PART THREE (3)
_Amia Desire POV_
Shayne? Mendengar nama yang disebut oleh si nenek cerewet ini, tubuhku langung menegang. Apakah? Apakah aroma wangi tubuh itu memang dia? Astaga...Tuhan..aku benar-benar tidak siap! Aku bahkan tidak pernah membayangkan diriku akan bertemu lagi dengannya. Bahkan tidak di tempat ini. Tidak pernah!
“ehhmm..perkenalkan Tuan-tuan, ini adalah asisten ku, Amia Desire. Dia memang agak sedikit ceroboh.”, kata Mrs. Bertha kemudian terkekeh sendiri.
“Mia, ini klien kita. kau tentu sudah mengenal tuan Shayne lewat televisi”, lanjut Mrs. Bertha.
Pandanganku terus tertunduk melihat lantai lobi ini. Aku benar-benar tidak siap. Apakah Kelvin akan bereaksi saat melihatku? Aku melihat sebuah tangan tersodor di hadapanku. Dan aku sangat terkejut dengan apa yang melilit dengan indah di pergelangan tangannya. Itu adalah gelang kami, pemberiannya tentu saja.
“Mia?”, Mrs. Bertha kembali memanggilku melalui giginya yang terkatup rapat. Yeah, yeah, aku tahu jika ia sudah memanggil namaku dengan nada seperti itu. Hufft..aku menghela napas panjang. Berusaha membuang segala macam pikiran dan perasaan yang menjalari seluruh anggota tubuhku dalam waktu beberapa detik.
Aku mendongak dan tersenyum sekedarnya. “Mia – Amia Desire”. Ku jabat uluran tangannya. Tangan yang sudah setahun lamanya tak ku genggam. Tangannya masih sama, menimbulkan aura kehangatan, yang mampu membuat keteganganku seketika menghilang. Dan aku baru menyadari bahwa aku benar-benar merindukan genggaman tangannya.
Hatiku membuncah senang saat kulitku menyentuh kulitnya. Hatiku bagai dikerubungi kupu-kupu yang tengah berterbangan ke sana-ke mari. Kami saling bertatapan dimana tanpa ku sadari, aku menatapnya jauh ke dalam bola mata cokelatnya hingga aku bisa melihat pantulan diriku sendiri di sana. Dan aku kembali teringat saat-saat aku bersamanya.
“Kelvin shayne. Kau bisa memanggilku Kelvin saja”, suaranya yang selembut beledu itu menyadarkanku ke alam nyata. Bodoh! Aku merutuki diriku sendiri. Aku menatap ke bawah dan tersenyum miring dan tipis hingga mungkin tidak ada orang yang menyadarinya karena pandanganku tertuju ke bawah, tepatnya ke tangan kami yang saling berjabat. Rasanya sangat aneh, sangat aneh berkenalan dengannya. Bahkan, sepertinya dulu kami tak pernah melakukan hal seperti ini. Sejak kecil, aku dan dirinya tak pernah berkenalan. Kami bertetanggaan sejak aku kecil dulu dan ntah bagaimana kami bisa menjadi bersahabat.
Kami menghabiskan masa kecil bersama, satu taman kanak-kanak, satu sekolah dasar hingga sampai SMApun kami selalu sama. Kemana-mana kami juga selalu bersama hingga menimbulkan rasa iri bagi banyak orang. Aku – Mia Desire – teman kecil sekaligus menjadi orang yang telah ia cintai sejak kecil, atau tepatnya cinta pertamanya, bahkan menjadi pacar pertamanya. Begitupun sebaliknya. Jadi, ini benar-benar sangat aneh. Kami saling berjabat tangan dan berkenalan. Seperti tak pernah terjadi apa-apa. Dan aku harus membesarkan dadaku menerima semuanya. Aku kembali menghela napas dan menabahkan hatiku.
Aku mengangkat kepala dan memamerkan senyum khas yang hanya biasa ku tunjukkan pada kelvin dulu, “senang bisa mengenal artis besar sepertimu, rekan Kelvin, partner kerja”ucapku mencoba bersikap ramah, seperti aku bersikap pada klien-klien The Most biasanya. Aku pun melepaskan tanganku darinya.
“kau?”, kelvin sedikit menegang dan memijit-mijit pelipisnya sendiri.
“ada apa Tuan Shayne?”, tanya Mrs. Bertha dengan nada khawatir.
Kevin menggeleng lemah, “tidak. Sepertinya, aku pernah mengenal asisten anda ini Mrs. Bertha. Tapi..mungkin aku hanya salah. hahaha”. Satu lagi! Aku juga merindukan tawa renyahnya itu, Kelvin-ku.
Bukan seperti, tapi memang. “wah? Kelihatannya, wajahku ini pasaran, yah?”, kataku mencoba bercanda dan tertawa sendiri. Ku pikir, aku akan menjadi seperti orang gila yang tertawa tersendiri. Tapi ternyata, tawaku di dukung oleh manager pribadi kelvin dan bodyguardnya yang baru ku sadari berdiri dengan tegap di sebelah Kelvin. Aku mengenal bodyguard kelvin ini, namanya Jay, salah satu orang kepercayaan keluarga Kelvin. Dan aku cukup dekat dengannya dulu.
“baiklah, lebih baik kita ke ruang rapat saja tuan-tuan. Sepertinya, semua telah menunggu kita”, ajak Mrs. Bertha dengan nada ramah yang memang biasa ia buat di depan klien. Semua mengangguk dan mengekori langkah Mrs. Bertha menuju ruang rapat.
***
Pembicaraan di rapat masih berlanjut di meja bulat yang terdapat di salah satu restaurant kantor ini dalam acara makan siang. Hanya saja pesertanya hanya ada 6 orang, aku, Mrs. Bertha, pak Alex – ahlinya dalam mengurusi kontrak dengan klien – Kelvin, Jay, dan managernya yang dipanggil mas Doni.
Aku terus-terusan merutuki kepala dan mataku yang secara refleks menoleh berkali-kali pada wajah Kelvin yang sejak dulu selalu ku puja hingga sekarang. Sekuat tenaga ku tahan kepalaku agar tak menoleh padanya yang kelihatan sangat serius mendengarkan penjelasan pak Alex.
“ehem, permisi. Saya harus ke toilet”, kataku menginterupsi pembicaraan. Pak alex menggangguk, begitu pula yang lain. Mas doni dengan sikap ramahnya langsung berkata, “silahkan, silahkan nona Mia”
Aku tersenyum tipis lalu beranjak dari tempatku duduk menuju toilet wanita. Sebenarnya, aku sama sekali tidak ingin berniat membuang, hanya mematut diriku di depan cermin. Untunglah toilet tidak terlalu ramai. Karena para pengunjung yang memang sebagian adalah pegawai kantor ini, sudah kembali melanjutkan pekerjaan mereka.
Aku mematut diriku sendiri di dalam cermin besar ukuran 2x4 meter luasnya ini. Otakku kembali berputar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Tentang perjumpaan ku kembali dengan lelaki yang sebenarnya masih berstatus pacarku, tapi bukan pacarku itu. Air mataku secara mulus jatuh membasahi pipiku. Air mata yang sudah hampir setengah tahun ini ku pendam dari semua orang, bahkan diriku sendiri.
Tubuhku melemas. Aku terkulai begitu saja di sudut kamar mandi ini dan menutup wajahku dengan telapak tangan. Tangisku pecah dalam diam. Bahuku bergetar karena aku menangis. Tangis yang sudah ku pendam sangat lama. Aku harus bagaimana? Aku sendiri bahkan tidak tahu apakah aku harus senang karena bisa berjumpa dengannya. Atau malah sedih?
Seharusnya aku membencinya saat terakhir kali kami berjumpa. Tapi aku tidak. Aku bahkan masih sangat mencintainya. Mencintai lelaki yang kini sedang menjalin hubungan mesra dengan wanita lain. Kelvin, satu-satunya lelaki yang membuatku hampir gila, benar-benar gila, atau mungkin sudah gila. Kelvin satu-satunya lelaki yang membuatku menjalani masa rehabilitasi selama setengah tahun. Lelaki yang terus menorehkan luka dan perih dalam hatiku ini tanpa ia sadari. Tapi, dia juga lelaki yang mampu membuat jantung ku berdegup cepat saat berhadapan dengannya, bahkan, hanya dengan mendengar namanya Kelvin Shayne Romero.
Handphone ku berdering dan bernyanyi dengan riangnya. Ku lihat layar handphoneku yang berkedap-kedip menampilkan nama Bu Bertha. Ku biarkan handphoneku trus seperti itu sementara aku menghapus air mataku dengan membasuh wajahku dengan air dari keran wastafel lalu membedaki wajahku sedikit agar tidak terlihat habis menangis. Rambut ku ikat dengan Kep yang selalu ku bawa di tas jinjingku agar rambutku tidak terlihat acak-acakan. Setelah dirasa beres, aku tersenyum, mencoba bersikap ceria seperti biasa. Eh? Memangnya aku pernah ceria saat di kantor? Ntahlah -___-.
Aku membuka pintu kamar mandi dan hampir terlonjak dari tempat ku melihat siapa yang kini ada di hadapanku. Biar ku tebak, sepertinya ia telah menungguku di luar pintu sejak tadi.
***