Wish Nothing

7 0 0
                                    


“Rumah bisa menjadi Surga,
Rumah juga bisa menjadi Neraka”


“Happy Birthday.......!!!!” Mama menyambut kedatanganku saat baru saja menginjakkan
kaki di kediaman kami. Sontak kuhempaskan tubuhku ke dalam pelukannya, merasakan hangat
tubuhnya yang menyibak aroma parfume Paris. Kuluapkan segala kerinduanku dalam
dekapannya, pundaknya menopang daguku menikmati belaian tangannya setiap helai rambutku.
Kemudian pandanganku mengarah pada lelaki berambut jarang, berkacamata tebal dengan tubuh
tambun melangkah kearahku dengan garis senyuman dibalik kumis hitam pekatnya. Kulepaskan
pelukan Mama, tak melepaskan pandangan tajam kearah pria matang yang telah mendampingi
Mama selama setahun terakhir ini. Ku melangkah masuk ke dalam rumah megah yang menjadi
saksi kebahagiaan keluarga utuhku dulu, tanpa menggubris uluran tangan lelaki yang telah
mengambil posisi Papa kandungku itu.

Sebuah kue ulang-tahun lengkap dengan hiasan lilin tersaji diatas meja persegi. Mama
begitu antusias memintaku meniup lilinnya, wajahnya begitu bahagia, bahkan kebahagiaan itu tak
pernah terlintas selama ia masih hidup bersama Papa dulu. Aku hanya bisa memandang pasrah
melihat suami baru mama melingkarkan tangannya yang dipenuhi bulu-bulu lebat itu kepinggul
berlemak Mama.

“Valerie... putriku sayang... Selamat ulang-tahun!” suara memekik dari pintu masuk
menggema.

“Papa...” sahutku penuh semangat, namun punggungku sekejap dingin membeku
melihat sosok wanita muda nan cantik menggandeng mesra Papa. Bahkan wanita yang telah
diperistri Papaku itu usianya terbilang sebaya denganku.

“Tak ada yang mengundangmu ke sini?” gertak Mama berusaha menghentikan langkah
Papa yang mendekat ke arahku.

“Aku hanya ingin bertemu putriku!” sahut Papa, tak mau mengalah. Kupasrahkan Papa
memelukku melepas kerinduan.

“Ayo tiup lilinnya,” seloroh Brayden. Anak itu sama sekali tak punya perasaan. Brayden
tak pernah ambil pusing keputusan Mama dan Papa menikah lagi, bahkan dia menikmati
bertambahnya anggota baru dalam keluarga yang hancur ini. Aku bergumam dalam hati, tak ada
satupun orang yang memahami perasaanku.

“Aku tidak membutuhkan lilin-lilin ini!” kulepaskan lilin-lilin dari kue, lalu aku
tenggelamkan ke dalam segelas air. Aku tak punya harapan lagi, semua sudah terjadi tak sesuai
impianku. Pesan Lyra di kabin pesawat kembali mengingatkanku, bahwa setiap tahun aku selalu
berharap untuk kebahagiaanku sendiri, kebahagiaan yang tak pernah aku raih sampai kini. Namun
bagaimana aku bisa berharap untuk kebahagiaan sesama manusia dan alam semesta. Aku
mencoba mencerna kembali perkataan wanita misterius itu.

“Kamu sudah merusak ulang-tahun Valerie, Ronald Abinaya!” Mama mulai menabuh
genderang perang.

“Pergi dari sini!” Mama mulai mengusir Papa keluar, tiba-tiba Biyan istri muda Papa mengeluh sakit bagian perutnya. Seluruh keluarga tampak panik.

“Istriku hamil, kamu membuatnya shock!” kini Papa menyalahkan Mama. Herannya,
Mama ikut membantu Papa memboyong istri mudanya itu sampai ke kamar tidur. Tak bisa
dipungkiri masih ada kecemburuan pada air muka Mama, namun ia mengalihkan perasaannya
dengan menampakkan kemesraan dengan suami barunya –Om Haris- dihadapan Papa. Begitu
juga dengan Papa yang menunjukan kasih sayangnya pada istri mudanya itu dengan memberinya
tegukan air pada wanita yang lebih pantas menjadi putrinya itu. Sungguh pemandangan yang
memuakkan!

“Berapa bulan kandungan istrimu?” tanya Mama pada Papa, bernada rendah.

“Tiga bulan,” pungkas Papa, menunjukan perhatian pada istri mudanya yang jarang
dilakukannya pada Mama dulu.

“Beberapa minggu ini aku juga sering mual sayang..” Mama mulai menunjukan
kemesraan dengan suaminya. Lagi-lagi untuk membuat Papa sakit hati.

“Kalau kamu mual gara-gara masuk angin!” sahut Papa menyulutkan kembali api
kemarahan Mama yang baru saja padam.

“Hey dari mana kamu yakin wanita perebut suami orang itu adalah anakmu! Lagian Kamu
bukan laki-laki ‘Jantan’ bagaimana mungkin kamu bisa menghamilinya!”

“Jangan mengalihkan kenyataan, kamu iri kan? Lihat dirimu, bahkan kamu sudah
menopouse!” pernyataan Papa mulai membuat suami baru Mama naik pitam, lantas menyeretnya
keluar rumah. Memalukan, gumamku.
Aku dan Brayden bagai anak tak berguna hanya terpaku
melihat mereka bertengkar sengit karena dilema harus membela siapa dari sikap teritorial
orangtua kami. Parahnya lagi, Brayden merekam seluruh kejadian itu dengan Handycam
pribadinya dan tak henti tertawa terbahak-bahak. Dunia sudah gila! Aku berlari menyusuri anak
tangga ke lantai atas masuk ke dalam kamarku.

Matahari mulai masuk melalui celah jendela kamar dengan tirai terbuka. Aku terbangun
dari tempat tidur, berharap yang telah terjadi hanyalah mimpi buruk saja. Selesai mandi aku
kembali mengangkat koper besar -yang sengaja tak aku bongkar- lalu turun menyusuri tangga.
Rumah tampak sepi, aku melongok kembali ke meja makan persegi tampak beberapa boks kado
tergeletak tak terjamah olehku. Mereka telah memberikan aku kado terburuk sepanjang umurku,
rasa penasaran akan isi kado itu seketika sirna.

Decit suara pintu yang kubuka perlahan tak membuat Brayden bergeming. Tampak mulut
adik lelakiku itu terbuka, mengeluarkan suara dengkuran. Tangannya masih mengenggam
Handycam, pertunjukan yang ‘menghibur’ semalam suntuk sukses membuatnya kelelahan.
Pandanganku lalu tertuju pada kunci mobil yang dibiarkan tergeletak diatas meja disudut tempat
tidur. Kulangkahkan kaki tanpa suara, meraih kunci mobil itu lalu segera pergi dari rumah itu.

Sains Fiction MR. MARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang