupa yang menggoda. Aroma manis merasuk ke lorong
hidungku, kedua mataku lalu tertuju pada mini cake ulang tahun berwarna merah muda di balik
etalase. Saat pelayan menanyakan kue apa yang ingin kupesan, sontak jari telunjukku mengarah
pada mini cake yang lengkap dihiasi sebuah lilin kecil di atasnya itu. Aku pun kembali melanjutkan
langkahku setelah mengantongi sekotak kecil kue ulang tahun ke dalam goody bag yang baru saja
kubeli.
Dingin mencapai minus lima belas derajat celcius. Suasana hatiku turut membeku,
sebeku saat mataku menangkap sosok kebahagiaan keluarga kecil Russian yang tengah berjalan
berseberangan denganku. Tampak seorang Ayah, Ibu dan kedua putra putrinya yang masih belia
asyik berjalan bersama. Sang Ayah menggendong putranya yang masih balita, sementara sang Ibu
menggandeng tangan mungil putrinya yang berusia sekitar tujuh tahun. Sepasang suami istri itu
terlihat saling menatap penuh cinta, bercengkrama sambil tertawa bersama buah hati mereka.
Alam bawah sadarku membawaku di masa itu, masa di mana kedua orangtuaku begitu
harmonis sampai aku berusia sembilan tahun. Aku berusaha menyatukan kepingan puzzle satu per-satu yang menggambarkan bahagianya masa kecil itu. Masa di mana keluarga kecil itu masih
utuh, keluarga yang di warnai cinta dan kasih sayang. Tempat di mana aku melihat Mama dan
Papa masih mengikat janji suci, setia sampai maut memisahkan. Namun kepingan puzzle itu
hancur seketika saat kusadari itu hanyalah memori yang hanya tersimpan dalam sebuah album
yang di hiasi debu. Aku harus menerima realita yang harus aku hadapi, dan hari inilah kenyataan
pahit itu akan menjadi tujuan dari perjalananku selanjutnya.
Sepanjang jalan aku menelusuri trotoar yang di penuhi salju, merapatkan coat yang
kukenakan. Napasku menyembul ke udara, bak asap putih yang beku meluncur dari rongga
mulutku. Pikiranku menerawang jauh, haruskah aku pulang ke Indonesia setelah apa yang telah
terjadi pada keluargaku, apakah aku mampu menghadapinya kenyataan pahit itu?
Kurasakan getaran ponsel dari dalam tasku, kubuka layar ponsel ada pesan singkat dari
Daniel.

“Hi dear, aku usahakan akan menjemputmu saat tiba di Jakarta nanti. Have a safe flight..”

Aku berdengus, setelah setahun menjalani long distance relationship lelaki hectic itu
hanya bisa mengirimku pesan singkat akan ‘mengusahakan’ menjemputku disela kesibukannya
sebagai CEO. Aku mengerti, aku tidak lebih penting dari pekerjaannya. Oleh sebab itu Daniel tidak
keberatan saat aku memilih melanjutkan study di State University of Arts, Moskow-Rusia.
Mungkin ia jauh merasa bebas mengelola bisnisnya tanpa meluangkan waktu denganku.
Aku pun menepuk dahiku sendiri, Ya Tuhan.. untuk apa aku memutuskan kembali ke
Indonesia sementara mereka tak memperdulikanku. Aku bergulat dengan perasaanku sendiri,
sampai sebuah taksi berhenti di bahu jalan. Dengan penuh keraguan aku masuk ke dalam taksi,
sementara sopir memasukan koper besarku ke dalam bagasi.

“Kuda ty khochesh’ poyti?” tanya sopir, mulai mengemudikan taksinya.

“Domodedovo aeroport.” Jawabku, memandang ke luar jendela mobil penuh hampa.

Di lubuk hati yang terdalam, ada keraguan meninggalkan Moskow. Tempat asing di mana setahun
terakhir aku mengasingkan diri dari segala masalah yang ada, dan kini harus kembali kuhadapi.

Sains Fiction MR. MARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang