Rangga : Sejatinya Hati Seorang 'Penjahat'

27 0 0
                                    

Dialah Raden Rangga Triasiswaya Wilaga, nama yang terlalu agung untuk seorang playboy. Katanya sih keturunan raja-raja sunda dari garis Prabu Siliwangi, oh sungguh, aku turut berbela sungkawa pada Prabu Siliwangi karena memiliki keturunan sepertinya. Tapi mau bagaimana lagi? Karena Prabu Siliwangi pun pernah memiliki skandal masalah wanita di masa lampau, yakni sejarah penculikan Ratu Harisbaya yang merupakan isteri dari Raja Cirebon. Mungkin pesona memikatnya bisa juga memang bersifat genetis, tapi kurasa perilaku menyebalkan itu dialah yang membentuknya sendiri.
Anak basket ketika SMA, namun saat kuliah lebih suka bulu tangkis, intinya suka olahraga namun tidak pernah main sepak bola. Kulitnya putih susu sangat bersih seperti porselen cina, tinggi seperti tiang listrik, haha aku mulai berlebihan menceritakanya. 187 cm, si leher panjang itu kebetulan memiliki bentuk wajah yang agak oriental dengan bibir manis berwarna kemerahan. "Innocent", dia terlihat lembut dari kejauhan, namun sedikit saja dia membuka mulutnya, sangat mesum dan menyebalkan, itulah kesan dari kebanyakan orang tentang dia. Laki-laki itu, entah sejak kapan perangai buruk dan sifat mata keranjangnya terbentuk. Lahir dari keluarga semi militer dan tinggal di kompleks angkatan darat, mengapa bisa pemuda setampan itu sangat cakap saat berkata kotor?. Usut punya usut, ibunya seorang guru yang amat lembut dan memanjakanya. Dia juga adalah anak bungsu dari 3 bersaudara, kedua abangnya sangat menyayangi dia. Oh, mengapa seorang permata dari keluarga baik-baik bisa memiliki hati yang keras?. Saat itu aku merasa yakin bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya, sifat yang bertolak belakang dari kebiasaan di keluarganya pasti merupakan respon dari tekanan lingkungan tempat dia menghabiskan masa remaja, masa dimana karakter terbangun. Selebihnya memang aku selalu terbiasa memiliki pandangan yang positif mengenai seseorang, dalam pandanganku seorang pembuhun saja pasti memiliki sisi baik dalam dirinya.
Betul memang apa yang dikatakan Rangga bahwa kami tidak berteman akrab, karena perkenalan awal dengan diapun sangatlah tidak menyenangkan. Aku pertama kali mengenalnya saat kami mengikuti rapat angkatan untuk membuat pameran karya tentang Landmark Kota. Saat itu kami memiliki kesulitan karena dana yang akan diberikan kampus jauh di bawah kebutuhan acara, maka dari itu kami perlu menggalang dana usaha (danus). Tiba-tiba seorang mahasiswa tampan berjaket Manchester United berwana putih tiba-tiba maju dan memberi saran agar kami ngamen untuk mengumpulkan dana. Bukan ngamen biasa, dia mengusulkan agar para wanita memakai pakain agak terbuka untuk mendukungnya bernyanyi di kafe, lebih tepatnya bar di kawasan braga. Aku? Berhijab? Dan teman-teman wanitaku yang lainya haruskah setuju dengan usul gilanya? Tentu TIDAK. Kami mahasiswa baru, para perempuan hanya berani saling berbisik di belakang, para pria menggelengkan kepala tak percaya dia berani mengatakan usul seperti itu di kampus dari yayasan islam. "Oh memang kami bukan orang-orang alim, tapi usulmu sangat gila kawan", itulah mungkin yang ada di pikiran setiap kepala yang ada dalam ruangan itu. "Tidak, aku tidak setuju" teriakku lantang memecah kegaduhan yang menyerupai suara gerombolan lebah, tak ada yang berani bicara karena mati gaya, aku harus menutup mulut lelaki itu sesegera mungkin, atau harga diri beberapa orang akan jatuh. "Oke Jingga, silahkan jika ingin berpendapat", ketua acara kami, Nurcahyat, sebagai moderator mempersilahkanku menjelaskan alasanya. "Begini Yat, menurutku usul dari Angga (panggilan Rangga) itu gak bisa diterima. Yat, sebagian besar dari kami itu berhijab, dan meskipun sebagian lainya tidak ya tetap saja pasti enggan dengan saran dia. Dia jelas-jelas membahas celana hotpants dan berpenampilan menarik ke club di Braga, dia pikir kami akan bersedia. Temen-temen, kita juga harus ingat kita ini mahasiswa baru di kampus yayasan islam yang punya nama di Kota ini, senior dan siapapun yang memergoki kita melakukan ini pasti gak akan tinggal diam. Berita penyimpangan ospek saja bisa menjadi boomerang bagi kampus-kampus jauh lebih besar di luar sana. Bagaimana jika wartawan tahu kalau segerombolan mahasiswa baru dari yayasan islam ternama tertangkap basah sedang ngamen di club malam untuk mencari dana pameran dan workshop? Ini gila, aku gak tahan untuk menolak ide kamu secara gamblang Rangga", jelasku dengan sangat berapi-api. Aku memang punya karakter keras dan disiplin hasil didikan keluargaku. Aku bukan wanita alim, dan sulit diatur oleh keluarga besarku yang memegang teguh pendidikan agama. Sempat menolak berhijab, sulit disuruh solat, juga beberapa kali remedil hapalan surat pendek ketika ujian PAI saat UAS di SMA. Tapi mendengar ide gilanya, wanita gila ini juga tidak tahan, dan aku tahu bahwa ada moral yang dikorbankan untuk mewujudkan acara yang memiliki tujuan amat mulia itu.
Suasana berubah hening, semua orang tahu bahwa pertengkaran bisa terjadi kapan saja saat itu. Nucahyat, pemuda Kalimantan itu dengan insting kepemimpinanya mulai mengambil alih pimpinan, menanyakan tanggapan peserta rapat lain, dan juga ia memahami pendapatku. Beberapa wanita akhirnya angkat bicara, Rossiana kawanku dari Ternate mengungkapkan pendapatnya, "Rangga, kami mengerti bahwa kamu sangat khawatir mengenai pendanaab acara kita. Tapi bagiku, aku juga sependapat dengan Jingga. Tolong, meskipun kami bukan orang yang suci tapi kami tak memiliki keberanian untuk mengikuti saran kamu". Beberapa saat kemudian Vita, seorang penduduk asli Bandung juga mengungkapkan hal yang sama, "Angga, aku gak mau ikut saran kamu, aku gak berani bahkan kalaupun aku gak berhijab yah, mohon maaf". Setelah itu lebih banyak wanita yang lega, dan meneriakan ketidaksetujuanya. Rangga, mulai merasa terpojokan, ekspresinya menunjukan ketidakpahaman mengapa kami menolak pendapatnya, seolah-olah apa yang dia ajukan memang sering dia lakukan. Aku tahu aku hanya mahasiswa yang datang dari pelosok daerah, tapi keenggananku bukanlah karena tingkah kampunganku, aku hanya tak mengerti kalau memang seperti itulah gaya hidup orang-orang di kota besar, bahkan di negara yang menganut budaya santun orang-orang timur. Kenapa pulak anak itu tak melihat masjid besar dan nama Islam yang jelas terpampang diantara kepanjangan nama Univ kami.
"Yah udah, itukan cuman beberapa dari kalian yang gak mau. Okedeh, oke, yang ikut ya ikut yang gak mau ya gak usah ikut. Cukup cewek-cewek cantik kaya Vanesha dan Olivia aja yang ikut, kalian cewe cantik pake celana hotpants terus ikut deket aku. Sisanya pake jeans dan tepuk-tepuk tangan aja biar rame. Lagian apa salahnya sih Bar? Abang aku bisa jamin keamanan kita ko lagian", Rangga masih ngotot dengan idenya, dan para wanita, termasuk Vanesha dan Olivia terlihat jijik dengan ajakanya. Nurcahyat, mulai membaca situasi ini makin memanas dan membingungkan baginya melihat lelaki se-out-forward itu tentang ajakan ke bar. "Oke, Rangga, terimakasih idenya, sangat kami hargai". Namun sayang sekali sepertinya sedikit pihak yang mendukung, dan situasi juga mulai tidak kondusif". Potong Cahya menengahi kegaduhan itu, kemudian Cahya segera memutuskan kesimpulan rapat dan mengambil putusan sebelum ada tangan yang melayangkan tinju atau ada kursi yang tiba-tiba terbang ke arah Rangga, atau Aku? Haha.
"Sudah aku putuskan, kita akan tetap ngamen untuk menambah dana, tapu tidak di Bar melainkan di perempatan lampu merah pada Jalan utama sekitar kampus yang ramai dilalui  kendaraan. Tempat pastinya akan saya umumkan lewat japri (jaringan pribadi) sms, saya harap akan banyak yang berpartisipasi. Bagaimana setuju?", Cahya segera menanyakan respon kami.
"Setuju", suara bergemuruh menyetujui usulanya. Saat itu memang menggalang dana di jalanan sangat lumrah dilakukan para mahasiswa, dan belum ada aturan yang melarang,  berbeda dengan aturan yang berlaku saat ini.
Wajah Rangga menunjukan ketidakluasan, tanganya langsung menggapai rokok di saku celana jeans dan langsung menyulutnya. Kami segera menyudahi rapat dan membubarkan diri. Seperti itulah aku mengenalnya di hari pertama saat mengetahui namanya. Brandal, itulah yang aku pikirkan jika seseorang membahas Rangga atau dia melintas di hadapanku. Aku yang terlampau pembenci dan dia yang terlampau bebas. Kami, sudah jelas bukanlah dua orang yang memiliki kepribadian saling mendukung satu sama lain. Sejak saat itu kami selalu berdebat, saling menguji ide, dan hampir selalu tidak sepakat tentang apapun.
4 bulan sejak rapat itu, acara yang kami susun telah rampung dengan sukses. Nurcahyat sebagai ketua Pameran kuakui memilki etos kerja dan semangat membara yang selalu membangkitkan semangat kami yang kadang kendur. Aku bersyukur, tak ada lagi rapat wajib dengan banyak drama dan 'tumpah darah' terutama berkaitan dengan Rangga. Namun, Tuhan memberikan sebuah balasan atas sifat antipatiku pada Rangga. Dimulai ketika dia dan aku direkrut menjadi asiaten labolatorium dan menjadi protokoler dalam acara seminar internasional di kampus kami.
Sore itu sepulang kuliah, tak terasa satu semester telah berlalu, dan hari-hari normal sebagai mahasiswa tanpa  title masa orientasi telah dimulai. Aku merasa sangat hidup, dan semangat kuliahku amat membara. Groningen, kampus di tepian kanal Negeri Tulip merupakan tujuan S2ku. Lamunanku di Angkutan Umum tentang bersepeda di sepanjang kanal disadarkan oleh dering handphone di saku depan tas yang aku pangku. Nomor penelpon tidak dikenal, tadinya ingin kuangkat tetapi aku baru saja breefing acara seminar, aku takut si penelpon adalah dosen penanggung jawab acara. Kuputuskan mengangkatnya karena itu adalah kesempatan emas bagiku untuk bertemu tamu peneliti dari asia dan eropa. "Halo assalamu'alaykum" sapaku sesopan mungkin. Si penelpon menjawab "Emm walaykumsalam Jingga, ini nomornya jingga kan?", wait, apa? Suaranya seperti laki-laki, seperti seorang pemuda, sedangkan dosenku seorang perempuan. "Iyah, ini dengan Jingga, mohon maaf nomor anda tidak tertera di ponsel saya, ini siapa?" tanyaku dengan nada yang mulai berubah. "Ini sama Angga, Jingga kita sama-sama bertugas jadi protokoler besok, selamat bekerjasama" ucapnya dengan begitu riang, aku sendiri sangat merasa tidak beruntung. "hmm okay, mohon kerjasamanya juga, ada apa menelpon, apakah ada sesuatu yang ingin disampaikan?",  timpalku padanya, yang benar saja kalau dia hanya menelpon untuk mengucapkan 'selamat bekerja sama' angin apa yang membuatnya berani menelponku. Terdengar dia tertawa kecil dibalik telpon, lalu berkata "Iyah, jadi Bu Dea bilang nanti jam 8 malam kita gladiresik, memang mendadak tapi upayakan semuanya harus datang".
"Apa? Semalam itu? Oh baiklah, okey aku akan datang dan terimakasih atas informasinya"
"sama-sama Jingga, sampai ketemu, assalamualaykum, bye", tutupnya.
Sumpah, aku tidak menyangka pria keras yang kukenal arrogant bisa menelpon dengan suara manja kekanak-kanakan yang lebih memilih menyebutkan namanya sendiri daripada menggantinya dengan kata "aku". Oh, permainan apa ini, konyol sekali.
Atas kabar itu seleoas Isya aku kembali ke kampus, aula utama sepertinya belum selesai didekorasi. Bu Dea juga terlihat sibuk kocar-kacir dari aula untuk mengurusi dekorasi hingga ke kantor dosen untuk mengawasi para pencetak sertifikat. Aku dan Rangga, protokoler baru kami saja yang datang. Kami duduk berjauhan, aku tak mau ada di dekat dia. Aku sesekali membantu Kak Kayla dan Mustika untuk mempersiapkan sertifikat bagi para presenter dan peserta. Tugas para adimintratur telah selesai, gladi diundur dari jam 8 malam menjadi jam 10 malam. Kami memaklumi Bu Dea dan Bu Yessi sebagai panitia inti tentunya sangat kerepotan memastikan sentuhan akhir dekorasi, kami tidak boleh membuat malu wajah kampus di hadapan para delegasi penting. Bahkan para panitia menyiapkan Gala Dinner di Gedung Sate , meriah sambutan kami untuk membuat nyaman dan menghormati para tamu agung tersebut.
Aku, Rangga, Cinta, Bang Ikmal, Kak Ratih, Bang Permana, dan Bang Ata sudah hadir  dan bersiap diri untuk gladiresik. Memperhatikan daftar tamu penting dan membagi posisi sudah matang kami seoakati. Namun ternyata aku dan Rangga ada dalam satu jobdesk di Front Gate untuk mengarahkan tamu. Sedangkan untungnya, aku bekerja satu ruangan dengan Bang Ata dan Cinta saat menjadi notulen. Rangga sendiri memang hanya memiliki jobdesk sebagai protokoler dan mengatur pergerakan di aula, tidak ikut bersama kami pada sesi seminar yang terpisah-pisah. Tetap saja, bersamanya berdua di gate akan membuat canggung. Tapi aku tidak mau menyia-nyiakan peran sekecil apapun dalam acara itu, aku harus profesional dan sejenak melupakan segala pikiran negatifku tentangnya. Sampai suatu ketika, titik balik itu terjadi.
Rangga terlihat berjalan ke arahku yang duduk sambil memainkan ponsel di depan ruang dosen, dia terlihat mematikan rokoknya. Aku tidak peduli dengan pergerakanya dan tetap asyik bercengkrama dengan temanku di facebook. Yah, acara gladi sudah selesai, namun kami belum bisa pulang karena harus berjaga-jaga jika ada hal mendesak yang harus kami lakukan untuk membantu persiapan acara. Dia bersandar di dekat jendela memperhatikanku, dan sesekali melemparkan pandanganya ke pucuk pohon cemara di sebrang gedung dan sesekali memperhatikan cicak di langit-langit. Aku hanya menoleh dan mencoba sesekali tersenyum ramah, alih-alih memecah kecanggungan. Memang hanya tinggal kami berdua saja yang ada, para senior memiliki keberanian untuk undur diri sebelum diperintahkan dosen. Sedangkan Cinta dengan berat hati meninggalkan kami karena sedang ada keluarganya dari Kalimantan yang berkunjung ke kosannya. Ingin rasanya menahan Cinta pulang, tapi dia pasti rindu keluarganya yang datang dari sebrang sana.
Lelaki jangkung itu duduk di sebelahku, sepertinya dia ingin mengobrol, oh waw pikirku bisa juga dia bersikap ramah. Aku menggeser posisiku, karena jarak yang dia ambil terlalu dekat dan membuatku awkward. Kami berbicara panjang lebar malam itu, dan kehendak Tuhan membuka mata kami untuk saling mengenal kebaikan masing-masing. Rangga yang dulu kukenal ternyata memiliki kepribadian yang jauh berbeda dari apa yang dia tunjukan saat rapat rutin kepanitiaan seminar atau guyonan kotornya di sela menunggu dosen di ruang kuliah. Rangga, memiliki kebaikan dan luka seperti manusia lainya. Hanya saja, dia menutupi lukanya dengan perangainya yang salah agar tidak terlihat lemah. Panjang lebar dia menceritakan kisahnya, kudengarkan dengan seksama. Bahwa dia bisa seterbuka itu padaku, orang yang sering mendebat apapun pendapatnya, sangatlah diluar sangkaan. Saat itu, aku merasa menjadi orang yang sangat beruntung, karena mendengarkan kejujuran seseorang yang begitu lembut dan tertekan. Entah, Tuhan membukakan jalan baginya untuk meringankan bebanya dan menceritakan keluh kesahnya. Seperti air, kisahnya mengalir dengan teratur. Pohon cemara yang berderet dibalik kursi kami dan burung hantu turut menyimak ceritanya dengan khidmat. Malang, anak lelaki ini, dia salah jalan dalam membalas ketidak adilan yang menimpanya. Percakapan tak lama kemudian selesai, kami dipersilahkan pulang dan diperintahkan untuk datang dua jam lebih awal dari jadwal acara keesokan harinya. Tak seperti hari-hari yang penuh perdebatan sebelumnya, malam itu kami saling mengucapkan salam perpisahan layaknya seorang sahabat. Diperjalananku, aku berdoa, "Tuhan sembuhkanlah lukanya. Dia anak yang baik dan Engkau Maha Tahu. Obatilah sakit di hatinya, dan angkatlah segala kepedihanya di masa lalu, serta warnailah harinya dengan lebih banyak tawa dan rasa syukur padaMu". Doa itu secara tulus terucap dengan khusu dari dalam hatiku, aku tak rela melihat anak sebaik itu menjadi seperti serigala buas yang tersesat di rimbanya. Begitulah bagaimana Tuhan membalikan hatiku tentang Rangga.

Bersambung...

Daun Jatuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang